Oleh: Teuku Zulkhairi
SEBENARNYA hingga sejauh ini sudah cukup banyak tokoh-tokoh di negeri muslim “merapat” ke Israel. Tidak sedikit elit-elit dunia Islam yang diundang atau mengunjungi negeri zionis itu. Dan yang terbaru, seperti kita ketahui adalah kunjungan dari tokoh Indonesia, Yahya Cholil Staquf yang kebetulan saat ini menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Di Timur Tengah sendiri, sudah bukan rahasia lagi banyak elit negara-negara Arab yang menjalin hubungan terang-terangan atau dalam sunyi dengan Israel, seperti para elit di UEA, Mesir dan lain-lain.
Di Mesir, setelah As-Sisi mengkudeta Muhammad Mursi, presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis, lalu setelah itu kita menyaksikan video-video kunjungan menterinya As-Sisi ke Israel. Pada titik ini, maka janganlah heran jika sampai saat ini Palestina masih terjajah. Sebab, kiri, kanan, depan dan belakang Palestina, mereka adalah kawannya Israel. Mereka lebih nyaman mendukung Israel, atau setidaknya diam atas apa yang Israel lakukan ketimbang menentang.
Merapat ke Israel berarti merapat ke Amerika Serikat sebagai “penguasa” dunia saat ini. Merapat ke Israel berarti akan meraih “syurga dunia”. Sementara itu, mendukung Palestina maka akan beresiko dimusuhi, diperangi, dikucilkan atau dikriminalisasi. Itu berat, kecuali bagi orang-orang mukmin. Ada semacam kepercayaan di tengah para para pembesar dunia Islam, bahwa jika ingin mendapatkan “kekuasaan dunia”, maka mesti menjadi jongos Israel. Ini misalnya yang dilakukan As-Sisi di Mesir, seperti dijelaskan di awal. Jika tidak mau menjadi jongos mereka, maka pemerintahannya akan dikudeta oleh pion-pionnya, seperti yang menimpa pemerintahan Erdogan di Turki. Meski alhamdulillah, kudeta terakhir ini berhasil digagalkan rakyat Turki dengan izin Allah.
Lalu bagaimana dengan kunjungan salah satu tokoh muslim Indonesia ke Israel beberapa waktu lalu? Bagaimana kita melihat persoalan ini secara kritis? Sebab, para pendiri bangsa Indonesia telah sangat jelas menempatkan posisi Indonesia dalam isu Palestina, yaitu menentang penjajahan Israel. Artinya, sampai saat ini Indonesia masih memandang Israel sebagai penjajah. Jadi, beramah-tamah dengan Israel berarti berteman dengan penjajah bukan?
Pertama, mari kita lihat respon Yahudi yang ditunjukkan langsung oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu melalui cuitan akun Twitternya. Sembari mengupload foto-foto bersama Yahya Cholil Staquf, Netanyahu menulis “I’am Very Happy” (saya sangat senang). Jadi, sebagai pimpinan Yahudi Israel, Netanyahu jelas sangat senang atas kunjungan tersebut.
Kedua, mari kita lihat respon umat Islam di Palestina dan Indonesia. Di Palestina, sikap kontra telah ditunjukkan oleh dua faksi utama, HAMAS dan Fatah. Keduanya mengecam kunjungan tersebut via website mereka, karena kunjungan tersebut dianggap gagal memahami apa yang sedang dihadapi umat Islam di Palestina berupa penjajahan yang semakin tak berperikemanusiaan.
Sementara di Indonesia, kunjungan tokoh tersebut, praktis telah menimbulkan kontra muslim Indonesia karena posisi yang bersangkutan sebagai elit pemerintahan yang sedang berkuasa. Dari para politisi sampai rakyat biasa mengkritisi kunjungan tersebut. Para ulama juga ikut mengecam. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga menegaskan kunjungan tersebut tidak mewakili organisasi ulama tersebut. Dan pemerintah juga telah menegaskan, kunjungan tersebut adalah inisiatif pribadi, bukan mewakili pemerintah.
Kendati pun demikian, kita memang cukup prihatin karena efek perpecahan ummat yang ditimbulkan. Dan cukup prihatin karena seharusnya muslim Indonesia kompak mendukung kemerdekaan Palestina sesuai amanat pendiri bangsa ini. Di sini kita melihat, bahwa kita punya banyak pekerjaan rumah untuk memperkuat pemahaman muslim Indonesia, bahwa rakyat biasa, maupun tokohnya, bahwa kita perlu konsisten bersikap tegas kepada Israel hingga mereka mengakhiri penjajahannya di bumi Palestina.
