oleh: Deden Fathurrahman
KELOMPOK, ras termasuk agama apapun, takkan bisa dan takkan suka digeneralisasi gara-gara adanya oknum yang meresahkan ataupun berbuat hal yang amat memalukan. Tapi, ada saja orang-orang yang sukanya memblow up oknum agama tertentu (dalam hal ini Islam). Apalagi kalau ada orang Islam yang berbuat kesalahan, pasti berhari-hari akan jadi bulan-bulanan media umum.
Masih hangat dalam ingatan kita, sebuah masjid di Kabupaten Tolikara, Papua dibakar. Tepat di hari raya paling mulia bagi umat islam di seluruh dunia. Pelakunya oknum dari agama yang minoritas di negeri ini, tapi menjadi mayoritas di Papua sana. Insiden memilukan kemarin, memang dilakukan oleh “oknum-oknum” gereja yang ternyata punya kerja sama dengan Zionis-Israel. MoU atau Perjanjian ini terkonfirmasi secara jelas di dalam website resmi GIDI Indonesia.
Ramai-ramai beberapa media media umim memihak kalangan Gereja. Terjadilah pengaburan dan penyesatan opini. Yang nyatanya dibakar itu masjid, dibilang musholla bahkan cuma sebuah kios. Yang menjadi korban adalah muslim Tolikara, dibilang ada sebagian pihak pembakar masjid yang mengalami luka tembak. Celakanya lagi, Imam masjid tersebut dicap Wahabi oleh Gusdurian, hanya gara-gara bahu membahu berdakwah dengan dai Hidayatullah. Namun investagi menunkkan, imam Masjid Baitul Muttaqien Tolikara justru warga Nahdhiyyin alias NU, sungguh memalukan.
Sekilas mungkin kedengaran fair-fair saja, mayoritas mendominasi yang minoritas. Normal. Tapi kalau dicermati lebih lanjut, jelas ini tidak fair.
Mendominasi, harusnya bukan berarti menzalimi. Coba lihat muslim Papua dan muslim Rohingya, mereka sama-sama minoritas, mereka tidak dominan dan mereka dizalimi, dianiaya sampai sebegitunya. Bahkan Palestina yang mayoritas pun, bisa diusir dari tempat tinggalnya karena kebrutalan Zionis.
Belum lagi kalau membicarakan muslim di Eropa yang jangankan dapat jatah libur hari raya dan kesempatan beribadah mingguan, hak untuk berhijab pun, seperti tak punya. Sudah tak terhitung berapa kali sahabat saya yang berhijab ditatap dengan wajah sinis dari kepala hingga ke kaki dalam perjalanannya ke Jenewa-swiss beberapa bulan lalu.
Kembali ke topik utama. Muslim sudah biasa jadi bulan-bulanan media sekuler. Islam lah yang selalu dianggap menebarkan teror, padahal ‘mereka’ lah yang meledakkan gedung WTC-nya sendiri. Padahal mereka lah yang menciptakan dan membiayai “teroris” dari al-Qaidah, Boko haram hingga ISIS.
Islam lah yang simbol-simbolnya dilecehkan dalam media-media, padahal tak ada yang tahu betapa menyakitkannya itu bagi kami. Lantas mana wujud toleransi untuk kami? Kami hanya butuh toleransi yang sederhana sekali. Yakni haknya untuk menjalankan keyakinannya, tanpa dihakimi, apalagi dizalimi seperti di Kabupaten Tolikara.
Tak usah berkoar-koar tentang ide toleransi dihadapan Kami. Toh kami sudah diajari sedari dulu tentang apa dan sejauh mana toleransi beragama itu. Yaitu Lakum diinukum wa liya diin: Bagimu agamamu, bagiku agamaku.
Sekedar perbandingan antara Pak Harto dan bapak Jokowi. Dikutip dari status facebook Mas Ipan (fadh ahmad arifan). Pada tahun 1995 saat Muslim bosnia dizalimi militer Serbia, Pak Harto kirim dana dan senjata. Adapun tahun 2015 saat Muslim Tolikara dizalimi oleh Gereja injili, Jokowi entah kemana. Sekali lagi, kami minta aparat kepolisian segera menangkap pelaku pembakaran masjid, tegakkan hukum!. Jangan karena oknum dari pihak gereja injili dibekingi Zionis Israel lantas aparat jadi segan kepadanya.*
Penulis Wirausahawan di bidang Desain Komunikasi Visual, alumnus ITS Surabaya