Hidayatullah.cm–Pemimpin Gereja Katolik Roma Paus Fransiskus tiba di Myanmar hari Senin 27 November 2017 dalam kunjungan selama empat hari. Paus menyinggung situasi terkini di mana minoritas Muslim dari negara bagian Rakhine diperlakukan sebagai orang asing namun tak satupun mengucapkan kata “Rohingya”.
”Masa depan Myanmar harus damai, damai berdasarkan penghormatan terhadap martabat dan hak setiap anggota masyarakat, menghormati setiap kelompok etnis dan identitasnya, menghormati peraturan undang-undang, dan menghormati tatanan demokratis yang memungkinkan masing-masing individu dan setiap kelompok—tidak ada yang dikecualikan—untuk menawarkan kontribusi yang sah untuk kepentingan bersama,” katanya, seperti dikutip Reuters.
Paus Fransiskus bertemu dengan Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing dan bertemu Aung Suu Kyi yang berlangsung beberapa jam.
“Perbedaan agama tidak perlu menjadi sumber perpecahan dan ketidakpercayaan, namun harusnya menjadi kekuatan untuk persatuan, pengampunan, toleransi dan pembentukan bangsa yang bijak,” imbuh Fransiskus yang dalam pidatonya sama sekali tidak menyebut kata ‘Rohingya’.
Sebelum ke Myanmar, para pemimpin gereja Katolik negeri itupun telah mengimbau Paus Fransiskus untuk tidak menyebutkan kata “Rohingya” karena dikhawatirkan akan memicu kemarahan warga setempat. Ini dikarenakan sebagian besar warga Myanmar tidak menganggap Rohingya sebagai warga asli Myanmar, melainkan menyebut mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Paus Fransiskus sebelumnya dilaporkan telah mengindikasikan bahwa dirinya akan menuruti imbauan tersebut.
Bahkan selama pertemuannya dengan Aung San Suu Kyi, Paus ke-266 itu sama sekali tidak memasukkan kata “Rohingya”
Namun ia menggantinya dengan krisis kemanusiaan di Myanmar yang sudah begitu gawat.
Sebagaimana diketahui, kata ‘Rohingya’ adalah hal yang tak diinginkan militer dan masyarakat Myanmar, karena berarti sebuah pengakuan entitas Muslim.
Sejak 1982, Myanmar telah menghapus Rohingya dari daftar kewarganegraan, dan menyebut mereka sebagai “Bengalis” kata olok-olok untuk etnis Muslim yang telah hidup selama ratusan tahun di Rakhine.
“Kedamaian hanya bisa dicapai melalui penghormatan akan hak asasi dan keadilan. Termasuk kepada setiap etnis dan identitas mereka,” kata Fransiskus dilansir kantor berita AFP.
Senada dengan Fransiskus, Suu Kyi dalam pidatonya juga sama sekali tak menyebut Rohingya.
Dia menyebut krisis di Rakhine hanyalah satu dari segala tantangan yang tengah dihadapi pemerintahannya.
“Kami membangun pemerintahan yang berlandaskan pada perdamaian dengan melindungi hak, toleransi, dan memastikan keamanan setiap etnis yang ada,” tutur Suu Kyi.
Baca: Kejamnya Militer Myanmar, Pasang Ranjau Darat untuk Warga Rohingya
Sebelum bertemu Suu Kyi, Fransiskus berada di ibu kota lama Myanmar, Yangon, untuk bertatap muka dengan panglima militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, Senin (27/11/2017).
Dalam pertemuan yang berlangsung selama 15 menit itu, Hlaing meyakinkan Sri Paus operasi militer yang dilakukannya tidak berlandaskan pada diskriminasi agama atau etnis tertentu.
Hlaing berkata, operasi itu untuk membasmi ‘teroris’ yang berdiam di Rakhine. Sementara di saat yang sama, ratusan ribu etnis Muslim mengungsi akibat kekerasan militer, bahkan aksi pembakaran dan pemerkosaan.
Kedatangannya ke Myanmar diharapkan kalangan pegiat HAM dan dunia internasional bisa menekan pemerintah dan militer setempat. Namun, Jenderal Min Aung Hlaing kepada Paus Fransiskus mengatakan, tidak ada diskriminasi agama di negaranya yang dilakukan melalui tindakan militer.
Hingga saat ini sudah lebih 600 ribu lebih pengungsi Rohingya melarikan diri ke Bangladesh akibat adanya kekerasan yang disebut PBB sebagai pembersihan etnis.*