Oleh: Muhammad Pizzaro
IBU-IBU rumah tangga itu berjejer rapi di ruang masuk gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Layaknya ibu-ibu, pakaian mereka cerah, senyumannya lebar. Orang bahkan mungkin tidak bisa mengira apakah ruangan MK telah berubah menjadi tempat majelis ta’lim.
Itulah gambaran para srikandi Aliansi Cinta Keluarga (AILA) saat melakukan Judicial Review (Uji Materi) ke MK. AILA wajah ibu Indonesia yang peduli pada upaya pengokohan keluarga.
Menurut Ketua AILA, Rita Soebagjo, salah satu alasan lahirnya AILA adalah kegelisahan akan adanya problem moral anak dan keluarga. Menurutnya, problem itu lahir dari disfungsi keluarga. Ayah yang tidak berperan, ibu yang tidak berperan, akhirnya anak yang menjadi korban.
Apa yang dilakukan AILA memang bukan jalur biasa bagi sebuah organisasi yang terdiri dari ibu rumah tangga. Mereka menempuh jalur Judicial Review dalam mengkritisi KUHP.
Mereka menilai pasal 284, 285 dan 292 KUHP terkait perzinaan, perkosaan dan perbuatan cabul sesama jenis tidak sejalan dengan nilai-nilai moral, agama, dan budaya sebuah bangsa yang beradab.
Usaha untuk membawa pasal ini ke MK dilakukan dengan susah payah dengan bekerja siang malam, disamping tetap menjalani profesi mereka sebagai ibu rumah tangga mengurus anak dan suami.
Lalu kenapa AILA melakukan itu semua? “Kami mengambil posisi untuk mengawal di legislasi, karena memang tidak banyak yang melakukan itu,” kata Rita.
Gerakan AILA untuk perlindungan keluarga pun dengan cepat mendulang dukungan dari masyarakat Indonesia serta para akademisi dalam berbagai bidang seperti Prof. Hamid Cholid (Wakil Rektor UI) Dr. Musni Umar Ph.D (Dosen UIN), dr. Inong Sp.KK (Dokter Spesialis), Dr Asrorun Niam (Ketua KPAI), Dr Neng Zubaidah SH.MH (Dosen UI), dan masih banyak lagi.
Dalam sidang MK, keresahan para ibu Indonesia ini direfleksikan secara baik oleh saksi ahli, Dr Hamid Cholid LL.M, yang juga Wakil Rektor Universitas Indonesia (UI).
Pakar hukum tata negara itu menganggap selama ini negara secara diam-diam telah melegalkan zina, perkosaan kepada laki-laki, dan cabul sesama jenis orang dewasa (LGBT).
Dia menganggap, pelarangan perbuatan zina yang diatur dalam pasal 284, hanya menghukum pelaku jika salah seorangnya telah menikah. Sedangkan dalam pasal 285, tindak pidana perkosaan hanya akan dijatuhi hukuman jika korban perempuan.
Kemudian dalam pasal 292, tindak pidana pencabulan hanya akan menghukum jika korbannya adalah anak di bawah umur. Sementara jika tindakan cabul antara orang dewasa sesama jenis (LGBT) tidak dipidana.
Dengan mendatangi MK, para ibu-ibu paruh baya ini datang meminta perluasan defenisi dan makna Perzinaan, perkosaan dan Perbuatan Cabul Sesama Jenis.
Perzinaan –yang oleh UU warisan Belanda—ini hanya berlaku untuk laki-laki dan perempuan yang [hanya] sudah menikah, sekarang diminta agar diberlakukan untuk semua bentuk hubungan seksual di luar pernikahan.
Sebelumnya, video saksi ahli yang dihadirkan AILA sempat menjadi viral di media sosial seperti Whatsapp, Facebook, dan Twitter.
Dalam video tersebut, ada penjelasan dr. Inong Sp.KK (Dokter Spesialis Penyakit Kelamin) tentang sebuah buku yang sudah beredar sejak tahun 2014, bahkan 2009 dan disahkan oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan.
Mengatakan, buku ini ditujukan kepada remaja dan di dalamnya dijelaskan bahwa identitas gender tidak hanya sebatas perempuan dan laki-laki. Bahwa Anak-anak remaja dibolehkan tertarik secara seksual baik kepada laki-laki maupun perempuan.
“Maaf anak-anak kita ternyata sudah diajarkan seperti ini dan kita lalai tidak tahu seperti ini. Tidak heran banyak sekali terjadi,” ujar dr. Inong yang sejak menjadi dokter spesialis kulit dan kelamin sejak tahun 1998 kerap menemukan dubur pasiennya yang rusak akibat penyimpangan seksual yang dilakukan oleh kaum homoseks.
“Bapak ibu apa tidak sedih? Saya yang tiap hari hadapi, bapak. Saya yang hadapi dan teman-teman saya yang lain,” tukasnya dengan nada bergetar.
Logika Jungkir Balik
Sekedar catatan, di Indonesia, fenomena merebaknya LGBT sudah pada tahap bahaya. Bulan Februari lalu, Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddik, menyatakan bahwa saat ini Indonesia dalam darurat LGBT.
