Oleh: Rizmoon Nurul Zulkarnaen
Hidayatullah.com | SEBUAH pertanyaan besar selalu muncul mengenai fenomena-fenomena alam yang terjadi di belahan dunia ini. Apakah alam sedang mengalami perubahan atau memang sedang menghapi krisis lingkungan?
Isu mengenai perubahan iklim yang kembali booming lagi setelah ada pernyataan bahwa DKI akan tenggelam 10 tahun ke depan. Bahkan ada berita yang menyatakan prediksi permukaan air laut yang meninggi setelah berton-ton es di kutub utara mencair.
Jika melihat data dan fakta, kerusakan alam sangat didominasi oleh faktor antropogenik yaitu akibat ulah manusia itu sendiri. Kondisi tersebut juga sudah disebutkan dalam ayat Al-Qur’an, Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar), (QS: Ar-Rum 41).
Sebagaimana disebutkan adanya kerusakan, disebutkan juga perintah untuk menjaga lingkungan atau dalam istilah kekiniannya adalah konservasi lingkungan.
وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS: Al-A’raf:56).
Secara harfiah, makna konservasi adalah sebagai upaya perlindungan atau pelestarian. Bahkan istilah konservasi juga sekarang tidak hanya digunakan di bidang sains-lingkungan saja, namun di bidang sosial-politik, budaya, dan ekonomi dengan pemaknaan sesuai bidangnya masing-masing.
Manusia sebagai khalifah fil ardh diberi kemampuan untuk memimpin dan mengatur hawa nafsunya dalam memanfaatkan alam secara bijak. Oleh karena itu, bersatu dan berhimpunlah dengan manusia-manusia yang baik karena kebaikan yang terorganisir itu lebih baik.
Kekhawatiran
Fakta demografi populasi manusia saat ini adalah grafik pertumbuhan populasi yang selalu meningkat. Tetapi kenyataannya, tata bentang dan sumber daya alam semakin menipis.
Eksploitasi alam yang berlebihan membuat alam belum cukup waktu untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Sebuah kebutuhan sandang, pangan, dan papan menjadikan dilema dalam interaksi manusia dengan alam.
Dalam buku Collapse karya Jared Diamond yang seorang profesor dari Universitas California. Beliau mengungkapkan bahwa kehancuran dunia ini akan terjadi akibat beberapa faktor yang saling terhubung antara faktor lingkungan, faktor manusia, faktor sosial-politik dan faktor non-lingkungan lainnya.
Poin menariknya adalah bahwa dampak faktor lingkungan yang rusak sedang terjadi sekarang dan mungkin kedepan akan menghadapi kerusakan yang nyata. Alih-alih ingin menunjukkan keberpihakan terhadap populasi dari puncak rantai makanan yaitu kita (manusia) justru manusia tanpa sadar dan tidak sengaja sudah melakukan kerusakan di muka bumi.
Faktor perbedaan sumber daya alam di beda belahan dunia menimbulkan kecemburuan yang juga mengakibatkan konflik sosial berkepanjangan dalam memperebutkan sumber dayanya. Akankah ras manusia berakhir seperti dalam film-film science fiksi dimana hanya orang-orang terpilih saja yang selamat?
Perlu disadari, bahwa pandemi saat ini memaksa semua lapisan berpikir secara multidimensi untuk mampu merampungkan dan menghadapi pandemi ini dari segala sisi. Bidang sains kesehatan dan vaksinasi menjadi prioritas sekarang.
Namun bidang lingkungan dan pangan juga menjadi prioritas yang tidak kalah pentingnya. Karena jika pandemi ini semakin lama, jangan-jangan akan terjadi sebuah krisis pangan global yang melanda semua negeri.
Oleh karena itu, sudah saatnya berpikir visioner dan multidimensi dalam menyikapi pandemi ini. Sama hal nya dengan kisah Nabi Yusuf yang mempunyai pemikiran yang kritis dan solutif dalam memecahkan permasalahan tantangan musim kemarau yang berkepanjangan. Inilah yang diperlukan saat ini.
Pemikiran visioner dan langkah strategis dan terukur tanpa diiringi kepentingan golongan sesaat yang merugikan masyarakat. Jangan sampai membuat kejahatan bantuan sosial menjadi tren elit politisi dalam mengambil kesempatan dalam situasi kegawatdaruratan seperti saat ini.
Bagaimana dengan Indonesia
Kondisi alam Indonesia pun juga sama sedang menghadapi krisis lingkungan global. Yang lebih menyedihkannya lagi adalah fakta kekayaan alam yang melimpah kini dalam ujung tanduk keterancaman punah.
Data kerusakan hutan di Indonesia tetap meningkat tiap tahunnya. Entah itu yang disebabkan penebangan liar, kebakaran hutan, banjir bandang, longsor, maupun alih fungsi hutan.
Konsistensi implementasi kebijakan harus tegas disetiap level. Dalam UU No 5 Tahun 1990, disebutkan dalam pasal 2 bahwa Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dalam ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Maknanya, perlu ada pengaturan yang tegas dan lestari dalam mengeksploitasi alam.
Momentum Hari Konservasi Alam Nasional dan Hari Kemerdekaan ke 76 tahun mendatang seharusnya menjadi titik balik penyemangat bagi pemerintah dan warganya untuk semakin peduli kepada lingkungan. Refleksi kemerdekaan untuk kembali atur strategi yang lebih taktis dan cermat, sehingga cita-cita kemerdakaan disegala bidang, termasuk lingkungan mampu tercapai dan memberikan keberkahan hidup bagi seluruh rakyat Indonesia.*
Pemerhati lingkungan