Oleh: Chusnatul Jannah
RAMAI-RAMAI pasukan koalisi Barat melakukan serangan militer ke Suriah. Serangan senjata kimia beberapa pekan lalu di Douma berbutut panjang.
Amerika Serikat (atas dukungan Inggris, dan Perancis) akhirnya melakukan serangan ke pusat penelitian yang diduga terdapat persenjataan kimia di Suriah.
Tak berhenti disitu, Rusia dan rezim Assad siap siaga mengahadapi serangan AS dan sekutunya. Bahkan diketahui Rusia mengirimkan sistem pertahanan udara S-300 untuk mengamankan Suriah. Dilansir dari sindonews.com, sistem pertahanan udara buatan Rusia yang dikerahkan oleh pasukan Suriah berhasil mencegat 71 dari 103 rudal yang ditembakkan Amerika Serikat (AS), Prancis dan Inggris pada 14 April. Demikian pernyataan Kementerian Pertahanan Rusia beberapa waktu lalu.
Serangan udara AS mendapat dukungan luas dari negara-negara barat yang menjadi sekutunya. Negara anggota G7 mendukung keputusan AS, Inggris, dan Prancis. Namun, ada diantara mereka yang tidak ingin terlibat secara militer dengan Suriah. Mereka lebih memilih cara diplomasi untuk mengurangi ketegangan perang dunia di Suriah. Diantaranya adalah Jerman dan Italia.
Presiden Jerman, Frank-Walter Steinmeier menyatakan, perdamaian di Suriah saat ini berada di tangan Amerika Serikat (AS) dan Rusia. Dia menyebut, jika kedua negara tidak segera rujuk, maka perang di Suriah akan terus berlanjut dan kemungkinan situasi akan terus bertambah buruk setiap hari, sebagaimana dikutip dari sindonews.com.
Suriah bak lapangan perang dunia ketiga antara AS, Rusia dan sekutu mereka. Perang dingin akan selalu menghantui Suriah selama AS dan Rusia saling lempar tudingan, saling serang hingga adu mulut di berbagai media. Siapa dalang dibalik serangan senjata kimia di Douma tak ada yang mau mengakuinya.
AS menuduh Rusia, sedang Rusia menuduh AS merakayasa senjata kimia untuk melibatkan mereka. Sebelas dua belas dengan sekutu. Inggris menuding Rusia, sedang Rusia terus membantahnya. Perdana Menteri Inggris Theresa May mencoba mengaitkan peristiwa serangan kimia dengan serangan kepada agen mereka dengan zat saraf militerterhadap Skripal dan putrinya.
Negara lain lebih memilih wait and see seperti Jerman dan Italia. Mereka lebih suka menempuh jalur diplomasi daripada bombardir militer.
Dalam situasi ini, siapapun (khususnya Negara-negara Barat) tak ada yang bisa dipercaya mengatasi konflik Suriah. Tak akan ada perdamaian di Suriah selama campur tangan asing berperan. Suriah laksana panggung drama, sedang aktornya adalah AS, Rusia, dan semua sekutunya.
Lalu dimana posisi Bashar Al Assad dan oposisi? Rezim Bashar Al Assad ibarat penyedia lapangan perang. Dalangnya tetaplah AS, Rusia, dan sekutu mereka (termasuk Iran). Bahkan Trump secara terang-terangan menyatakan bahwa seranga rudalnya tidak untuk rezim Assad.
Melalui surel dan sosmed, ia mengingatkan kepada kelompok oposisi untuk tidak terlibat menyerang rezim Assad secara militer. Bila ada diantara mereka melanggar peringatan, maka Barat tak akan mendukung mereka. Fokus saja perangi ISIS, begitu titah Trump. Tak ada beda dengan rezim Assad. Tanpa dukungan Rusia dan Iran, rezim Suriah tak berdaya. Senjata militer mereka saja diimpor dari Rusia.
Pemerintah Suriah belum cukup kuat menahan gempuran rudal AS dan sekutu tanpa bantuan Rusia dan Iran.
Menjadi hal utopis bila menggantungkan nasib Suriah di tangan AS dan Rusia. Sebeb sesungguhnya, serangan militer mereka hanya untuk unjuk kekuatan dan kekuasaan, bukan membebaskan rakyat Suriah dari kekejaman militer Assad itu sendiri.
Mereka bahkan tak peduli korban keganasan militer masing-masing adalah warga sipil. Egoisme dan arogansi negara kapitalis dengan mental imperialisnya hanya diperuntukkanbagi hegemoni mereka.
Sejatinya kedamaian rakyat Suriah bukan ditentukan oleh mereka. Kebebasan rakyat Suriah dari penjajahan negara imperialis hanya ditentukan oleh tergeraknya mereka untuk bangkit dan melawan penjajahan tersebut. Termasuk keterlibatan para ulama Syam.
Dilemanya, rakyat Suriah melawan dengan apa? Pemerintahannya bengis, militer tak punya, bantuan pasukan militer tak segera didapatnya.
Apa daya, negeri-negeri muslim dunia hanya baru bisa menjadi penonton. Kalaupun tak ingin disebut sebagai penonton, yang mereka lakukan baru pada taraf mengecam, mengutuk, meminta gencatan senjata, dan mengirimkan bantuan kemanusiaan.
Padahal, Suriah butuh lebih dari itu. Yang dibutuhkan Suriah adalah solusi solutif untuk terbebas dari penjajahan sebagaimana gelarnya dulu sebagai bumi para Nabi, Bumi Syam. Tempat terbaik
Umat Islam dan kaum muslimin di akhir zaman dan semoga umat Islam membebaskan mereka dari derita penjajahan Barat.
Sebagaimana sebuah hadits;
“Beruntunglah negeri Syam. Sahabat bertanya: mengapa ? Jawab Nabi saw: Malaikat rahmat membentangkan sayapnya di atas negeri Syam.” (HR. Imam Ahmad).*
Penulis aktif di Lingkar Studi Perempuan Peradaban