Oleh: Imam Nawawi
PUBLIK Indonesia kembali disuguhi berita provokatif kelompok liberal. Lembaga pemerhati hak asasi manusia, LSM Setara Institute, seperti dilansir oleh BBC-Indonesia.com (17/12/2012) kembali merilis laporan rancunya. Setara menyebut, bahwa sepanjang Januari hingga Desember 2012 terjadi peningkatan kekerasan beragama.
Hasil pantauan kasus intoleransi tahun 2012 yang dikeluarkan Setara mencatat terdapat 264 peristiwa dan 371 tindakan. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun 2011, yang tercatat 244 peristiwa dan 299 tindakan.
Dari 371 tindakan sepanjang tahun ini, Setara mencatat 145 kasus (39%) dilakukan oleh negara berupa tindakan aktif (117) dan pembiaran (28). Kepolisian masih masuk dalam daftar aktor negara yang masih melakukan pelanggaran terbanyak diikuti pemerintah Kabupaten, Kota, Kementerian Agama dan Camat.
Sementara aktor non negara yang melakukan kekerasan beragama meliputi warga, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Front Pembela Islam (FPI), gabungan ormas dan institusi pendidikan. Dan, 61% dari tindakan pelanggaran kebebasan beragama dilakukan oleh aktor non negara.
Namun dari berita yang cukup provokatif itu, Setara hanya mampu menunjukkan dua kasus yang sebenarnya tidak termasuk dalam kategori intoleransi, dalam hal ini, selalu menjadi sorotan Setara. Yaitu kasus GKI Yasmin dan kekerasan terhadap umat Syiah di Sampang Madura.
Namun demikian, satu hal yang juga sangat patut menjadi catatan umat Islam di negeri ini adalah, laporan Setara Institute dirilis di berbagai macam media online, seperti BBC.com, Inilah.com, dan Radioaustralia.net.au.
Penyesatan Opini
Dalam acara Peringatan Hari Toleransi Internasional di provinsi Jawa Barat pada Jumat (16/11/2012), Setara Institute juga mengeluarkan pernyataan menyesatkan bahwa Jawa Barat menempati tingkat pertama sebagai wilayah yang paling banyak terjadi tindakan intoleransi umat beragama.
Akan tetapi hal tersebut dibantah oleh Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (PUSHAMI) sebagaimana juga ditayangkan di hidayatullah.com, dengan menegaskan bahwa pernyataan Setara Institute itu tidak lebih dari upaya penyesatan opini yang sama sekali tidak memiliki dasar dan hanya memproklamirkan kesesatan serta menyudutkan umat Islam.
PUSHAMI juga menilai tindakan Setara Insitute itu tidak bermanfaat apapaun. Justru sangat kontradiktif, diskriminatif, tidak proporsional dan serampangan. Hal tersebut dapat kita lihat dari pembelaan membabi buta terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan umat Kristiani dalam hal ini GKI Yasmin.
Selain itu, penyesatan opini Setara Institute juga bisa dirujuk dari logika yang digunakan untuk meyakinkan publik bahwa di Indonesia marak terjadi kasus intoleransi yang dilakukan oleh aktor negara. Yaitu berupa pembiaran terhadap aksi intoleransi yang terus berkembag di negeri ini. Jadi, secara gamblang, Setara menuding bahwa negara telah melakukan pembenaran terhadap tindak intoleransi di Indonesia.
Tidak terlibatnya negara dalam kasus GKI Yasmin dan Ahmadiyah, serta Syiah di Madura menjadi senjata utama Setara Institute untuk mendukung hasil temuan dan argumentasinya.
Padahal, ketika dunia bergolak dengan munculnya film murahan “Innocence of Moslem” langkah serupa juga dilakukan oleh negara-negara Barat. Barat tidak melakukan tindakan hukum apapun terhadap pembuat film provokatif itu.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa laporan Setara Institute itu hanyalah upaya penyesatan opini yang dilakukan untuk membenarkan kesesatan dan menyesatkan kebenaran. Upaya semacam itu memang masih memungkinkan untuk tercapai, di tengah mayoritas umat Islam yang masih minim pemahaman agamanya. Sementara di sisi lain, ketergantungan terhadap media sekuler masih cukup tinggi.
Akhirnya, dunia internasional menjadikan laporan media sekuler sebagai sebuah fakta di lapangan. Maka tidak heran jika beberapa waktu lalu, Indonesia sempat menjadi bahasan panas di Swiss terkait soal intoleransi di Indonesia. Akan tetapi, jika merujuk pada pendapat KH Hasyim Muzadi yang mengatakan bahwa pembahasan di forum dunia itu pasti, karena laporan dari dalam negeri Indonesia, seperti pernah dikutip oleh laman resmi Nahdlatul Ulama (NU), Rabu (30/05/2012).
