Oleh: Lis Romaniawati
Innalillaahi wa inna ilaihi rooji’uun. Telah berpulang dunia Bapak Ahmad Budi Cahyanto. Beliau adalah seorang guru Seni Rupa di SMA Negeri 1 Torjun. Kronologis kejadian meninggalnya guru asal Sampang, Madura ini akhir-akhir ini viral di banyak media. Media yang memberitakan hal ini di antaranya Republika.co.id, Jakarta.
Disebutkan, sebelum meninggal guru honorer ini sempat terlibat cekcok dengan siswa kelas XI berinisial MH. MH ditegur Bapak Budi karena dinilai telah mengganggu temannya. MH tak terima. Saat keributan itu, bahkan MH disebut memukul dan mencekik leher gurunya sendiri.
Kisah sedih yang mengiris hati. Kisah pilu yang harus dialami seorang guru. Guru yang seharusnya digugu dan ditiru, ini malah dibunuh. Dibunuh oleh siswanya sendiri. Ironis!
Kejadian ini membuat sistem pendidikan kita yang sudah tercoreng, menjadi kian tercoreng. Pengaruh sekulerisasi dalam bidang pendidikan kian nyata. Serangan pemikiran asing terhadap fikrah Islam kian tak terbendung.
Sebagai salah satu konsekuensi hidup dalam aturan demokrasi kapitalis, siswa pun seolah-olah diberi pilihan untuk beradab atau tidak kepada gurunya. Dalih kebebasan bertingkah laku, mencerabut sikap hormat siswa terhadap guru. Keberkahan ilmu pun hilang entah ke mana. Para pembelajar pun merasa tak lagi perlu mengetahui bagaimana adab murid terhadap guru.
Kita jengah dengan kondisi yang ada. Selain ada pelajar yang tega membunuh gurunya sendiri, di tempat lain ada juga pelajar yang menantang kepala sekolahnya. Miris, katanya pelajar, tapi kurang ajar. Padahal, yang ke depan akan memimpin umat ini mereka. Adakah yang suka perbuatan pelajar yang brutal? Tak ada! Semua sepakat, itu bukan cermin pelajar yang baik.
Pelajar yang baik tentu akan bersikap baik kepada guru sebagai orang tuanya di sekolah. Belajar sungguh-sungguh. Terus berusaha menjadi pelajar yang sholeh. Berusaha membuat orang tua, guru, bangsa, dan agama bangga. Tak kenal lelah dalam memahami Islam. Sampai akhirnya mereka pun akan paham, bagaimana Islam telah mengatur dengan sempurna kehidupan ini. Termasuk mengatur bagaimana adab siswa kepada guru. Hingga mereka takkan berani membuat ulah. Apalagi membuat resah dan gelisah para guru. Mereka akan memperlakukan guru dengan perlakuan yang sebagaimana mestinya. Insyaa Allah bila saja para siswa pembelajar memperhatikan hal ini, kisah pilu Bapak Budi di atas mungkin takkan menimpa guru lain.
Kita tahu betul, selama sistem pendidikan sekuler masih berlangsung, sedikit ada amar ma’ruf terhadap anak didik, dalih melanggar HAM akan terus dikedepankan. Dalam sistem kapitalis orang tua dan pihak sekolah disetting untuk saling lempar tanggung jawab. Kalau ada perbuatan yang tak elok dari anak, orang tua tak mau tahu, akan menyalahkan sekolah. Pihak sekolah pun akan memberikan opsi untuk mencari tempat lain untuk belajar, bila orang tua tak mau kerja sama. Kalau begini terus, bagaimana bisa terlahir generasi cemerlang?
Melahirkan generasi cemerlang perlu proses yang panjang. Untuk menjadikan seorang penghafal qur’an yang bicaranya ahsan saja perlu perjuangan. Menurut salah seorang pakar parenting, Ustadzah Yanti Tanjung, jangan heran, bila kita menemukan fakta, ada penghafal al-Qur’an, tapi bicaranya tidak ahsan. Menurut beliau, memang tak ada hubungan antara hafalan dan bicara ahsan. Orang yang menghafal al-Qur’an ya jadinya hafal al-Qur’an bukan faham isi al-Qur’an. Harus ada aktivitas lain agar anak faham isi al-Qur’an. Aktivitas lain itu adalah penanaman tsaqofah Islam.
Tak bisa kita pungkiri, sistem pendidikan sekuler tak menjamin tsaqofah Islam ini tertanam dengan kuat. Adapun yang nampak adalah dampak kerusakan yang kian parah atas penerapannya. Bagaimana kita pun melihat sendiri output yang dihasilkannya. Belum bisa diharapkan mampu menjadi arsitek peradaban cemerlang di masa depan.
Walhasil, hanya sistem pendidikan Islamlah yang mampu mencetak pribadi-pribadi yang menyadari keberadaan dirinya sebagai hamba Allah. Mereka adalah pribadi yang mengetahui jelas visi misi hidupnya. Mereka paham, Allah pencipta mereka. Mereka pun paham, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memerintahkan mereka untuk menjadi khalifah pemakmur bumi.
Terkait kisah pilu yang menimpa guru di atas harus segera diakhiri. Untuk itu diperlukan perjuangan panjang agar terlahir sistem pendidikan Islam, yaitu sistem yang bertujuan membentuk kepribadian Islam.
Adapun berbagai kisah buram di dunia pendidikan, ini adalah cerminan rusaknya generasi masa kini. Harus disadari, Mereka adalah generasi yang harus diperjuangkan dengan peluh, air mata dan darah. Agar bisa sholeh sholehah. Agar kelak menjadi pemimpin umat sekaligus pengisi peradaban mulia.
Tugas kita sekarang, mewujudkan ketakwaan individu, menjalankan kontrol di tengah masyarakat, dan mengembalikan kembali peran negara kepada fungsi yang seharusnya. Dengan terwujudnya ketiga pilar ini, kualitas Sumber Daya Manusia bisa terjaga. Pribadi-pribadi yang sholih dan mushlih pun akan terbentuk. Insyaa Allah! Wallahu a’lam.*
Ibu Rumah Tangga, Pengajar di Sekolah Tahfidz Penghapal Qur’an Plus Khairu Ummah Cimahi