Oleh: Muhammad Syafii Kudo
Hidayatullah.com | JILBAB kembali menjadi tajuk utama media. Ini setelah adanya peraturan sekolah SMK Negeri 2 Kota Padang, Sumatera Barat, yang mewajibkan hijab bagi semua muridnya mendapatkan berbagai sorotan tajam dari para elite politik dan pegiat HAM di negeri ini.
Beberapa media massa mainstream bahkan kompak menurunkan beritanya beberapa hari berturut-turut dengan ulasan yang hampir serupa. Berbagai opini tokoh lintas disiplin ilmu diketengahkan untuk membuat narasi bersama bahwa peraturan memakai seragam dengan ‘jilbab itu tidak sesuai dengan nilai Pancasila dan melanggar Kebhinekaan Nusantara’ versi mereka.
Uniknya kasus itu membuka lagi perdebatan lama perkara wajib atau tidaknya memakai jilbab bagi perempuan Islam. Terlebih lagi bagi para pegiat HAM yang banyak didominasi kalangan berpaham Liberal, sehingga opini mereka dalam kasus ini tentu sangat tendensius untuk membenarkan pemahaman mereka tentang tidak wajibnya berjilbab.
Bagi mereka, berjilbab adalah pilihan. Jilbab tak ubahnya sehelai kain semacam selendang yang kadang dipakai jika ada kondangan lalu ditaruh di lemari saat tidak diperlukan. Atau dengan kata lain bersifat kondisional belaka.
Baca: Please, Jangan lagi Ganggu Jilbabku
Worldview yang Keliru
Banyak para aktivis liberal menyatakan bahwa jilbab bukan ajaran Islam tapi semata budaya Arab. Berjilbab tidak wajib yang penting berpakaian sopan dan “terhormat”. Ini adalah beberapa pendapat yang sering kita dengar dari para aktivis liberal. Meski definisi “terhormat” itupun tidak jelas barometernya.
Pendapat-pendapat kalangaan liberal yang sering menyatakan bahwa hijab adalah produk budaya Timur Tengah tentu merupakan tanda kurang pahamnya tentang ajaran Islam.
Bagi umat Islam yang memiliki worldview yang benar, perihal jilbab sudah selesai dari dulu. Sebab dalam pandangan empat mazhab menutup aurat bagi perempuan adalah wajib mutlak. Yang menjadi titik perbedaan hanya di dua bagian tubuh saja, yakni wajah dan telapak tangan.
Ini sesuai perintah Allah Swt,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: Al Ahzab : 59).
Juga hadis dari Rasulullah ﷺ,
“Tidak dibenarkan bagi seorang perempuan yang percaya kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua tangannya, kecuali sampai di sini (Nabi kemudian memegang setengah tangan beliau).”(HR: At Thabari)
Juga hadis yang lain yang berbunyi,
“Apabila perempuan telah haid, tidak wajar terlihat darinya kecuali wajah dan tangannya sampai ke pergelangan.” HR. Abu Daud).
Dari Sayyidah Aisyah Ra, ia berkata, “Semoga Allah merahmati kaum perempuan yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya : “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dadanya.” (QS: An Nuur :31), maka kaum perempuan itu merobek kain sarung mereka dan menutup kepala mereka dengannya.” (HR Bukhari).
Dari Shafiyah binti Syaibah Ra bahwa Aisyah Ra menuturkan perempuan Anshar, kemudian beliau memuji mereka, dan berkata tentang mereka dengan baik. Beliau berkata, ”Ketika diturunkan Surat An-Nuur : 31, maka mereka mengambil kain-kain tirai mereka kemudian merobeknya dan menjadikannya kerudung.”(HR Abu Daud).
