Oleh: Aditya Abdurrahman Abu Hafizh
DALAM industri media massa, apa saja bisa âdijualâ kepada audiens untuk menjadi barang hiburan. Termasuk ketakutan pun bisa menjadi sesuatu yang memiliki nilai jual yang sangat tinggi dalam industri media.
Ketakutan, yang merupakan perasaan yang seharusnya tidak disukai oleh siapapun dalam hidupnya, kini menjadi sesuatu yang justru dicari-cari, dibutuhkan, âmenghiburâ atau bahkan menjadi life style bagi sebagian orang.
Beberapa kali saya membuka jadwal international conference di beberapa negara, saya menemukan seminar-seminar bertaraf internasional untuk membahas soal industri hiburan yang âmengekspoitasiâ ketakutan. Yang dibicarakan dalam konferensi dan seminar-seminar di tingkat akademis itu bermacam-macam. Mulai bagaimana karakter hantu (yang bisa berbeda-beda di setiap Negara), sampai soal perkembangan teknik dramatisasi dalam film-film horor.
Di Indonesia, sejak dulu yang menjadi image hantu paling menyeramkan adalah sosok perempuan berambut panjang terurai, berdiri tegak, lalu berjalan mengambang di udara. Giginya bertaring panjang, lalu setiap kemunculannya diikuti bau harum dan kabut asap yang mengepul.
Mungkin mirip-mirip hantu dalam lawakan Srimulat, jaman dulu. Atau paling mentok seperti sosok pocong. Itu sudah termasuk sosok paling serem di dunia perhantuan di Indonesia.
Berbeda dengan di Barat. Hantu yang paling menyeramkan bukan seperti tipikal hantu di Indonesia, melainkan sosok yang berpakaian ala bangsawan, rumahnya kastil besar yang tua, bergigi taring tajam, wajahnya pucat, bisa berubah jadi kalelawar dan menghisap darah.
Belum lagi ala Jepang, yang sejak film legendaris The Ring. Dianggap film Jepang paling mengerikan karena mampu membuat penonton terpejam. Rupanya negara ini juga mulai kreatif bikin medesain hantu dan produk ketakutan.
Indonesia yang awalnyua sosok hantu paling populer adalah yang bisa mengambang di udara atau meloncat-loncat ala pocongan, seketika berubah ikut-ikutan ngesot (merayap) ala Sadako dalam film The Ring, atau hantu misterius dalam film Ju-On.
Ketakutan sebagai Life style?
Industri ketakutan rupanya semakin digandrungi ketika audiens memiliki cara pandang yang berubah terhadap rasa takut. Setidaknya rasa takut yang dialami para audiens memiliki dua tipe.
Pertama, ada tipe ketika menonton tayangan-tayangan hantu bukan rasa takut yang sepenuhnya mereka bawa-bawa di dunia nyata, melainkan sebuah bentuk sensasi. Ada kepuasan bagi audiens jenis ini ketika mengalami perasaan kaget. Menurut mereka itu hal yang sensasional. Cool. Atau sejenisnya.
Kedua, ada tipe audiens yang masih belum mampu membedakan realitas media dengan realitas nyata, mereka akan cenderung terpengaruh dengan apa yang mereka lihat pada tayangan-tayangan itu. Kendati mereka paham bahwa tayangan itu hanyalah sekedar film yang direkayasa, tetap saja hal itu mampu mempengaruhi kesadaran mereka setelah mereka menontonnya.
Audiens jenis pertama itu menurut saya punya dua kemungkinan yang melatar-belakangi respon mereka terhadap ketakutan. Kemungkinan pertama adalah karena dia benar-benar memahami bahwa dibalik layar kaca yang menayangkan hantu yang sedang mereka tonton itu hanyalah sekedar rekayasa kamera sehingga tidak perlu sampai membuatnya terpengaruh pada kesehariannya.
Sedangkan kemungkinan kedua, audiens jenis ini memang secara psikologis sudah âkelainanâ. Bagi audiens jenis ini, adanya setan, iblis, atau hantu seolah sesuatu yang sudah menjadi life style dalam hidupnya. Baginya, hal-hal yang menakutkan adalah seni. Kegelapan dan hal-hal yang mencekam adalah estetika.
Apakah ada karakter orang yang seperti itu didunia ini?
Ada! Saya beberapa kali menjumpai beberapa teman saya yang matanya berbinar-binar ketika menonton film-film hantu. Bukan hanya koleksinya DVD horror-nya yang lengkap, tapi hiasan-hiasan di kamarnya juga dipenuhi oleh ilustrasi menyeramkan yang dibuatnya sendiri. Sampai saya tidak bisa memahami betapa antusiasnya orang-orang seperti ini, seperti ketika salah seorang teman saya berhasil menghabisi koleksi film-film Suzanna-nya dalam waktu semalam saja.
Memang âkesenanganâ dalam hal ini sama sekali bukan bentukan media. Kesenangan dalam hal ini adalah makna yang dihasilkan audiens untuk beragam alasan yang melatar-belakanginya. Persis dengan kata Greame Burton dalam bukunya âTalking Televisionâ, dirinya menjelaskan bahwa kesenangan biasanya bisa didapat jika media bisa memberikan pemenuhan atas kebutuhan audiens tersebut.[ Lihat Greame Burton, Talking Television: An Introduction to The Study Talk Television, Hodder Arnorld, 2000.]
Bisa jadi besarnya âkebutuhanâ audiens akan sensasi akan rasa takut ini, membuat insting kapitalis dari para pemilik modal, produser, sutradara, dan para pemilik stasiun televisi membuncah.
Sebagaimana tokoh komunikasi massa John Hartley mengatakan bahwa televisi adalah usaha kapitalis, alat kontrol sosial, sekaligus sumber âkesenanganâ yang populer.[Lihat John Hartley, Tele-ology, Studies in Television, London: Rouledge, 1992.]
Atas dasar itu, boleh jadi pemilik modal itu berbondong-bondong melampiaskan nafsu eksploitatif mereka untuk menyedot rasa takut dari audiens untuk dijadikan lautan uang dalam rekening mereka. Dengan dalih,âyang penting penonton suka,â mereka secara gila-gilaan memproduksi âproduk-produk menyeramkanâ berupa film ataupun reality-show âhantu abal-abalâ untuk dijadikan penyedot kapital./bersambung halaman 2