Sambungan artikel PERTAMA
Catatan Para Sarjana
Mengapa kelompok sekuler-liberal bisa juga terjerembab ke dalam emosionalisme dan intoleran, sehingga klaim rasional dan anti emosional yang kerap dilekatkan kepada mereka menjadi sebuah mitos? Jawabannya adalah ideologi atau keyakinan politik apapun akan memberikan bekas pada diri seseorang saat keyakinanya itu tengah terpukul. Catatan sejumlah sarjana menyatakan demikian:
Pertama, gejala emosionalisme dalam sebuah ideologi sejatinya sudah diraba oleh sejumlah ilmuwan politik. Persis seperti yang dikatakan Giovanni Sartori (1969) dalam artikel klasiknya “Politics, Ideology, and Belief Systems”, bahwa ideologi saat menjadi belief system tidak dapat semata dianalisis dengan pendekatan kognitif, melainkan kognitif beserta afektif sekaligus. Ketika orang sudah tenggelam dalam aktivisme politik, maka tidak bisa lagi melepaskan faktor emosional. (“Politics, Ideology, and Belief Systems”, The American Political Science Review, 403)
Kedua, penelitian neuroscience terbaru mendukung klaim ilmuwan politik bahwa keyakinan seseorang pada masalah politik tertentu (political belief) ternyata mengikutsertakan emosi di dalamnya. Penelitian yang dilakukan University of Southern California tahun 2016 terhadap partisipan kalangan liberal menemukan temuan bahwa bagian otak di area insular cortex dan amygdala dalam kondisi berbeda ketika keyakinan politik mereka (yang sulit diubah) coba ditantang (challenge) bila dibandingkan dengan kondisi otak di bagian yang sama saat keyakinan non politik (yang mudah diubah) ditantang (challenge).
Pada saat keyakinan politik ditantang, muncul perlawanan yang menyebabkan bagian otak di area insular cortex dan amygdala menjadi lebih aktif. Ini tidak terlihat ketika keyakinan non politik ditantang. Sedangkan aktivitas insular cortex diketahui berhubungan dengan emosi dan perasaan. Pada anterior insula (bagian dari insular cortex) akan aktif ketika seseorang merasa terancam, dalam situasi tidak pasti atau keyakinan inti seseorang tengah mendapat tantangan. (Jonas T. Kaplan, Sarah I. Gimbel dan Sam Harris, “Neural Correlates of Maintaining One’s Political Beliefs in the Face of Counterevidence,” Scientific Reports, December 2016, 5 dan 8). Ini yang menyebabkan Jonan T. Kaplan, salah satu peneliti yang ikut dalam penelitian tersebut mengatakan, “Political beliefs are like religious beliefs in the respect that both are part of who you are and important for the social circle to which you belong.”
Hasil penelitian ini menguatkan klaim bahwa ideologi, yang juga bisa masuk dalam kategori political belief, bisa memengaruhi seseorang atau kelompok untuk bersikap emosional. Terlebih jika yang terpukul adalah dasar ideologi.
Tak aneh Jika kelompok sekuler-liberal yang ada di balik dukungan terhadap Ahok, merasa sangat gundah dan dendam. Karena gagasan sekuler-liberalnya terganggu dengan fenomena al-Maidah effect. Itu yang bisa diraba dari sikap Ananda Sukarlan ketika walk out (WO) saat Gubernur Anies memberikan pidato pada acara ulang tahun Kolese Kanisius.
Jika Ananda Sukarlan sampai memutuskan WO, maka sejatinya luka ideologisnya cukup akut dan menganggu keyakinan politik paling dasar. Itulah sebabnya ia melakukan resistensi.
Ketiga, hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan sejumlah sarjana bidang psikologi juga makin mengukuhkan tesis bahwa kelompok sekuler-liberal tidaklah suci dari faktor emosionalisme, meskipun kali ini yang diteliti adalah faktor toleransi kelompok liberal. Misalnya, penelitian yang dilakukan Mark J. Brandt, Geoffrey Wetherell dan Christine Reyna (2013) memaparkan bahwa kelompok liberal yang kerap dipandang toleran oleh penelitian ini justru dianggap oversimplifikasi. Sebab penelitian ketiga peneliti tersebut menyimpulkan bahwa kelompok liberal tidak setoleran yang dikira. Mereka juga melakukan diskriminasi terhadap kelompok yang menetang keyakinan politik mereka. Dengan demikian kalangan liberal sama saja dengan kelompok konservatif yang juga memraktikkan pandangan diskriminatif. (Geoffrey A. Wetherell, Mark J. Brandt dan Christine Reyna, “Discrimination Across the Ideological Divide,” Social Psychological and Personality Science, 2013, 664.).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Penelitian yang dilakukan tiga laboratorium yang berbeda (DePaul University, St Louis University, The College of New Jersey) pada tahun 2014 juga menyimpulkan hal yang kurang lebih sama bahwa kelompok liberal juga menampakkan sikap intoleran terhadap kelompok yang berseberangan dengan mereka. (Mark J. Brandt dkk, “The Ideological-Conflict Hypothesis: Intolerance Among Both Liberals and Coservatives,” Current Directions in Psychological Science, 2014, 30)
Penelitian ini memupuskan mitos yang kerap digadang-gadang kalangan liberal bahwa mereka adalah kelompok toleran dan tidak sama dengan kalangan konservatif yang intoleran. Jika demikian, jangan terlalu percaya dengan slogan toleran, rasional dan tidak emosional yang seringkali digunakan kelompok sekuler-liberal ketika sedang sibuk berargumen atau berkampanye. Sebab ada nuansa kuat yang menunjukkan bahwa itu semua adalah mitos yang dipelihara dan memiliki kepentingan tertentu. Kepentingan apa? Yang jelas adalah kepentingan ideologis menyekulerkan dan meliberalkan Indonesia. Wallahu a’lam.*
Mahasiswa Magister Islamic Studies Konsentrasi Agama dan Politik, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta