Oleh: M. Ramli
SELASA 24 Mei 16 salah satu talk show favorit masyarakat Indonesia mengangkat tema “Kontroversi Gelar Pahlawan Soeharto”. Hadir pada saat itu beberapa kalangan elit partai, pakar tata negara dan anak Soekarno Sukmawati serta Kivlan Zein serta beberapa satu aktivis 98.
Diskusi berjalan cukup alot, pendapat besebranagan mewarnai jalannya acara yang dipunggawai oleh Karni Ilyas.
Dikubu yang setuju pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto ada Fadli Zon, Nurdin Halid dari partai Golkar. Bahkan AM Fatwa yang pernah merasakan keganasan Orde Baru sangat menyetujui pemberian gelar tersebut dengan alasan yang cukup arif tidak boleh ada dendam diantara kita. juga Mahfudz MD sebagai pembicara terakhir sebagai closing statemen yaitu Mahfudz MD menyetujui pemberian gelar itu.
Dan di kubu yang kontra ada Sukmawati (putri Soekarno) yang menjelaskan sedikit tentang sejarah kejadian-kejadian yang terjadi pada saat-saat genting, baik G 30/S/PKI maupun pada saat detik-detik Soekarno lengser. Hadir beberapa aktivis 98 yang juga sangat tidak setuju.
Beberapa media eletronik, selain mengangkat tema PKI juga mengangkat tema kontroversi pahlawan nasional kepada Soerharto, seperti kompas selama bulan Mei tidak kurang dari 7 artikel yang dimuat.
Apa sebenarnya konsep pahlawan nasional? Pahlawan “Pahlawan” adalah sebuah kata benda. Secara etimologi kata “pahlawan” berasal dari bahasa Sanskerta “phala“, yang bermakna hasil atau buah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani.
Tentang ketentuan gelar kepahlawanan nasional, baik konsep, prosedur dan tata telnisnya dapat dilihat pada:
Pertama, Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan.
Kedua, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan
Dalam Undang-Undang diatas telah tercantum secara rinci syarat khusus dan umum. Namun belum ada penjelasan dan petunjuk yang jelas apakah kesemua syarat itu harus terpenuhu dan menilainya secara holistik, atau bisa dilihat pada beberapa aspek yang menjadikannya layak diangkat sebagai Pahlawan nasional. Hal inilah yang diaampaikan oleh pakar tata negara prof Rafli Harun. Lebih lanjut beliau mengatakan timingnya saat ini juga belum tapat, karena beberapa pelaku sejarah dan saksi hidup baik yang berada dikubu soharto maupun yang dikubu yang berbeda akan selalu menuai kontroversi.
Ditinjau dari segi hukum fiqih, karena ini soal duniawi semata maka tidaklah mengapa, al ashlu al asyaai al ibahah (pada asalnya setiap urusan keduniaan itu mubah hukumnya, kecuali ada dalil yang mengharamkan/mengecualikannya”. Dan sabda Nabi: antum a’malu bi umuuridunyakum (kalian yang lebih tahu tentang urusan keduniaan).
Terlepas dari tujuan dan manfaat yang dirasakan oleh keluarga atau yang menghendaki gelar itu diberikan sesungghunya dalam perspektif Islam tidaklah berpengaruh dan Sedikitpun tidak mendatangkan kebaikan kepada yang sudah meninggal.
Akan tetapi yang sampai dan kebaikan yang mengalir tidak putus-putusnya adalah ilmu 1) yang bermanfaat 2) Amal Jariyah 3) anak sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya. Dan ketiga aspek ini tidak memerlukan gelar.
Menurut hemat penulis, sisi baik yang diambil dari pemberian gelar kepahlawanan nasional dapat mberikan pemahaman dan pengetahuan kepada generasi bangsa secara contnyu tentang perjalanan dan kisah bangsa yang setiap zamannya memiliki figur dan tokoh yang memang layak dan dapat menjadi “inspirasi” yang berpengaruh terhadap generasi bangsa.
Ditengah kontroversi pemberian gelar kepada Soeharto, hendaknya sebagai seorang muslim tetap menjaga adab terhadap sesama yang bukan hanya waktu hidup tapi juga setelah meninggalnya. Dan inilah ajaran Islam yang sangat mulia. Rasulullah SHalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
“Janganlah kalian mencela orang-orang yang telah meninggal karena mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka kerjakan.” (HR. Al-Bukhari no. 6516)
Larangan mencela ini juga dimaksudkan untuk tidak menyakiti hati keluarga yang ditinggalkan.
Dari Mughirah bin Syu’bah, ia berkata : Rasulullah SHalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Janganlah kalian memaki orang-orang yang telah meninggal, karena (jika demikian) bisa menyakiti orang-orang yang masih hidup”. [HR. Ahmad juz 6, hal. 342, no 18235]
Pada akhirnya, untuk urusan kesalahan dan kebaikan, biarlah mahkamah Allah yang mengadili. Dan untuk pemberian gelar pahalawan nasioanal terhadap Soerhato, karena ini hanya produk dan kesepakatan manusia, bukan syariat. Hendaknya melihat maslahat dan madharat, Jika memang saat ini lebih berat madharatnya, dan khawatir mendatangkan perpecahan dikalangan bangsa maka sebaiknya jangan dilakukan, sebagaimana kaedah fiqih دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ. Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan. Allahu A’lam.*
Penulis seorang guru, tinggal di Batam