Oleh: Ahmad Husain
MENGUTIP perkataan Ki Hajar Dewantara “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” (Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberikan dorongan).
Namun pada kenyataannya berbanding terbalik dari apa yang di cita-citakan oleh para pendahulu kita. bagaimana tidak, sering kita temui beberapa kasus yang mencoreng nama baik pendidikan di Negeri ini mulai dari kasus penyelewengan dana pendidikan, kasus perkelahian pelajar, hingga kasus amoral para tenaga pengajar.
“Ikan busuk dari kepalanya”, demikian kata berhikmah. Begitu pula dengan kondisi pendidikan yang ada di Indonesia saat ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini mulai dari peningkatan professionalitas tenaga pengajar, pengadaan sarana dan prasarana yang memadai, hingga perombakan kurikulum yang tidak memakan biaya sedikit. Namun hal tersebut tidaklah berdampak banyak jika yang menjadi penyebab masalah terdapat pada sistemnya.
Padahal dalam praktiknya sistem pendidikan di Indonesia pernah menjadi kiblat negara-negara tetangga salah satunya malaysia. Kurang lebih sekitar setengah abad yang lalu pendidikan malaysia jauh tertinggal.
Indonesia bahkan mengirim cukup banyak tenaga pengajar berkualitas ke Malaysia antara tahun 1960-1970an. Selain itu Malaysia juga mengirim putra-putri terbaiknya untuk menuntut ilmu di Indonesia.
Namun seiring berjalannya waktu dunia seolah terbalik, negara ini jauh tertinggal dibanding negara tetangga kini, bukan cuma Malaysia tidak lagi menginpor guru dari Indonesia, justru Indonesia kini berbondong-bondong belajar keluar negeri salah satunya Malaysia.
Menurut Malaysia Education Promotion Centre (MEPC), tahun lalu saja ada 14 ribu mahsiswa asal indonesia yang belajar di malaysia. Sementara, hanya ada 6 ribu pelajar Malaysia yang menuntut ilmu di Indonesia. Hal ini sungguh berbanding terbalik jika kita bandingkan kondisi pendidikan di Indonesia pada era 60-an
Berdasarkan data Education for All Global Monitoring Report 2011,Education Developmen Index (EDI), yang dirilis UNESCO, kualitas pendidikan Indonesia berada pada posisi ke-69. Posisi itu kalah dari peringkat Malaysia yang berada diurutan ke-65 dan jauh tertnggal dari brunei yang berada di posisi ke-34. Ini mengindikasikan bahwa pendidikan Indonesia saat ini tak hanya berjalan lamban, namun sampai kepada titik kemunduran.
Lagi-lagi akar permasalahannya terdapat pada tata kelola dan sistem pendidikan yang ada saat ini, bagaimana tidak, anggaran 20 persen dari APBN dialokasikan untuk sektor pendidikan ini merupakan dana yang sangat besar untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Indoonesia namun tetap saja pendidikan di Indonesia saat ini seolah berjalan ditempat. Maka mestinya perlu diadakan peremajaan tata kelola dan sistem pendidikan di Indonesia,
Ada beberapa lembaga yang menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis. Hal ini terlihat jelasbanyak lembaga-lembaga yang menamakan dirinya sebagai lembaga pendidikan namun tidak memberikan kesan mendidik bagi para siswanya ini dapat temui dibeberapa sekolah, terutama sekolah swasta. biaya pembayaran yang tinggi, namun berbanding terbalik dengan apa yang diperoleh oleh siswa.
sekolah serta sarana dan prasarananya hanya dijadikan sebagai media transfer ilmu pengetahuan bukan sebagai media pendidikan yang benar-benar mengaktualisasikan esensi dan hakikat pendidikan yang sebenarnya.Padahal pendidikan adalah jalan untuk melahirkan sumber daya manusia yang handal, berwawasan luas, berakhlaq mulia, serta memiliki kecerdasan emosional dan spiritual dan diperuntukkan bagi kemajuan bangsa kedepan.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa kebanyakan tenaga pengajar saat ini hanya menggugurkan kewajibannya sebagi guru yang sebatas mentransfer ilmu kepada murid tanpa mengedepankan nilai-nilai dan makna pendidikan yang semestinya.Hal ini berdampak jelas pada kondisi peserta didik saat ini, guru merupakan cerminan murid. jika guru kencing berdiri, murid akan kencing berlari. Maka tak heran jika saat ini banyak kita lihat kondisi pelajar khususnya dikalangan SMP dan SMA banyak yang bermasalah pada segi afektifnya.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan guru nampaknya berbanding terbalik dengan kinerja guru saat ini, hal ini menandakan rendahnya kualitas guru di Indonesia. padahal guru sudah seharusnya memposisikan dirinya tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik yang sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Jadilah seorang guru yang mempunyai prinsip “mengajar untuk belajar memberi”.
Pada akhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan semoga melalui momentum Hari Pendidikan Nasional ini bisa menjadi acuan dan evaluasi terkait pendidikan di Negeri ini, sudah semestinya bangsa ini merekonstruksi ulang tata kelola dan sistem pendidikan serta tenaga pengajar sebagai solusi untuk memajukan pendidikan di Indonesia, karena pada dasarnya pelajar indonesia memiliki potensi yang amat besar dalam dirinya hal ini dibuktikan dengan seringnya siswa/siswi indonesia menjuarai olimpiade-olimpiade di kancah internasional. Ini menandakan bahwasanya sangat besar peluang indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Bahkan sebenarnya indonesia mampu untuk kembali mejadi kiblat pendidikan negara-negara tetangganya, seperti era 60an lalu. semua tergantung bagaimana pengelolaan, dan sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Wallahu a’lam bishawab.*
Penulis merupakan mahasiswa UIN Jakarta, alumni Hidayatullah Bontang