Oleh: Abdul Lathif Ridho | Arya Pradipta
SEJAK berabad-abad lampau, Makkah memainkan posisi strategis sebagai mercusuar aktifitas intelektual Muslim. Di musim haji, kota ini menjadi tempat berkumpul dan berbagi pikiran para ulama yang datang dari berbagai belahan dunia. Hijaz, Kufah, Bashrah, Yaman, Samarqand, Khurasan, Mesir, India, serta negeri-negeri lainnya.
Tak heran jika kemudian banyak jamaah haji yang memanfaatkan momentum tersebut sebagai kesempatan untuk belajar di tanah suci. Talaqi kepada para ulama di sana. Dari tradisi intelektual inilah, khususnya di era kolonial, ide-ide pembaruan Islam di kalangan para penuntut ilmu Melayu Nusantara mulai tumbuh, bersemi dan disebarluaskan.
Tercatat sejak abad ke 18, gerakan pembaruan Islam mulai digelorakan oleh orang-orang Melayu Nusantara yang baru kembali selepas berhaji dan menuntut ilmu di Makkah. Tak semuanya kembali ke Nusantara. Sebagian dari mereka memilih menetap dan mengajar di tanah suci, menjadi oase ilmu di tengah umat. Sebut saja; Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz At-Termasi, dan Syekh Junaid Al-Batawi.
Di masa kini peran tersebut diteruskan oleh syekh Yasin Al-Fadani, Syekh Anis Thahir Al-Indunisi, serta Syekh Amir Bahjat (cicit dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi) yang masih memiliki garis keturunan Indonesia.
Orang-orang Melayu Nusantara yang baru kembali dari Makkah datang dengan membawa angin perubahan di lingkungan tempat mereka tinggal. Bermula dari gerakan pemurnian Islam di Paderi yang diinisiasi oleh H. Miskin, H. Piobang dan H. Sumanik, Ahmad Dahlan lewat Muhammadiyahnya, H. Abdul Karim Amrullah dengan Thawalib dan majalah Al Munir, Ahmad Syurkati melalui Al Irsyad, H. Samanhudi dengan Sarekat Dagang Islamnya serta H. Muhammad Yunus dan H. Zamzam melalui Persis (yang kemudian dilanjutkan oleh Ahmad Hassan).
Hindia Belanda
Angin perubahan yang mereka bawa tak sekadar mencangkup aspek ritual ibadah semata, namun juga semangat anti kolonial. Tak heran, sebab wacana penentangan terhadap kolonialisme negara-negara barat terhadap negeri-negeri Muslim kerap digelorakan tokoh-tokoh Islam dalam pertemuan tahunan ibadah haji. Hal inilah yang membuat pemerintah Hindia Belanda memberikan tambahan gelar haji untuk mengawasi aktifitas mereka setibanya di Nusantara.
Samanhudi misalnya. Dipengaruhi oleh gagasan pembaruan Muhammad Abduh dan semangat anti imperialisme Jamaludin al Afgani yang dipelajarinya semasa di Makkah, Sarekat Dagang Islam didirikan sebagai bentuk perlawanan atas diskriminasi pemerintah kolonial terhadap pengusaha Muslim pribumi.
Di kemudian hari, organisasi ini bertransformasi menjadi Sarekat Islam yang berdiri di garda terdepan memperjuangkan hak-hak Muslim pribumi dengan HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim sebagai tokohnya. Dari tempaan HOS Tjokroaminoto pula muncul seseorang yang kelak membacakan narasi kemerdekaan di tahun 1945: Sukarno.
Begitu halnya dengan Ahmad Dahlan. Didirikannya Muhammadiyah ketika itu merupakan bentuk respon terhadap kondisi masyarakat yang jauh dari tuntunan syariat, tumbuh suburnya lembaga pendidikan yang bertolak belakang dengan konsep Islam, serta opini di kalangan intelektual yang banyak menyudutkan agama Islam. Berdirinya Muhammadiyah tak bisa dilepaskan dari gagasan pembaruan Muhammad Abduh, Jamaludin al Afgani serta karya ulama-ulama klasik seperti Ibnu Taimiyah, Imam Syafi’i, dan Imam Ghozali yang dipelajari oleh Ahmad Dahlan di ketika belajar di Makkah.
Kini, setiap tahunnya ratusan ribu jamaah haji asal Indonesia pergi menunaikan rukun Islam yang ke lima ini. Para penuntut ilmu di tanah suci juga semakin meningkat dari masa ke masa. Namun adakah di antara mereka yang mampu dan telah meneruskan estafet perjuangan para pendahulu mereka, menjadi agen perubahan di tengah masyarakat, serta mengentaskan Umat Islam Indonesia dari keterpurukan? Wallahu’alam bisshowab*
Penulis adalah Tim Kajian Strategi PPMI Arab Saudi