oleh: Andi Ryansyah
DULU ada seorang alim terkemuka, namanya Tuan Guru Djama’an Djamil, pernah mengkategorikan macam-macam ulama dengan istilah 5 P. 5 P yang dimaksud adalah Penjilat, Penipu, Plintat-plintut, Penakut, dan Pejuang.
Dalam kuliah Subuh di Masjid Agung Al-Azhar, beliau pernah menjelaskan satu persatu.
Yang pertama, ulama penjilat. Mereka mencari muka dengan cara menjual murah ayat-ayat Allah kepada orang-orang yang berpangkat tinggi atau raja-raja. Bertambah dekat mereka kesana, bertambah jauh pula mereka dari Allah dan umat yang sadar. Mereka mengobral ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Nabi demi memuaskan selera penguasa. Sekalipun penguasa mengeluarkan kata-kata kotor yang menghina harga dirinya, mereka tahan saja. Bahkan mereka menunjukkan muka gembira. Tanda suka.
Kedua, ulama penipu. Mereka menanamkan rasa fanatik yang tidak kira-kira pada murid-muridnya sendiri dan umat banyak. Mereka menipu dan melarang murid-muridnya berhubungan dengan ulama lain. Takut kalau-kalau muridnya bisa membandingkan keaslian pendirian gurunya dengan keaslian pendirian guru lain.
Ketiga, ulama plintat-plintut. Mereka tidak pernah mempunyai pendirian yang tegas karena tenggang ke sana dan cari muka kesini. Kalau ditanya orang tentang suatu masalah, mereka jawab,“fa fihi qaulani” (dalam hal itu ada dua pendapat). Tetapi kalau ditanya orang tentang pendapatnya sendiri, mereka tidak berani menjawab. Karena memang pendiriannya tidak ada.
Keempat, ulama penakut. Mereka sudah tahu jalannya, tetapi mereka tidak berani menempuh. Mereka sudah tahu ini salah, tetapi diam saja. Karena takut akan bahaya. Mereka sudah tahu itu benar, tetapi mereka tidak berani buka mulut. Mereka cari selamat. Karena itu di dalam perjuangan hidup ini, walaupunmereka ulama, tapi mereka pengiring saja. Keadaannya sama saja dengan orang awam.
Kelima, ulama pejuang. Mereka yang berani mengatakan yang benar dan menegur yang salah. Sebab mereka ingat akan tugasnya sebagai ulama. Mereka tahu kadang-kadang karena sikapnya yang terus terang, akan timbul sakit hati pihak-pihak yang berkuasa. Sebab itu mereka pun mengerti bahwa dirinya dalam bahaya. Tetapi karena yang sangat ditakutinya ialah murka Allah,mereka tidak takut lagi akan ancaman manusia. Kadang-kadang ulama semacam ini ditimpai dengan berbagai fitnah. Kadang-kadang ditahan dan dipenjarakan. Tetapi setelah keluar dari tahanannya, tidaklah mereka jera menerangkan kebenaran dan memberantas kebathilan.
Mereka mengerti di setiap waktu, mungkin akan ditangkap dan dipenjarakan lagi. Tetapi karena mereka lebih takut akan tanggung jawab terhadap umat di dunia dan tanggung jawab terhadap Allah di akhirat, maka keluar dari tahanan itu, mereka bekerja lebih keras lagi dari sebelumnya. Kerap kali fitnah, tahanan, dan penjara itu membuatnya lebih matang.
“Inilah dia ‘Ulama Pedjoang’. Selama ulama seperti ini masih ada dalam masjarakat kaum Muslimin, tidaklah akan dapat musuh-musuh menghentikan gerak Islam yang sebenarnja di negeri kita ini,” tegas Tuan Guru Djama’an Djamil (Panji Masyarakat, 5 Oktober 1966).
Kita amat sangat merindukan danmembutuhkan banyak ulama pejuang hadir saat ini.Ulama yang tidak lembek dan tunduk terhadap penguasa zalim. Seperti Sayyid Quthb yang ketika dibujuk menulis beberapa patah kata untuk minta pengampunan dari Gamal Abdel Nasser, dengan tegas mengatakan, “Telunjuk yang bersyahadat akan keesaan Allah dalam shalatnya pasti menolak menulis satu huruf untuk mengakui pemerintahan seorang tiran.”
“Mengapa saya harus minta pengampunan? Kalau saya ditahan dengan alasan yang benar, tentu saya akan terima dengan senang hati hukum dari kebenaran. Namun, bila saya ditahan secara tidak sah, saya jauh sekali dari minta ampun pada yang tidak sah.” (Shalah al-Khalidiy, Biografi Sayyid Quthb:”Sang Syahid yang Melegenda, 2016).*
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)