Oleh Bahrul Ulum
Negeri ini banyak membutuhkan ulama berjiwa mujahid demi kesejahteraan masyarakat Indonesia
Hidayatullaha.com–Dalam tradisi Islam, seringkali ulama mengingatkan umat tentang pentingnya berjihad. Ini dilakukan dalam rangka meraih kemuliaan hidup.
Adalah Ibnu Mubarok, seorang ulama besar menggambarkan betapa seorang mujahid itu memilki kemuliaan. Ia mengingatkan ulama lain akan pentingnya berjihad.
Dalam sebuah syairnya, ia berkata:
ياَ عَابدَ الحَرَمَيْنِ لَوْ أَبْصَرْتَنَا
لَعَلِمْتَ أَنَّكَ فِي العِبَادَةَ تَلْعَبُ
مَنْ كَانَ يَخْصَبُ خَدَّهُ بِدُمُوْعِهِ
فَنُحُوْرُنَا بِدِمَائِنَا تَتَخَضَّبُ
“Wahai orang yang beribadah di dua Haram, jika kamu melihat kami, niscaya kamu mengetahui bahwa kamu bermain-main dalam ibadah. Barangsiapa pipinya basah oleh air matanya, maka leher kami basah oleh darah kami.”
Hafizh Ibnu Asakir menjelaskan bahwa Abdullah bin al-Mubarak mendiktekan bait-bait tersebut kepada Muhammad bin Ibrahim bin Abu Sukainah di Tharsus saat dia bersiap-siap berangkat berjihad. Dia juga mengirimkannya kepada al-Fudhail bin Iyadh yang ada di Masjidil Haram.
Setelah menerima bait tersebut Fudail menangis sambil membacakan sebuah Hadits Rasulullah riwayat Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki berkata,
جاءَ رجلٌ إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقالَ: يا رسولَ اللهِ علِّمْنِي عملًا يعدِلُ الجهادَ قالَ لا أجِدُهُ قالَ هل تستطيعُ إذا خرجَ المجاهدُ أن تدخُلَ مسجدًا فتقومَ لا تَفْتُرُ وتصومَ لا تُفْطِرُ قال لا أستطيعُ قال قال أبو هُرَيرَةَ إن فَرَسَ المجاهدِ يستَنُّ فِي طُولِهِ فيكْتُب له حسناتٌ
“Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku suatu amalan yang dengannya aku meraih pahala para mujahidin di jalan Allah.” Nabi SAW bersabda, “Apakah kamu mampu shalat tanpa henti dan berpuasa tanpa berbuka?” Dia menjawab, “Ya Rasulullah, aku lebih lemah untuk bisa demikian.” Kemudian Nabi SAW bersabda, “Demi dzat yang jiwaku ada di tanganNya, seandainya kamu mampu pun, kamu tetap tidak akan mencapai derajat para mujahidin di jalan Allah. Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kuda seorang mujahid berlari dengan tali kekangnya lalu dengan itu kebaikan-kebaikan ditulis untuknya.” )Riwayat Ahmad).
Kisah tersebut memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa berjihad merupakan amalan utama. Seorang ahli ibadah tidak akan bisa menyamai derajad seorang mujahid. Meski beribadah di Haramain punya keutamaan yang besar dan berlipat ganda, namun hal itu bersifat personal. Artinya, ia kembali kepada pribadi. Lain halnya dengan jihad yang kemaslahatannya adalah untuk umat secara keseluruhan.
Seorang ulama tidak boleh membiarkan kedzaliman terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebab umat membutuhkan peran mereka dalam menghapus kedzhaliman tersebut.
Jika kita melihat kedzaliman terjadi dan mendengarkan orang-orang yang didzhalimi minta tolong, kemudian tidak ada di antara kita yang datang untuk melawan dan menghancurkan orang-orang yang melakukan kedzaliman itu, berarti keberadaan kita dianggap tidak ada.
Di sinilah peran ulama harus tampil mengajak umat melawan kedzaliman tersebut. Mereka bukan hanya menyerukan, tetapi juga memimpin perlawanan.
Adalah Ibnu Taimiyah dikenal sebagai ulama yang cukup produktif melahirkan karya, tapi juga dikenal mujahid. Nahi munkarnya tidak hanya dilakukan dengan lisan dan tulisan, tapi juga fisik.
Ulama satu ini tidak akan tinggal diam melihat kedzaliman yang ada di masyarakat. Bersama para muridnya, Ibnu Taimiyah melakukan amar ma’rif nahi munkar sehingga daerah di mana ia tinggal aman dari berbagai kemaksiatan dan kemunkaran.
Bukan hanya itu, ia juga ikut perang melawan tentara Tartar. Selama hidupnya Ibnu Taimiyah memang berada dalam penjajahan bangsa Tartar. Ini yang mamaksa dirinya terjun langsung dalam medan perang untuk mengusir bangsa Tartar dari kampung halamannya. Banyak masyarakat yang tercengang ketika melihat keberaniannya dalam memerangi musuh Islam.
Hal yang sama juga dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari yang dikenal dengan resolusi jihadnya serta KH. Ahmad Dahlan yang membentuk Hizbul Wathan demi keamanan dan kemaslahatan umat. Hasilnya, bisa dirasakan oleh umat Islam.
Peran ulama sangat ditunggu oleh umat ketika kedzaliman merajalela. Jangan sampai perbuatan itu menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat karena tidak ada satupun ulama yang peduli.
Karenanya negeri ini banyak membutuhkan ulama yang memiliki jiwa mujahid demi kesejahteraan masyarakat Indonesia./Hidayatullah.com
*Pengajar di STAIL Hidayatullah Surabaya