Baca: 30 Tahun Perjuangan Melawan Larangan Jilbab [2]
Jilbab dan Tafsir Liberal
Para pegiat liberalisme tentu tidak tinggal diam dengan berbagai dalil Naqli itu. Mereka tetap mencari dalil pembenar untuk menjustifikasi pandangannya. Salah satu rujukan mereka adalah buku karya Prof. Quraish Shihab yang berjudul Jilbab Pakaian Perempuan Muslimah : Pandangan Ulama Masa Lalu Dan Cendikiawan Kontemporer.
Dalam buku tersebut banyak kejanggalan yang sudah dikritik oleh para ulama. Baik dari segi pengutipan sumber referensi, dan metode penyimpulan pendapat yang tak tuntas, serta minimnya referensi kitab fikih yang disertakan.
Menurut Dr. Adian Husaini, Quraish Shihab dalam bukunya itu banyak mengambil pendapat dari tokoh yang tidak otoritatif seperti Nawal Sa’dawi (Feminis Mesir), Syahrur, dan tokoh sekuler Mesir bernama Muhammad Said Al-Asymawi. Bahkan masih menurutnya, sekitar 30 persen isi buku Quraish Shihab mengambil dari buku Haqiqatul Hijab Wa Hujjiyatul Hadis karya Asymawi.
Asymawi adalah tokoh liberal asal Mesir yang menganggap kebenaran tiap agama adalah relatif. Dalam salah satu tulisannya dia mengatakan bahwa perbedaan bentuk agama-agama hanyalah soal perbedaan verbal, perbedaan interpretasi linguistik, perbedaan sikap filosofis. Manusia percaya kepada huruf dan berbeda pendapat tentangnya dan tidak punya definisi yang pasti tentang huruf dan tidak menjauhkan iman dari huruf. (Against Islamic Extremism, Gainesville: University Press Of Florida, 1998, hal. 56-57).
Asymawi yang berfikiran hermeneutis juga menganggap bahwa tidak ada yang qath’iy (pasti) dalam Al-Quran. Semua bisa ditafsirkan sesuai kehendak mufasir dan berdasarkan situasi. Termasuk dalam hal ini adalah ayat tentang jilbab yang boleh ditafsirkan sekehendaknya.
Pemikiran berbahaya seperti itu jika diterapkan di tengah umat Islam tentu akan menimbulkan kerusakan yang besar. Sebab semua ayat bisa ditafsirkan semaunya dan sesuai kepentingan, yang akhirnya ajaran Islam akan dikanibalisasi sesuai kebutuhan zaman.
Quraish Shihab dalam bukunya tersebut ketika menulis pandangan cendikiawan kontemporer, memulainya dengan pendapat Qosim Amin yang membolehkan perempuan tidak berjilbab. Qosim Amin (1803-1908) adalah tokoh sekuler Mesir alumni Prancis yang dididik oleh para Orientalis. Dalam bukunya Tahrir Al Mar’ah (Pembebasan Perempuan) dia mengajak para perempuan Mesir menanggalkan jilbabnya. Dia menulis bahwa tidak ada satupun ayat di dalam Al-Qur’an yang mewajibkan perempuan memakai pakaian khusus berupa jilbab. Dia juga membolehkan perempuan menampakkan sebagian tubuhnya pada lelaki non-mahram. Lewat pemikirannya itu, Qosim Amin dianggap sebagai penanggung jawab utama banyaknya muslimah Mesir yang kini melepaskan jilbab, berpakaian ketat, dan berani berbikini. (Dr. Ahmad Zain An Najah, Jilbab Menurut Syariat Islam : Meluruskan Pandangan Prof Dr. Quraish Shihab, Hal. 65-67).
Baca: Berjilbab Menunggu ‘Hidayah’ Datang?
Dalam bukunya tersebut, Quraish Shihab juga dinilai tidak adil dalam menyertakan berbagai pendapat yang ada. Bahkan terkesan lebih memihak kepada pendapat nyeleneh para cendikiawan sekuler dibanding para ulama masa lalu. Buktinya dia hanya menulis sebanyak 62 halaman saja mengenai banyaknya pendapat ulama yang mewajibkan menutup semua anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan dalam masalah aurat berdasar dalil-dalil yang dinukil dari nash Al Qur’an dan Hadis.