Juga penting untuk kita melihat kembali penjelasan Islam tentang watak Yahudi. Sehingga kita tidak seperti pungguk merindukan bulan. Berharap bisa berteman dengan Israel, tapi mereka sedang menyiapkan belati di balik meja pedamaian. Kita berbusa-busa berbicara Islam itu rahmat di depan mereka, tentang konsep kasih sayang dalam Islam, tapi gagal memahami penjelasan Islam tentang watak dan karakter Yahudi yang juga dijelaskan dalam Islam.
Akibatnya, kita gagal mengejawantahkan pesan Islam untuk, “Keras kepada kaum kuffar dan lemah lembut kepada sesama muslim” (baca QS.Al-Fath: 29). Kondisi ini justru mengakibatkan tidak jarang banyak yang lebih keras kepada sesama muslim. Jadi, adalah penting untuk memahami karakter Yahudi, sehingga, sekali lagi, jangan sampai kita seperti pungguk merindukan bulan. Kita berharap bisa mendakwahi Yahudi dengan konsep Rahmah (kasih sayang) dalam Islam, tapi setelah itu yang kita saksikan adalah semakin menggilanya penjajahan Yahudi di bumi Palestina.
Baca: KH Ma’ruf Amin: Kita Tidak Mendukung Yahya Staquf Kunjungi Israel
Millah Yahudi
Betul kita perlu mendakwahi siapapun, termasuk Yahudi, itu juga perintah Islam, tapi jangan melupakan karakter dasar mereka dan apa yang sedang mereka perbuat untuk umat Islam di Palestina. Di antara penjelasan Al-Quran yaitu, “Dan sekali-kali Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah ridha (senang) kepada kamu sehingga kamu mengikuti millaj mereka” [al-Baqarah: 120]”. Ayat ini adalah penegasan Islam tentang watak Yahudi, bahwa Yahudi tidak akan pernah senang kepada kita (umat Islam/pengikut Nabi Muhammad Saw) Dan mereka baru akan senang jika kita mengikuti ‘millah’ mereka. Tentulah tidak kita meragukan penjelasan Alquran ini, bukan? Dari berbagai literatur diterangkan, Millah Yahudi itu baik kategori budaya, agama, pola atau cara berfikir (wordview), kebijakan-kebijakan dan seterusnya. Jadi bukan hanya agama.
Dari keterangan Alquran ini seharusnya kita bisa memahami berbagai fenomena dunia saat ini sehingga kita bisa melihat garis demarkasi yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Bahwa jika Yahudi senang kepada kita, itu karena kita telah terperangkap dalam millah mereka. Kalau tidak, maka tidak mungkin mereka akan senang. Itu cara mudah untuk berfikir. Kalau kita mengadakan pertemuan dengan Yahudi lalu mereka senang kepada kita, itu artinya besar kemungkinan kita telah terperangkap dalam millah mereka.
Begitu juga sebaliknya, jika Yahudi tidak senang kepada seseorang atau sekelompok orang, maka itu artinya orang tersebut jauh dari millah Yahudi. Dan jauh dari millah Yahudi itu pertanda konsisten dalam Islam. Jika hari ini kita melihat sejumlah umat Islam sangat tidak disukai Yahudi, maka itu artinya mereka sedang berada di atas jalan Islam.
Lalu bagaimana dengan kunjungan tokoh muslim Indonesia di atas? Kunjungan ini, pada faktanya telah membuat Benjamin Netanyahu (bos Yahudi) sangat senang seperti dituliskannya dalam akun twitternya. Kita tidak perlu menyimpulkan kunjungan tokoh tersebut ke Israel telah terperangkap dalam agenda Yahudi. Karena Allah Subhanahu Wata’ala Maha Penerima Taubat. Namun yang pasti, kita harus selalu meyakini kebenaran Al-Quran, bahwa Yahudi tidak akan pernah senang kepada kita (umat Islam) sebelum kita ikuti millah mereka. Apalagi, cukup banyak ayat-ayat Alquran yang lain yang menegaskan watak dan karakter Yahudi.
Oleh sebab itu, marilah kita terus berdoa agar istiqamah di jalan Islam, meskipun seperti kita mengenggam bara api di lautan. Berat untuk berdiri pada posisi Islam, tapi balasan yang Allah janjikan sangat besar kelak di hari akhirat. Marilah kita berdo’a agar Allah Subhanahu Wata’ala memperlihatkan kepada kita kebenaran sebagai kebenaran, dan kebatilan sebagai kebatilan. Agar kita tidak tertipu melihat kebatilan sebagai kebenaran. Wallahu a’lam bishshawab.*
Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Alumnus Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara