Reformasi sangat esensial dan krusial, bagi perjalanan sebuah organisasi dan lembaga pemerintahan
Oleh: Irwansyah, S.I.P., M.H
Hidayatullah.com | PADA hakekatnya, reformasi birokrasi tidak bisa dipisahkan dari perjalanan sebuah organisasi, paguyuban, bahkan institusi dan lembaga negara. Makanya banyak para ahli lintas disiplin ilmu yang berpendapat, bahwa reformasi itu sangat esensial dan krusial, bagi perjalanan sebuah organisasi dan lembaga pemerintahan.
Reformasi merupakan sebuah langkah atau gerakan untuk merubah wujud, serta prilaku di dalam sebuah tatanan, karena tatanan tersebut sudah tidak disukai lagi, dan sudah ketinggalan zaman, baik karena sudah tidak efisien, tidak demokratis, dan tidak bersih. (Wibawa, 2005).
Tujuan dilakukannya reformasi adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, meningkatkan kinerja organisasi publik, serta terciptanya organisasi publik yang berintegritas, profesional dan akuntabel. (Taufik, 2014)
Menurut (L. Misbah Hidayat, 2007) kebutuhan untuk melakukan reformasi biasasnya muncul setelah proses perubahan administrasi secara alaimah gagal. Dari situ, maka muncullah dorongan untuk melakukan perubahan secara sengaja dengan cara melahirkan bentuk administrasi yang baru.
Tujuannya adalah untuk melakukan perbaikan dan mewujudkan perubahan yang lebih baik dari sebelumnya.
Dari sini dapat kita ketahui, bahwa gerakan reformasi itu tidak selamanya bermakna negatif, ada kalanya maknanya bisa sangat positif. Dan itu telah dibuktikan oleh Prof Dr Amien Rais melalui gerakan 1998.
Dimana gerakan reformasi 1998 yang dikomandoi oleh Amien Rais telah berhasil mengeluarkan Indonesia dari cengkraman pemerintahan otoriter Soeharto.Buah yang dihasilkan dari reformasi 1998 di antaranya adalah terjaminnya kebebasan pers dan diberikannya ruang kebebasan berpendapat yang seluas-luasnya bagi masyarakat Indonesia.
Reformasi Polri
Salah satu dari lima tuntutan reformasi 1998 adalah mengeluarkan Polri dari ABRI. Di tahun 1999, Presiden B.J Habibi berhasil membidani lahirnya Instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 tentang langkah-langkah pemisahan kepolisian dari ABRI.
Setelah lahirnya Instruksi Presiden tersebut, yang awalnya Polri berada di bawah atap ABRI kemudian berubah, dan pindah ke bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Pada tahun 2000, tuntutan pemisahan Polri dari ABRI kemudian dikabulkan oleh pemerintah melalui TAP MPR No 6 dan 7 tahun 2000. Di saat yang sama, Polri dengan percaya dirinya mengumunkan pentingnya reformasi dilakukan di dalam tubuh Polri.
Reformasi yang minta oleh Polri bagi institusinya ada tiga. Pertama, perubahan struktural. Kedua, perubahan instrumental. Ketiga, aspek kultural.
Reformasi dari aspek struktural terdiri dari perubahan institusional kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan, dan juga kedudukan. Adapun dari sisi aspek instrumental ialah perubahan filosofis, (Visi,misi, dan tujuan) begitu juga dengan aspek regulasi dan perencaan Polri.
Sementara aspek kultural meliputi permintaan perubahan di wilayah sistem rekrutmen dan pendidikan, doktrin serta sistem operasional.
Dari ketiga agenda reformasi Polri tersebut, ada satu aspek yang sangt esensial untuk ditilik, yakni aspek struktural. Aspek struktural diklaim telah berhasil dirubah, hal itu ditandai dengan keluarnya Polri dari ABRI dan pindah kebawah Presiden.
