Oleh: Imam Nawawi
Hidayatullah.com | SEBAGIAN orang mungkin ada yang bertanya, kenapa Indonesia menjadi seperti sekarang. Kehidupan kian sulit secara ekonomi, namun kebijakan bukan malah solutif, malah kian menekik.
Bagaimana tidak dikatakan menekik, jika sembako dan sekolah direncanakan kena pajak. Tentu ini sangat sulit dicerna akal sehat. Namun inilah sebuah kenyataan.
Menganalisis itu semua tentu banyak cara. Kalau Rocky Gerung selalu hadir dengan logika yang konsisten, merangkai fakta demi fakta kemudian diperas dalam bahasa-bahasa satire yang kerapkali baik pemerintah maupun mereka yang mendukung kehilangan tenaga untuk memberikan respon yang memadai.
Namun, dalam konteks yang lebih esensial, analisis politik secara universal telah disampaikan oleh para ulama terdahulu. Di antaranya Imam Ghazali. Hujjatul Islam itu terkenal dengan ungkapannya yang amat populer soal keruskaan sebuah negara.
“Sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para pemimpinnya, dan kerusakan para pemimpin disebabkan oleh kerusakan para ulama. Kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan. Siapa yang dikuasai oleh ambisi duniawi, ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil,” kutip Imam Al Ghazali.
Terkuasai
Jadi, sistem penjelas dari kondisi Indonesia saat ini bisa dilihat dari analisa Imam Al-Ghazali yang komprehensif di atas. Yakni, kondisi hati manusia yang terkuasai oleh kecintaan terhadap dunia, berupa jabatan, harta, dan kenyamanan kehidupan sehari-hari.
Akibatnya, segala hal yang berbau materi, fisik, dan infrastruktur dikejar habis-habisan. Dan, dalam pelaksanaannya kerap sarat tindakan koruptif. Sementara terhadap upaya membangun manusia, apalagi sampai pada akal dan ruhiyahnya, dinilai tidak penting.
Oleh karena itu, dalam pandangan pembangunan yang materialistis tersebut, agama dinilai tidak perlu campur tangan dalam urusan pemerintahan dan rakyat, bahkan kalau perlu dipinggirkan saja. Harus dipisahkan, urusan agama dan pemerintahan, begitu singkatnya.
Padahal fungsi agama adalah kontrol bagi jiwa, kesadaran, akal dan kehendak hati setiap anak manusia. Menjauhkan agama dari kehidupan sehari-hari dalam konteks individu maupun sosial berarti menjadikan manusia terkuasai oleh hawa nafsu dan beragam kehendak yang potensial destruktif.
Itulah kenapa kemudian muncul ungkapan bahwa setiap kekuasaan potensial untuk disalahgunakan. Karena manusia jika sebatas diatur oleh pikiran dan perundang-undangan buatan akal manusia sendiri, ada celah, ada peluang dimana yang paling berilmu yang akan menjelma sebagai penjahat paling besar daya rusaknya.
Ketika situasi itu terjadi dan ulama tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar karena ingin dan nyaman dengan bayaran, maka di situlah gerbang kerusakan benar-benar telah menganga.
Kembalikan
Dengan demikian fungsi agama dalam hal ini iman dalam diri para pemangku kebijakan amatlah penting. Ibn Taimiyah berpendapat bahwa mengatur urusan umat memang merupakan perintah dari agama Islam. Jadi, seorang Muslim, apabila ia menduduki satu amanah jabatan, maka sudah seharusnya ia mengendalikan pikiran dan sikapnya dengan ketentuan iman.
Dalam hal ini, maka keteladanan dan kesehajaan harus dihadirkan. Jadilah sosok yang memberikan perhatian dan kinerja terbaik di dalam setiap amanah yang diembannya.
Menurut Ibn Taimiyah, seorang pemimpin mesti jujur (amanah) berwibawa dan memiliki kekuatan (al-Quwwah). Lebih jauh, ketika seseorang menduduki posisi kepala negara (presiden) maka ia hendaknya menempatkan pembantu-pembantunya (para menteri) dari orang yang memiliki kejujuran, keahlian, dan kecintaan kepada rakyat.
Jadi, bukan memilih orang yang tidak relevan dan tidak berkeahlian di bidang yang dibutuhkan. Atas nama apapun, memilih orang yang salah dalam sebuah jabatan adalah gerbang besar menuju kerusakan demi kerusakan.
Sebagai makhluk yang berpikir, idealnya bangsa Indonesia belajar secara mendalam dari analisis klasik tentang politik yang disampaikan oleh para ulama.
Ibn Khaldun di antaranya mengatakan bahwa sebagai makhluk berpikir, manusia hendaknya menghasilkan ilmu pengetahuan, sebagai makhluk politik manusia hendaknya menghadirkan peraturan dan pengendalian kekuasaan yang holistik.
Dan, sebagai makhluk ekonomi yang ingin mencari penghidupan dengan keahlian, maka sudah seharusnya ekonomi mendorong majunya peradaban manusia secara utuh, jasmani dan ruhani. Tidak timpang apalagi saling menegasikan.
Oleh karena itu, mari berpikir jernih, bahwa agama-dalam hal ini Islam-sebenarnya amatlah dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini untuk maju dan mewujudkan idealitas bangsa berdasarkan sila demi sila di dalam Pancasila.
Karena secara historis tak dapat dipungkiri, Islam adalah inspirasi bagaimana Pancasila hadir dan disepakati sebagai dasar negara dimana kemudian umat Islam yang mayoritas menerima ini sebagai sebuah komitmen kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jadi, kembalikan semua pada tempatnya, insha Allah kondisi bangsa dan negara ke depan, perlahan akan semakin membaik dengan idzin-Nya.*
Penulis Ketua Pemuda Hidayatullah