Padahal, menurut mantan Ketua Umum PBNU itu, tidak ada negara di dunia ini yang lebih toleran dari Indonesia dalam beragama.
“Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara muslim manapun yang setoleran Indonesia,” jelasnya.
Paham Pembela Kebathilan
Apabila standar yang digunakan Setara Institute adalah Ahmadiyah dan Syiah sebagai fakta intoleransi di Indonesia maka hal itu adalah penegasian terhadap cara pandang Islam sebagai agama. Karena dalam pandangan Islam, Ahmadiyah dan Syiah itu nyata sesat dan menyesatkan.
Dengan demikian maka sangat gamblang apa yang telah dilakukan oleh Setara Institute. Setara nyata telah lebih dulu intoleran terhadap Islam. dan, semakin membabi buta intoleransinya, ketika apa yang dianggap sesat oleh Islam justru dianggap benar dan harus dibela.
Jadi, sederhananya, kesimpulan Setara Institute terhadap kasus intoleransi di Indonesia adalah suatu kesalahan cara pandang. Di mana Setara Institute belum benar-benar memahami atau dengan sengaja berusaha mengeliminir ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya.
Pada saat yang sama, mereka membeo teori Barat yang memandang toleransi sebagai suatu sikap yang menegasikan kebenaran mutlak dan meyakini kebenaran relatif, inilah paham liberal yang secara sengaja dibawa dan dikampanyekan Setara, melalui kedok riset.
Suatu cara pandang bebas yang menurut Prof Hans Joachim Sander sebagaimana dikisahkan oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam buku ‘Misykat’ menyatakan bahwa liberalisme itu omong kosong. Liberalisme tidak menghendaki sesuatu, keculai meminggirkan dan menindas agama (Islam). Dan, dalam upayanya itu mereka menggunakan pemahaman pluralisme, liberalisme, feminisme dan demokratisasi beragama untuk menyesatkan pandangan manusia terhadap Islam.
Jadi, sangat wajar jika aktivis liberal di Indonesia sangat bernafsu membenarkan Ahmadiyah, Syiah, dan berbagai macam aliran yang dianggap sesat oleh ulama, sampai-sampai kelompok pengasong pemikiran Barat itu pernah secara terbuka menyatakan niatnya untuk membubarkan MUI.
Semua itu tidak lain karena cara pandang kelompok liberal, termasuk Setara Institute, yang menelan mentah-mentah cara pandang Barat terhadap agama. Yang menurut Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Barat memandang agama tidak lebih dari sekedar pengetahuan teoritis belaka yang berujung pada sikap penegasian terhadap Tuhan dan Akhirat dan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia pun dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan.
Sesungguhnya jika dilihat secara jeli, kelompok-kelompok liberal seperti inilah (meski dengan kedok peneliti atau lembaga riset) yang mempertahankan cara pandang yang sesat dan merusak ketentraman yang bertahun-tahun dipelihara oleh seluruh elemen bangsa Indonesia.
Kasus sebelumnya juga terjadi manakala Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan rilis sikap intoleransi terhadap perbedaan identitas oleh publik pada bulan Oktober 2012 lalu. [Baca: LSI Dianggap Intoleran dengan Umat Islam]
Dalam rilisnya pada 1-8 Oktober 2012, LSI mengumumkan bahwa 50 persen warga Indonesia yang merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan jemaah sesat Syiah dan Ahmadiyah juga pelaku kelainan seks seperti homoseksual dan lesbian dinilai sebagai sikap intoleran.
LSI mengatakan, Indonesia memiliki tingkat intoleransi karena menolak lesbian, gay, biseks dan transgender (LGBT) yang dinilainya sebagai sikap sangat berbahaya.
Dengan kata lain, umat Islam Indonesia dilarang taat dan meyakini al-Quran dan As Sunnah (pegangan semua kaum Muslim), karena umat Islam menganggap pelaku kelainan seperti LGBT sebagai sebuah kekeliruan atau kesalahan.
Alih-alih menggunakan hasil survey seolah biar lebih ilmiah, kelompok-kelompok seperti inilah yang sedang berusaha memecah-belah dan menciptakan ketidakharmonisan dan merusak keyakinan beragama di Indonesia.
Agar konflik di tengah masyarakat tidak terus terjadi dan harmonisasi di tengah masyarakat terjadi, sebaiknya negara perlu menertibkan keberadaan kelompok liberal berkedok LSM, lebih-lebih dengan dana bantuan dari asing. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah pengasuh pondok pesantren, tinggal di Depok Jawa Barat