Oleh: Dian Soekanto
SALIMUL Akidah adalah karakter utama seorang muslim. Akidah yang selamat dari berbagai bentuk serangan kepercayaan dan ideologi lain. Selamat dari terselipnya kesyirikan atau keyakinan akan adanya kehebatan sesuatu yang melebihi kemahakuasaan Allah.
Akidah pondasi keimanan, Rasulullah Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam tidak merasa sia-sia menghabiskan waktu 13 tahun membangun pondasi ini.
Ketika kita meyakini kehebatan sesuatu atau seseorang sampai hati kita seperti terbutakan maka itu adalah sinyal bahwa ada sesuatu yang masih salah dengan akidah kita.
Ranjau dan jebakan akidah banyak beredar dalam berbagai bentuk. Membuat kita mengagungkan sesuatu selain atau melebihi Dia Yang Maha Esa.
Salah satu ranjau di jaman teknologi ini, orang Islam seakan membutuhkan bukti ilmiah untuk menjustifikasi ajaran agama. Atau bahkan justru menuhankan teknologi. Ilmu bisa untuk mengokohkan keimanan, tapi bukan untuk menjustifikasi keimanan. Karena ilmu akan terus berkembang dan berubah sesuai penemuan baru, apakah berarti iman kita pun berubah mengikuti ilmu dan teknologi?
Ingat broadcast jadul tentang Ka’bah sebagai superkonduktor? Itu contoh pseudo-science yang banyak sekali tersebar jaman sekarang. “berterimakasihlah kepada kaum muslimin karena selama mereka shalat dan thawaf maka dunia ini masih berputar.” Kedengarannya keren.
Tapi hoax seperti ini mungkin memang dibuat untuk mengganggu akidah kita, membuat kita lupa akan sifat-sifat Allah. Qiyamuhu Binafsihi, Qudrah, Iradah. Biar tak ada seorangpun di dunia ini yang menyembahNya, jika ia memerintahkan bumi untuk berputar maka bumi akan tetap berputar. Sebaliknya seandainya seluruh dunia bersujud padaNya namun mudah saja bagiNya untuk menghancurkan dunia seisinya.
Ranjau lain di bidang pengobatan.
Kesembuhan dari Allah Subhanahu Wata’ala. Kita berobat adalah ikhtiar mencari kesembuhan. Tetapi kemudian kata ikhtiar atau wasilah ini sering dipakai sebagai tameng atau sebagai ujung tombak argumen saat kita menggunakan atau mempromosikan suatu produk.
Seakan-akan jika seseorang menolak menggunakan produk tsb berarti ikhtiar mereka belum cukup dan belum maksimal.
Sebuah produk pseudo science mengharuskan penggunanya menggantungkan kalung dengan bandul logam yang berpendar kemanapun mereka pergi. Sehingga ketika ratusan orang berada dalam satu ruangan memakai kalung yang sama anda mungkin mengira anda salah masuk ke lokasi shooting film sci-fi ala Star Wars. Apa bedanya dengan jimat dan isim yang dipakai generasi jaman dulu. Saatnya lah mengkaji ulang tauhid kita.
Ketika kemudian ada bukti-bukti yang lebih ilmiah ataupun testimoni negatif yang mengingkari klaim produk yang kita jual, bahkan ketika sosok yang kita sanjung sebagai penemu produk tsb sudah ketahuan memalsukan semua gelarnya, kita justru marah dan berusaha mempertahankan dengan berbagai cara dan argumen. Inilah ranjau itu. Mengapa harus marah jika kita tahu yang menyembuhkan itu Allah bukan produk kita?
Bahkan tiap obat pun selalu harus disertakan daftar efek samping dan kontraindikasinya. Kenapa produk-produk ajaib ini seolah begitu sempurna tanpa cela?
Baca: Neo-Ghazwul Fikri
Banyak contoh ‘lucu’ dan juga menyedihkan. Ada teman yang memberi anaknya suplemen yang diklaim bisa ‘menyembuhkan’ autisme, cerebral palsy dan tuna rungu. Suplemen yang sama oleh penjual lain diklaim bisa membantu stamina lelaki dewasa. Si anak (7 tahun) justru mendapat efek samping yang mungkin diharapkan oleh para lelaki dewasa ini. Kondisi neurologis lainnya tidak ada kemajuan. Anak yang lain justru kejangnya bertambah setelah mengkonsumsi suplemen tsb. Tentunya testimoni seperti itu tidak akan dimasukkan ke dalam brosur distributor.
Teman-teman saya ini bukan orang kaya. Mereka mengorbankan budget untuk hal lain yang lebih penting seperti terapi demi membeli produk dewa ajaib tsb karena termakan bujuk rayu dan testimoni bombastis.
Kita lalu dengan ringannya menuduh pihak yang mengungkapkan data dan fakta sebagai pesaing bisnis atau ingin menjatuhkan usaha sesamanya.
Benarkah? Ini juga bentuk ranjau. Kita diuji seberapa jauh kita menggantungkan nasib pada produk itu.
Kita tidak kemudian justru berpikir ulang akan motivasi kita dalam berjualan atau berobat. Kita lupa bahwa seharusnya niat kita semuanya adalah untuk ibadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Kita tidak berhenti sejenak dan introspeksi apakah usaha kita ini berkah jika kita lakukan dengan membohongi orang demi keuntungan materi.
Yang pada akhirnya semuanya kita harus pertanggungjawabkan pada Al Hasib, Yang Maha Membuat Perhitungan
Kesimpulannya, ini mungkin, atau justru, berkaitan erat dengan akidah kita. Sudah selamatkah akidah kita?*
Aktivis Informasi dan Kekeluargaan