oleh: Muhammad Ridhwan
SALAH satu permasalahan yang sedang dihadapi umat Muslim saat ini adalah munculnya pemikiran yang bertentangan dengan cara pandang Islam, kemudian pemikiran tersebut menyebar luas dan bahkan menjalar atau menular kepada sebagian kaum Muslimin sendiri.
Sehingga Muslim yang terjangkiti akan terganggu atau rusak secara pemahaman dan cara pandang (worldview)-nya. Mereka menjadi duri dalam daging, yakni berusaha mengubah Islam agar sesuai dengan cara pandang mereka dari dalam.
Mengaku Islam, namun merusak dan menyelewengkan pemahaman Islam. Mereka ini sebenarnya terpesona oleh kemajuan Barat dalam sains, teknologi, ekonomi, dan sebagainya. Sehingga semua yang berasal dari Barat mereka ambil. Sampai-sampai tidak jarang diantara mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang berupa fatwa, tafsir, dan pendapat berdasarkan cara pandang Barat terhadap Al-Qur’an dan Hadits secara bebas diluar kaidah-kaidah yang sudah ditentukan oleh ulama. Maka tentu saja hasilnya akan bertentangan dengan hasil kesepakatan ulama dan bahkan isi dari wahyu itu sendiri.
Orang-orang yang terinfeksi penyakit ini berpandangan bahwa wahyu harus tunduk pada akal dan sejarah. Sama seperti yang dilakukan oleh orang Kristen pada Bibel, mereka menerapkan metode tafsir hermeneutika pada Al-Qur’an. Dengan kata lain, manusia adalah sumber kebenaran mutlak diatas Tuhan. Dan Tuhan mesti mengalah pada keinginan manusia.
Penyakit pemikiran ini awalnya datang dan berasal dari dunia Barat, yakni Eropa. Kita biasa menyebutnya ideologi atau pemikiran Barat, yang terdiri dari banyak cabang-cabang pemikiran dan dari cabang-cabang tersebut melahirkan lagi pemikiran-pemikiran baru lainnya.
Mereka mengaku Islam, tapi selalu berpihak kepada Barat, bukan kepada Islam. Jadi, menurut mereka Islam harus diubah dan disesuaikan dengan cara pandang Barat apabila ingin mengikuti perkembangan zaman modern yang didominasi oleh Barat ini. Islam dianggap kuno dan ketinggalan.
Pendapat-pendapat ulama terdahulu dikatakan hanya sesuai dengan kondisi dahulu pada zamannya saja sehingga sudah tidak relevan dan tidak cocok dengan keadaan saat ini yang segala sesuatunya sudah berubah dan semakin kompleks, maka perlu dilakukan penafsiran-penafsiran ulang.
Berdasarkan apa yang mereka lihat, bangsa Barat dianggap paling “maju” dan memiliki peradaban paling “tinggi” saat ini.
Maka, semua orang mau tidak mau harus mengikuti kemajuan bangsa Barat dengan mencontoh dan menerapkan segala yang diberlakukan oleh bangsa Barat. Termasuk mengikuti pemikiran dan cara pandangnya karena menurut mereka, terbukti dengan pemikiran tersebut bangsa Barat menjadi yang paling “maju”,” unggul”, dan “berkuasa” di segala bidang karena sesuai dengan kondisi zaman.
Namun ironisnya, segala sesuatu yg buruk dari Barat pun ikut mereka contoh, misalnya pelegalan minuman keras, seks bebas, homoseksual, dan sebagainya. Ini artinya meniru secara membabi buta.
Kemudian di sisi lain, bangsa Barat sendiri sangat memaksakan pemahamannya pada bangsa lain selain mereka. Dan mereka pun tidak segan untuk menggelontorkan biaya yang sangat besar untuk menyebarkan pemahaman-pemahamannya ini.
Seringkali, apabila ada yang berbeda paham, pasti mereka akan memusuhi dan memeranginya.
Bangsa Barat memiliki arogansi yang tinggi dengan menganggap bahwa mereka adalah bangsa atau ras dan berperadaban manusia yang paling tinggi dan unggul dibandingkan dengan bangsa lainnya.
Sehingga pemahaman yang mereka usung untuk dipaksakan kepada bangsa lain ini dianggap sebagai paham yang paling baik menuju kemajuan umat manusia. Mereka merasa sebagai contoh yang wajib ditiru oleh bangsa lain yang sedang berkembang, tidak boleh ada paham dan peradaban besar lain yang menyaingi, seperti paham dan peradaban Islam.
Hal ini tentu saja menjadi masalah bagi umat Muslim karena upaya Barat untuk mem-“Barat”-kan Islam berarti adalah menghancurkan Islam. (BERSAMBUNG)
Penulis alumni Al Imarat Bandung, aktif di Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN)dan ITJ Bandung. Email: @muhammad_rdwn