Sekilas, perubahan tersebut sepertinya membuat Polri begitu sumringah dan berbahagia. Sampai-sampai Polri dan presiden sama-sama “lupa” apakah dengan menempatkan posisi Polri di bawah presiden membuat polri semakin profesional seperti yang dikehendaki oleh publik atau malah sebaliknya.
Mengingat bahwa hasil reformasi yang menghantarkan Polri berada di bawah Presiden belum final. Maka posisi Polri itu perlu ditilik dan dikaji secara komprehensif, apakah posisi Polri di bawah Presiden harus dipertahankan atau tidak.
Karena sesungguhnya posisi Polri tersebut sangat rentan dengan “intervensi” dan “lobi-lobi” kepentingan politik. Kalau Polri tidak bisa menjaga hasratnya, dan terjebak pada politik praktis. Maka hancur sudah wibawa Polri.
Oleh karena itu, Polri harus selalu diingatkan dan dilindungi dari “rayuan elit politik”, agar polri jangan sekali-kali bermain mata dengan elit-elit politik. Di samping itu pula, posisi Polri yang sudah sekian lama merasa nyaman di bawah Presiden, penting untuk dijadikan sebagai isu sentral untuk agenda reformasi Polri mendatang, karena reformasi Polri belum selesai.
Dan Polri masih perlu intropeksi dan berbenah diri, agar menjadi Polri yang profesional dan akuntabel.
Polri Berbenah
Pada tahun 2005 yang silam, kepolisian berhasil membidani sebuah dokumen yang bernama “Grand Strategy Polri 2005-2025”. Secara substansi, isi Grand Strategy Polri tersebut adalah usaha Polri untuk menjadi institusi mandiri, seperti halnya yang telah dirumuskan di dalam Buku Biru Polri tentang Reformasi Polri. Namun penting untuk diingat oleh Polri dan publik, bahwa Grand Strategy Polri 2005-2025 merupakan agenda panjang, dan menghabiskan durasi waktu yang sangat lama.
Sementara prilaku manusia dan tantangan zaman berubah dari waktu ke waktu. Dalam konteks inilah Polri perlu melakukan intropeksi dan pembenahan terutama di lingkungan internal Polri sendiri.
Karena beberapa tahun belakangan ini, institusi Polri sering mendapat “gunjingan kritis” dari publik. Dan hari ini gunjingan kritis itu semkin kenjang dan menohok, setelah peristiwa kasus pembunuhan Brigadir Yoshua di rumah dinas salah satu petinggi Polri.
Peristiwa itu kemudian menjadi konsumsi publik, setelah adanya dugaan rekayasa kebohongan yang dilakukan oleh aktor utama pembunuhan Brigadir Yoshua dan di bantu oleh rekan-rekannya. Rekayasa kebohongan yang dilakukan oleh aktor utama pembunuhan Yoshua tersebut pun, berhasil disampaikannya secara langsung kepada Kapolri.
Dan ketika dilakukan pemeriksaan kepada para pelaku, ada banyak muncul perbedaan pernyataan, bahkan sampai hari ini pernyataan kontradiksi antara pelaku pertama dengan pelaku lainnya masih terus terjadi.
Peristiwa ini harus dijadikan sebagai catatan penting, baik untuk di arsipkan ke dalam lembaga instansi Polri begitu juga untuk catatan perjalanan bangsa ini. Peristiwa memilukan ini menegaskan bahwa reformasi Polri belum berhasil seutuhnya mentransformasikan Polri menjadi Institusi yang profesional dan humanis.
Dan dari peristiwa ini juga Polri tidak mungkin menafikan, bahwa reformasi internal Polri ternyata tidak seindah reformasi eksternalnya. Dan ini harus menjadi catatan serius untuk memperbaikai Institusi Polri menjadi institusi yang lebih berkualitas dan profesional. Agar visi dan misi Polri bisa diwujudkan dalam dunia nyata dalam konteks bernegara.*
Penulis adalah dosen, tinggal di Batam