Oleh: Imam Nawawi
SETELAH sempat ‘tenggelam’ dari headline media, kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) kini mendapatkan momentum emas untuk kembali hadir dan meresahkan masyarakat. Komunitas yang mendapat perhatian – kalau tidak dikatakan dukungan – banyak media mainstream di dalam dan luar negeri itu pun semakin cerdik dalam memaksakan kehendaknya untuk bisa diakui secara utuh di negeri ini.
Mirisnya, kran mencuatnya isu LGBT justru dibuka oleh seorang Menteri Agama Republik Indonesia. Pada acara ulang tahun Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) ke-22 yang juga diisi dengan pemberian penghargaan bagi LGBTIQ pada tanggal 26 Agustus 2016, Menteri Agama Lukman Saifuddin memberikan pidato kebudayaan.
Dalam pidatonya Menteri Agama menyebut Indonesia sebagai “bangsa yang bercirikan kemajemukan dan keberagaman, namun belakangan didera berbagai ancaman dari kalangan yang hendak memaksakan keseragaman.”
Sekalipun pada 30 Agustus 2016 rilis Menteri Agama yang menyatakan dirinya tidak mengetahui perihal pihak yang akan mendapat penghargaan, nasi sudah menjadi bubur. Umat Islam terlanjur dikecewakan. Berita telah tersebar luas bahwa Menteri Agama memberikan dukungan kepada kelompok yang pernah membuat gaduh umat Islam dengan mengirim somasi kepada Harian Umum Republika, menekan KPI atas keputusannya larang televisi tampilkan karakter banci, dan melalui LBH Jakarta juga mensomasi pernyataan seorang akademisi yang mengatakan LGBT merupakan bentuk gangguan jiwa di sebuah acara diskusi di televisi swasta.
Sikap kelompok LGBT ini jelas semena-mena. Siapa yang dinilainya berseberangan pasti akan dituduh dan dilabeli dengan beragam istilah negatif, mulai dari intoleran sampai pada melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Sikap demikian tentu merupakan bukti bahwa kelompok LGBT adalah kelompok yang tidak berpikiran terbuka dan memandang hanya dirinyalah yang benar, patut diakui keberadaannya dan karena itu harus diberikan kebebasan dalam hal apapun yang mereka inginkan.
Tetapi, umat Islam tidak terkejut dengan sikap anti mendengarkan pendapat orang lain dari kelompok LGBT ini. Sebab, pengidap penyakit para penentang Nabi Luth ini pun tidak pernah mau mendengar, mencerna dan menghayati nasehat-nasehat penting Nabi Luth kepada mereka. Sebaliknya, mereka sangat suka melakukan beragam ancaman-ancaman kepada Nabi Luth.
Dengan kata lain, LGBT adalah pihak yang tidak bisa membedakan nasehat dengan kebencian. Dan, terhadap nasehat yang baik mereka selalu menuduh sang penasehat sebagai orang yang sok suci.
Sikap tersebut sebenarnya lebih menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh kelompok LGBT secara hati nurani memang tidak bisa diterima. Tetapi, karena hawa nafsu, keingkaran menjadikan mereka buta terhadap kebenaran.
Padahal memandang LGBT kita tidak butuh logika akademik yang njelimet. Apa yang disampaikan oleh Hamid Chalid ahli pemohon dalam sidang lanjutan perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 di gedung Mahkamah Konstitusi (23/8) patut jadi renungan seluruh warga negara Indonesia. Bagaimana kalau kelak LGBT diakui maka HAM akan menjadi senjata mereka melakukan apapun yang mereka inginkan.
Chalid berkata, “Atas nama cinta dan hak asasi manusia, bolehkah dan pantaskah seorang anak laki-laki menzinai ibunya sendiri? Apakah, atas nama kebebasan dan hak asasi, seorang bapak dapat menzinai anak perempuannya sendiri? Senang hatikah ibu bapak sekalian, apabila melihat anak laki-laki kita yang telah menginjak dewasa berpeluk-cium bermesraan dan melakukan sodomi dengan teman laki-lakinya sesama jenis? Apakah diterima oleh ibu bapak sekalian, anak kita dicabuli oleh teman sekelasnya sesama jenis?”
Oleh karena itu, semua pihak mesti melihat LGBT secara lebih utuh, bahwa LGBT akan merusak pondasi tegaknya bangsa dan negara ini, yakni keluarga. Jika LGBT dibiarkan, maka keluarga yang mengejawantahkan semangat berke-Tuhan-an Yang Maha Esa, dan berkemanusiaan yang adil dan beradab hanya akan jadi utopia.
Dan, yang tidak bisa dibantah lagi buruknya praktik LGBT adalah semua agama di Indonesia menolak LGBT. Majelis-Majelis Agama yang terdiri dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) pada 18 Februari 2016 dengan tegas menyatakan bahwa, aktivitas LGBT bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama, bertentangan dengan Pancasila; UUD 1945 Pasal 29 (1) dan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lebih jauh, ditegaskan, aktivitas LGBT sangat meresahkan masyarakat dan berdampak negatif terhadap tatanan sosial bangsa Indonesia.
Dengan demikian, sangat tepat ungkapan Juru Bicara Presiden RI Johan Budi pada 11 Agustus 2016 bahwa tidak ada ruang di republik ini untuk LGBT berkampanye mempengaruhi orang lain untuk menjadi seperti mereka. Hal ini dapat dipahami karena memang LGBT adalah perilaku menyimpang dan harus dicarikan solusi penyembuhan sesuai dengan keyakinan yang dianutnya. Upaya ini akan terbukti ampuh jika para akitvis LGBT benar-benar mau membuka akal pikiran sesuai agama yang diyakininya.
Di sinilah rasa kecewa segenap bangsa Indonesia pantas ditumpahruahkan kepada Menteri Agama atas ketidakhati-hatiannya dalam menghadiri sebuah forum dan berpendapat secara tidak patut dan sangat melukai hati rakyat Indonesia.
Andai pun itu khilaf dan tidak diakui sebagai kesalahan sebagaimana rilis yang disebarkan ke berbagai media, hendaknya Menteri Agama bisa menyatakan dengan tegas secara terbuka bahwa LGBT itu benar-benar berbahaya bagi bangsa dan negara, yang karena itu LGBT mesti ditangani sesuai agama yang diyakini agar kembali kepada jalan yang lurus sesuai prosedur di dalam agama masing-masing. Sebab Republik ini merdeka tidak bisa dipisahkan dari kekuatan spiritual rakyatnya dan tidak mungkin NKRI ini akan utuh dengan mengabaikan norma-norma agama. Dan, atas terkuaknya praktik prostitusi anak untuk kaum homoseksual, semoga nurani kita kembali hidup dan bergerak menyalakan api kebenaran.*
Pegiat Aliansi Gerakan Indonesia Baru-AGIB