Negara memiliki andil dalam menjaga keamanan terhadap kekerasan yang makin marak agar tidak menimbulkan pertanyaan “di manakah peran negara dalam menjamin rasa aman?”
Oleh: Anisa Fitri Mustika Bela
Hidayatullah.com | ADA peningkatan kekerasan yang dialami anak Indonesia sepanjang Januari 2022. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KemenPPPA) melaporkan 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022.
Jumlah tersebut setara dengan 9,13 persen dari total anak korban kekerasan seksual pada tahun 2021 lalu yang mencapai 8.730. Ribuan anak yang mestinya mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan justru mengalami nasib naas yang akan menimbulkan trauma bagi mereka hingga dewasa.
Keluarga merupakan struktur terkecil masyarakat memiliki peran yang salah satunya menjamin rasa aman. Sayangnya peran itu hilang tatkala tragedi orang tua membunuh anaknya, orang tua melakukan pelecehan seksual terhadap anaknya, dan tragedi anak mengalami kekerasan dalam rumah tangga kerap terjadi.
Apabila mencari jaminan keamanan di lingkungan masyarakat yang juga memiliki peran menjamin rasa aman tidak dapat terwujudkan lantaran lebih banyak lagi tragedi kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Lembaga keamanan dan kemasyarakatan yang mestinya bertugas sebagai pemberi perlindungan dan jaminan keamanan justru tidak menanggapi kasus kekerasan yang menimpa korban apabila tidak ada kesaksian dari pihak lain.
Seolah terkesan “Kerjaan saya sudah banyak ngapain Saya mengurusi kasus yang belum jelas ada saksinya atau tidak”. Hal inilah yang membuat korban takut melaporkan kepada pihak lain. Apalagi media turut berperan membocorkan tragedi yang mereka alami yang membuat korban takut kekerasan yang menimpanya tersebar sebagai aib baginya.
Memang terkadang ada kejadian dimana masyarakat turut andil membantu korban apabila kekerasan tertangkap basah warga sekitar, walaupun berakhir dengan warga main hakim sendiri hingga menimbulkan permasalahan lainnya. Seolah warga tidak percaya dengan pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
Seperti yang terjadi pada saat seorang suami membunuh istrinya di Jalan Mandala By Pass yang kepergok warga dan langsung dihajar oleh warga sekitar yang lewat dan menyaksikan hingga mengalami luka berat. Baru setelah masalah membesar, personil Percut Sei Tuan langsung mendatangi lokasi dan mengamankan pasangan suami istri serta membawanya ke rumah sakit Bhayangkara Medan.
Dimanakah jaminan negara atas keamanan?
Negara sebagai struktur terbesar dalam masyarakat memiliki andil dalam menjaga keamanan. Tragedi kekerasan yang makin marak terjadi di semua kalangan baik anak-anak, remaja dan dewasa menimbulkan pertanyaan besar “dimanakah peran negara dalam menjamin rasa aman?”
Mengingat negara seharusnya berperan sebagai raa’in dan junnah bagi semua rakyatnya. Termasuk dalam membina masyarakat agar menjadi pribadi yang beriman dan berkepribadian Islam sehingga tidak akan berani melakukan kejahatan karena keimanannya yang meyakini bahwa Allah melihat segala hal yang terjadi termasuk tindakannya.
Menjadi masyarakat madani sebagaimana masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah ﷺ yang selalu melakukan ‘amar makruf nahi mungkar yakni nasehat-menasehati dalam kebaikan dan menjauhi kekufuran. Sehingga tercipta tatanan sosial yang meminimalisir tindak kekerasan.
Masyarakat madani yang disebut adalah masyarakat madinah setelah membaiat Rasulullah ﷺ sebagai nabi dan rasul serta pemimpin di tengah-tengah mereka. Yang diteruskan sepeninggal Rasulullah ﷺ oleh para sahabatnya yang memiliki keteguhan iman dan pemahaman yang menyeluruh terkait hukum syariat Islam, yakni para khulafaur rasyyidin. Dan terus berlanjut hingga kekhilafan yang terakhir yakni Khilafah Utsmaniyyah.
Masyarakat seperti itu tidak akan bisa terwujud dalam pusaran ideologi kapitalisme yang dengan paksa diterapkan di negeri-negeri kaum muslim termasuk Indonesia. Kapitalisme menjadikan manusia individualis dan abai terhadap sesamanya, tidak mau menasehati dan tidak mau dinasehati.
Bertindak mengikuti hawa nafsu dianggap suatu kebebasan dan bukan kesalahan walaupun tindakan sudah menyimpang bahkan menimbulkan keresahan masyarakat sekitar.
Kapitalisme yang lahir dari rahim peradaban Barat setelah mereka mencampakkan Tuhan dengan menyamakannya sebagai pembuat jam yang mana seorang pembuat jam hanya menciptakan jam, tetapi setelah selesai dibuat maka tidak ada lagi campur tangan si pembuat jam.
Hingga banyak dari mereka berupaya menihilkan peran Tuhan dalam kehidupan. Padahal, si pembuat jam pasti membuat aturan cara pemakaian dan perawatan jam tersebut agar tidak mudah rusak dan mati.
Begitupun Tuhan telah menurunkan seperangkat aturan kepada manusia melalui perantara Malaikat Jibril kepada Rasulullah ﷺ yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang mana apabila manusia mau mengikuti dan menjalankannya maka kehidupannya di dunia dan akhirat akan selamat.
Keamanan akan terjamin dalam sebuah keluarga, masyarakat bahkan negara. sebagaimana terjaminnya keamanan pada masa pemerintahan Islam. Namun, bila tidak mau tunduk dan menjalankannya maka bersiaplah dengan kesengsaraan, kerusakan dan kejahatan yang muncul di darat dan di laut.
Biar sejarah yang berbicara bagaimana kokohnya keamanan dalam Daulah Islam yang menerapkan syariat Islam secara Kaffah. Pada tahun 837, al-Mu’tasim Billah menyahut seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri terlihatlah sebagian auratnya.
Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah al-Mu’tasim Billah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu Kota Ammuriah (Turki). Seseorang meriwayatkan bahwa panjang barisan tentara ini tidak putus dari gerbang Istana Khalifah di Kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), karena besarnya pasukan.
Catatan sejarah menyatakan bahwa ribuan tentara Muslim bergerak di bulan April 833 Masehi, dari Baghdad menuju Ammuriah. Kota Ammuriah dikepung oleh tentara Muslim selama lima bulan hingga akhirnya takluk ditangan Khalifah Al-Mu’tasim pada tanggal 13 Agustus 833 Masehi. Pembelaan kepada muslimah ini sekaligus dimaksudkan oleh khalifah sebagai pembebasan Amuriah dari jajahan Romawi.Wallahu’alam bi shawwab.*
Alumni FIS, Universitas Negeri Jakarta