Dan ia menulis sebanyak 49 halaman untuk pendapat tidak wajibnya berjilbab yang hanya diwakili oleh dua pendapat cendikiawan sekuler, Asymawi dan Syahrur. Padahal keduanya bukan ulama dan tidak otoritatif dalam masalah hukum fikih. Namun Quraish Shihab menukil pendapat mereka untuk melawan pendapat mayoritas ulama salaf. Anehnya, Quraish Shihab sendiri mengakui bahwa Syahrur dalam memaparkan pandangannya mengenai tidak wajibnya berjilbab tidak menggunakan dalil sama sekali melainkan subyektifitas belaka. (Dr. Ahmad Zain An Najah, M.A., Jilbab Menurut Syariat Islam : Meluruskan Pandangan Prof Dr. Quraish Shihab Hal. 125-126).
Dari berbagai kejanggalan buku Jilbab Pakaian Perempuan Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu Dan Cendikiawan Kontemporer karya Quraish Shihab tersebut kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa Quraish Shihab cenderung berpendapat bahwa berjilbab memang tidak wajib. Dan pendapatnya inilah yang menjadi salah satu rujukan yang diikuti oleh para tokoh (termasuk anaknya sendiri) yang mengatakan bahwa berjilbab tidak wajib bagi seorang Muslimah.
Baca: Jangan Patahkan Revolusi Jilbab
Jika seseorang suka (gandrung) membaca buku para liberalis-sekularis maka kecenderungannya adalah dia akan berfikiran seperti mereka. Referensi yang dikutip Quraish Shihab yang berasal dari tokoh-tokoh Sekuler adalah bukti yang menandakan kecondongannya pada pemikiran mereka. (https://inpasonline.com/jilbab-dalam-sorotan-kaum-liberal/).
Terkait aurat, apakah menutup aurat, bercadar, berhijab, itu syariah agama yang mesti dipatuhi atau hanya mode kaian belaka? Menurut Dr. KH. A Musta’in Syafi’ie M.Ag, dari bahasannya saja, orang berilmu sudah bisa membayangkan arahnya.
Pakar Tafsir sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang itu mengatakan bahwa kata aurat berasal dari kata (‘aurah), ‘ara – ya’iru, artinya cacat, keburukan yang tidak boleh dilihat orang lain. Orang Arab membahasakan rumah tak terjaga atau lemah penjagaannya, rawan sekali dijahati maling disebut “aurah”. “… inn buyutana ‘aurah wa ma hia bi’aurah“.(al-ahzab: 13).
Maka menutup aurat adalah cara orang beriman dan orang berakal melindungi diri dari hal-hal yang negatif yang dapat merusak kehormatan diri. Selanjutnya, menutup aurat adalah murni kerja ibadah demi memperoleh ridha-Nya. Dalam hal ini, orang beriman tidak punya catatan apa-apa, selain patuh dan tunduk kepada agama.
Itulah, maka ulama teologi menterjemahkan kata “al-iman” dengan “al-khudlu’ wa al-inqiyad“, tunduk dan mematuhi. Inilah worldview Islam yang mestinya digunakan oleh setiap mukallaf. Perintah wahyu didahulukan sebelum akal memutuskan. Memakai jilbab dikerjakan semata karena perintah Allah SWT bukan atas motivasi lain.
Terlepas dari adanya dikotomi ada jilbab khas ormas A, B, C dan kerudung Nusantara itu tidak jadi soal yang serius. Hal itu hanya wilayah budaya semata. Keduanya bisa diterima syariat asal memenuhi standar dalam menutup aurat yang disepakati oleh pendapat empat mazhab yang mu’tamad. Intinya adalah menutup aurat adalah wajib mutlak, dan memakai jilbab menjadi wajib sebab ia sarana satu-satunya dalam menutup aurat berdasar wahyu ilahi. Wallahu A’lam Bis Showab.*
Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan