Oleh: Naspi Arsyad
APRESIASI patut diberikan kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang berhasil membongar sindikat kriminal prostitusi anak yang dilanggan pengidap homoseksual. Hal ini, merupakan salah satu capaian prestisius Polri semenjak di bawah kepemimpinan Jenderal Tito Karnavian, yang baru dilantik Juli lalu.
Diberitakan Republika Online, Selasa (30/08/2016), anggota Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri membongkar praktik prostitusi homo online yang melibatkan anak usia di bawah umur di Hotel Cipayung Asri Jalan Raya Puncak KM 75 Cipayung Bogor, Jawa Barat.
Temuan polisi mengungkap terdapat 99 orang korban yang umumnya anak berusia di bawah umur benar-benar membuat kita tergagap. Belum lagi data yang disodorkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohanna Yembise, menyebutkan sedikitnya terdapat 3.000 anak laki-laki yang masuk menjadi korban prostitusi gay di Indonesia.
Tak kalah miris, sejumlah korban dari pelaku muncikari AR yang telah melalui proses rapid assessment dilakukan Kementerian Sosial, terungkap jika anak-anak tersebut pada awalnya telah mengalami krisis interelasi dengan komunitas terdekatnya yaitu keluarga. Mereka mengaku menginginkan kebahagiaan di rumah. Mereka merindukan keharmonisan.
Beranjak dari situ, kekhawatiran kita bukan saja kepada ancaman meluasnya praktik jadah yang boleh jadi memapar lebih banyak lagi target ini. Namun, di sisi lain, kita dapat pula melihat betapa terpukulnya korban dan kerabatnya, yang barangkali tak pernah menduga, hal itu terjadi pada anak-anak mereka.
Fenomena ‘baru’ ini saya kira merupakan sinyalmen ancaman sangat serius terhadap anak-anak kita. Dan, yang tak boleh diabaikan, bagaimana menetralisasi dampak dari perilaku lancung tersebut terhadap mereka yang telah terlanjur menjadi korban di usianya yang sangat rentan.
Karena, menyangkut aspek psikologis yang sangat pribadi, kasus ini menjadi sedikit pelik sehingga penanganannya pun harus konfrehensif.
Apabila tak tertangani dengan baik, maka tidak saja mereka akan menepi dari interaksi sosialnya. Namun, lebih dari itu, korban-korban ini berpotensi ‘bergentayangan’ akibat dirisak (bullying) oleh kerabat atau lingkungannya sehingga semakin merasa nista. Karena itu, ia memilih menceburkan diri sepenuhnya.
Mengerikan! 99 Anak Jadi Korban Eksploitasi Prostitusi Kaum Homo
Saya kira, terbongkarnya prostitusi anak untuk pelanggan kalangan homoseksual ini, tidak semata menunjukkan bahwa negara dan masyarakat lalai melindungi anak-anak. Melainkan, juga terdapat problem serius khususnya dalam cara pandang.
Tak dimungkiri bahwa semakin ke sini, generasi muda kita terhantar menjadi kian permisif dan hedonis. Ini salah satunya ditandai dengan perilaku sebagian remaja yang merasa tak perlu lagi mengindahkan nilai-nilai asusila.
Maka, tak mengherankan, didapati ada anak umur belasan tahun tak sungkan buka-bukaan dan berciuman di muka khalayak.
Laku tak umum itu kemudian dengan gampangnya diunggah ke dunia maya lalu dengan pongah menihilkan tatanan sosial yang berbudi pekerti. “Tidak usah menjadi polisi moral. Urus saja moralmu,” demikian ujaran ironi yang kerap terlontar.
Artinya, menurut mereka, siapapun tidak punya legitimasi mengurusi hak dan kehendak orang lain. Lu-lu, gua-gua!.
Saya berasumsi, permisifitas semacam itu, terutama dipicu oleh beragamnya usaha rasionalisasi terhadap hal-hal yang selama ini dianggap tabu. Misalnya, berpandangan, kecenderungan menjadi homo atau lesbi disebabkan oleh genetik sejak lahir.
Rasionalisasi, dengan mengungkitnya melalui sudut pandang akademistik dan keleluasaan HAM ala Barat, hal ini sukar ditampik turut mendorong generasi muda yang memang masih ‘kosong’ itu menerima mekanisme ilmiah tersebut.
Memang, dalih intelektualisme dan terma logisme selalu mampu meredam disparitas keragaman pandangan. Tapi, sayangnya, ruang yang sebetulnya sangat sehat ini malah tampak terkonfigurasi sebagai legalisator perilaku asusila.
Akibatnya kemudian, perilaku yang sebelumnya secara umum adalah abnormal, akhirnya pelan-pelan dianggap normal. Bahkan, mendesak agar ada keabsahan oleh negara atas abnormalitas tersebut.
Jelas sukar dicerna perilaku homoseksual atau lesbian disebut sebagai bawaan fitrah sehingga demikian harus diterima apa adanya. Ini sama seperti koruptor yang menolak didakwa bersalah karena dia tak pernah memilih dilahirkan sebagai koruptor atau penjahat, melainkan tindakan itu muncul karena variasi preferensi perilaku belaka.
Naifnya, logika yang kali pertama dikenalkan pada 1899 oleh Magnus Hirscheld dari Jerman itu, coba terus dikonstruksi dengan menyertakan publikasi keputusan penghapusan paham homoseksualitas sebagai gangguan jiwa oleh Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) pada 17 Mei 1990.
Rasionalisasi absurd itu ditambah lagi dengan buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi II tahun 1983 (PPDGJ II) dan PPDGJ III (1993).
Menurut Bidang Kajian Ilmiah Asosiasi Psikologi Islam, publikasi semacam itu sejatinya merupapan senjata politik untuk memengaruhi penanganan psikologis dan sikap toleransi perilaku LGBT yang puncaknya menghasilkan legalisasi perilaku LGBT sebagai bagian HAM. Terjadilah delusi ilmiah, yaitu kekeliruan ilmu pengetahuan dianggap satu-satunya alat mencari kebenaran. Mereka lupa, metode ilmiah hanyalah alat memahami kebenaran, bukan sumber kebenaran itu sendiri.
Karenanya, perilaku LGBT merupakan kasus yang memperlihatkan obyektivitas ilmu pengetahuan hal yang sulit diterapkan. Bahkan, dalam dunia ilmu pengetahuan sekuler sekali pun. Dalam pada itu, paradigma dasar genetika atau lingkungan (nature vs nurture) untuk perilaku LGBT mendapat tekanan pihak tertentu, sehingga hasil penelitian ilmiah yang masih prematur dipublikasikan dan dianggap kepastian ilmiah, bahkan di buku kuliah mahasiswa psikologi tingkat awal. (Aliah BP Hasan, Republika, Edisi 18/02/2016).
Di titik inilah, saya kira, kita perlu menyentil kewarasan nasional dan membangun obyektivitas berkebangsaan kita yang berlandas pada nilai-nilai luhur kesusilaan.
Karena kita Indonesia. Kita punya nilai dan tata krama sendiri. Di dalam Pancasila jelas termaktub bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, mengartikulasi keragaman individu yang berketuhanan Esa dengan menjunjung nilai-nilai agung ajarannya. *
Ketua Umum PP Pemuda (Syabab) Hidayatullah