Tindak kejahatan yang dilatarbelakangi perilaku LGBT makin marak dalam 10 tahun terakhir.
Juli 2008, bangsa Indonesia dikejutkan sebuah pembunuhan berantai yang dilakukan Verry Idham Henyansyah alias Ryan. Pelaku terbukti telah menghilangkan nyawa 11 orang dengan cara sadis (maaf memutilasi korban) dengan terencana. Belakangan diketahui motif pelaku adalah penderita LGBT yang dibakar rasa cemburu.
Tahun 2012, Kasus pembunuhan berantai di Nganjuk, Jawa Timur. Polisi menangkap Mujianto alias Menthok alias Genthong (24) yang mengaku membunuh 15 pasangan seks sesame jenis akibaat dibakar api cemburu.
Tahun 2014, Jawa Barat gempar penemuan jasad Rudianto, eks mahasiswa Universitas Parahyangan Bandung yang tewas dalam kondisi hangus di kamar kosnya di kawasan Ciumbuleuit. Belakangan terkuak pelakunya adalah Rn, 23 tahun, yang mengaku gay dan berstatus mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung akibat dibakar rasa cemburu.
Minggu ini kita kembali dikejutkan penemuan Badan Reserse Kriminal Polri sebuah tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi anak di bawah umur. Direktur Tindak Ekonomi Khusus Bareskrim Brigadir Jenderal Agung Setya mengatakan sebanyak 99 anak di bawah umur menjadi korban prostitusi gay (kaum homo).
Kasus terkuak setelah Polisi menggerebek sebuah hotel di Jalan Raya Puncak Kilometer 75, Cipayung, Bogor, Jawa Barat. Polisi menemukan bukti berupa 99 nama korban dari beberapa daerah. Mereka rata-rata berusia 16 tahun ke bawah.
Mengerikan! 99 Anak Jadi Korban Eksploitasi Prostitusi Kaum Homo
Hari ini 27.3% anak-anak Indonesia (sekitar 64 juta dari 255 juta populasi penduduk) dibawah ancaman kebebasan yang dibawa nilai-nilai Barat dan LGBT. Di luar, di sekeliling bahkan di tempat yang katanya terbaik untuk mereka (lembaga pendidikan-pun) merka masih menjadi mangsa penjahat seksual yang siap menerkam mereka. Ibarat pepatah kuno, “Lepas dari mulut harimau akan masuk ke dalam mulut buaya”.
Tahun 2014 lalu, Indonesia juga gempar kasus pelecehan seksual berupa pedophilia yang dilakukan guru asing di sekolah Taman Kanak-Kanak – Jakarta International School (JIS) .
Namun karena usaha-usaha konstitusional untuk melindungi keluarga, para ibu murah senyum ini justru dianggap The Jakarta Post sebagai organisasi yang lebih bahaya dari Front Pembela Islam.
“The Islam Defenders Front (FPI) — imagine its members roaming the streets of Jakarta, hunting down Playboy magazines and vandalizing cheap liquor stores — may no longer epitomize religious conservatism in Indonesia,” sindir Jakarta Post yang menyebut peran itu kini diambil oleh AILA.
Membaca tulisan Ary Hermawan di The Jakarta Post 30 Augustus 2016 dengan judul “COMMENTARY: Why AILA is a bigger threat to freedom than the FPI”, alih-alih menemukan “wajah FPI” dalam AILA, kita justru diajak untuk melakukan labelling negatif terhadap para ibu yang menempuh jalur demokratis dan konstitusional: sebagai ancaman, dan punya cita-cita mengubah konstitusi.
Alih-alih ingin menyelamatkan nasib jutaan anak-anak Indonesia kini mereka mendapat cap “orang berbahaya”. Berbahaya bagi siapa?
Jika Anda hidup dalam kondisi seperti ini, dimana selalu cemas setiap melepas anak kita pergi sekolah di pagi hari, lalu Anda membuat gerakan melindungi mereka, apa Anda berbahaya seperti teroris? Bagaimana mereka yang berkeliaran selalu mencari mangsa anak-anak remaja itu?
Apakah kita masih normal dengan logika ini?
AILA sejatinya mengajarkan kita bahwa Ibu, sebagai seorang ini rumah tangga, juga berperan besar mengawal moral bangsa. Cita-citanya mulia: agar anak bangsa tidak mengalami diorentasi seksual dan para perempuan tidak lagi diperkosa.
Bagi pendukung LGBT, AILA bisa jadi berbahaya, namun bagi jutaan anak Indonesia, mereka adalah ibu. Mereka tetap tidak marah walau cintanya kepada bangsa Indonesia dianggap aktivis LGBT ingin memaksakan tafsir agama. AILA terus melaju menebar cintanya bagi anak dan perempuan Indonesia.
Seperti kata pepatah bijak: kasih sayang yang tanpa mengharapkan balasan dan tak akan terbalas selamanya adalah kasih sayang seorang ibu.
Jika kita percaya bualan bahwa emak-emak yang sedang memperjuangkan masa depan generasi Indonesia ini sebagai hal berbahaya, berarti isi kepala dan hati kita perlu segera diperiksakan. Jangan-jangan, perlu ditakbirkan empat kali, wallahu a’lam.*
Penulis adalah wartawan