Oleh
Arif Rahman Aiman Muchtar *)
“Bangsa Arab hanyalah kumpulan orang-orang pelit dan kikir.” Begitulah kira-kira kesimpulan banyak orang, beberapa hari setelah gempa tsunami di beberapa negara Asia. Kritikan pers Barat tak kalah kejamnya. Negara Timur Tengah dan dunia Islam –khususnya Arab Saudi—justru paling lamban memberikan bantuan terhadap penderitaan korban bencana alam Indonesia dan beberapa negara lainnya di Asia Selatan.
Kritik serupa terhadapan kelambanan bantuan tersebut terjadi di Indonesia. Salah satu tokoh NU, K.H. Yusuf Hasyim mempertanyakan bentuk aksi nyata negara Arab dan negeri Timur Tengah yang dianggap banyak orang sebagai negara petro dollar yang kaya minyak. “Padahal negara-negara Barat, Cina dan Jepang sudah melakukan aksi nyata” tutur Pak Ud.
TV al-Jazeera yang selalu melaporkan gempa tsunami juga mengkritik tajam spontanitas Arab yang lamban dalam bereaksi. Kelambanan bantuan negara Arab memang ada benarnya bila dibanding dengan negara Barat yang telah berkomitmen menyumbang dana besar, seperti Australia menyumbang sebanyak 765 juta dollar, Jerman 665 juta dollar, Jepang 500 juta dollar, USA 350 juta dollar dan Norwegia 182 juta dollar, sedangkan Saudi Arabia hanya 10 juta dollar sebelum diadakan kegiatan Telethon yang mampu mengumpulkan dana bantuan tambahan sebesar SR 300 juta (US$ 83 juta) adapun sumbangan negara Arab lainnya dibawah 10 juta dollar.
Gunjingan terhadap negara-negara kaya minyak Timur Tengah terus berdatangan. Berbagai liputan media massa melakukan kritik tajam. Tak luput, diskusi di milis internet dipenuhi olok-olok para Syeikh Timur Tengah yang kaya raua itu.
Tapi olok-olok dan sindiran pada negara-negara Arab itu tak bertahan lama. Sebab beberapa hari kemudian, negara-negara kaya minyak itu menunjukkan komitmennya membantu Indonesia.
Tujuh Trilyun
Rabu, (12/1), sekitar 17 duta besar dari negara-negara Islam berkumpul di Masjid Istiqlal, Jakarta. Mereka berkomitmen untuk membantu memulihkan kondisi Aceh pasca bencana. Para duta besar yang hadir dalam pertemuan yang berlangsung sekitar dua jam tersebut antara lain dari; Malaysia, Turki, Pakistan, Arab Saudi, Tunisia, Aljazair, Bosnia, Lebanon, Afghanistan, Maroko, Jordania, Kuwait, Yaman, Uzbekistan dan Suriname.
Perhatian pemerintahan Saudi terhadap musibah di Aceh memang tidak sedikit. Bahkan orang nomor satu di negeri itu, Khadimul Haramain Al-Syarifain Raja Fahd bin Abdul Aziz Al-Saud dan dari Putra Mahkota Negeri Saudi Arabia memimpin acara penggalangan dana bagi para korban bencana gempa dan gelombang tsunami yang menimpa negara-negara Asia.
Tak tanggung-tanggung, hingga musibah telah berlangsung dua minggu, total sumbangan rakyat Saudi dan pihak kerajaan telah mencapai jumlah yang cukup fantastis, 800 juta dolar AS atau sekitar Rp7,2 triliun (kurs Rp9. 000 per 1 dolar AS). Sumbangan sebesar Rp7,2 triliun dari Arab Saudi tersebut jauh lebih besar dibanding sumbangan dari negara-negara asing termasuk AS sebesar US$ 350 juta.
Yang tidak kalah fantastiknya, sumbangan sebesar 800 juta dolar AS atau sekitar Rp. 7,2 triliun dari Arab Saudi itu diberikan dalam bentuk hibah alias tunai. Bukan utang. Berbeda dengan bantuan beberapa negara asing termasuk AS yang berupa pinjaman. Dan itupun baru rencana, belum semua disalurkan hingga kini.
Instruksi Raja Fahd terhadap televisi Arab Saudi untuk mengorganisir telethon dalam rangka pengalangan dana bantuan bagi korban bencana alam di Asia, yang diselengarakan pada hari kamis, tanggal 6 Januari 2005 dari pagi hingga malam tentunya tidak untuk sekedar menangapi tuduhan-tuduhan media massa terutama TV Barat. Tetapi memang simpati seorang saudara.
Tuduhan Teroris
Tapi ada juga salah satu negara Arab yang dianggap tak begitu peduli. Salah satunya adalah Qatar. Pada saat diadakan Posko peduli korban tsunami di Qatar, umumnya warga asing yang memberikan bantuan kepada posko yang dibentuk oleh KBRI dan PERMIQA (Persatuan Masyarakat Indonesia di Qatar) adalah berasal dari negara di Asia Selatan, Amerika, Eropa dan Turki. Yang telah terkumpul dalam pengalangan dan tersebut sebesar US$ 23.422.
Baru setelah ada kritikan dari media massa lembaga-lembaga amal di Qatar termasuk di beberapa negara teluk mulai gencar melakukan penggalangan dana untuk korban bencana di Indonesia dan beberapa negara lainnya. Yang patut mendapatkan pujian, TV al-Jazeera tidak hanya mengkritik tetapi juga mengajak para darmawan untuk berperan serta menghimpun dana bagi para korban bancana alam, ajakan berinfak ditayangkan hampir setiap jam di layar TV kebangaan bangsa Arab itu.
Waulaupun juga dinilai lamban, komunitas masyarakat Maroko juga mengadakan pengalangan dana dari tanggal 13 s/d 20 Januari 2005, baru dua minggu setelah peristiwa stunami.
Keraguan bangsa Arab untuk segera cepat menolong saudaranya sendiri di Indonesia, memang bisa dipahami. Semenjak 11 September yang oleh Amerika Serikat (AS) kemudian dijadikan batu pijakan melakukan ‘perang melawan teroris’ membuat negara-negara Islam ikut-ikutan kena getah. Apalagi, AS dengan seenaknya saja mengaitkan apapun dana yang diberikan Timur Tengah.
Pengawasan ketat terhadap aliran dana dari Timur Tenggah di saat kompanye anti-terorisme membuat sumbangan dari masyarakat Arab terkesan lamban. Hal ini membuat masyarakat Arab lebih menghindari masalah yang dapat muncul akibat dana ke luar negeri, termasuk memberikan sumbangan bagi korban bencana di Asia Selatan.
Sudah menjadi rahasia umum, dana-dana Timur Tengah yang dulunya bisa dengan mudah mengucur di Indonesia untuk keperluan dakwah dan pembangunan masjid atau pesantren sudah lama berhenti. Namun spontanitas negara Arab terhadap korban tsunami di Indonesia beberapa saat lalu diharapkan bisa kembali menyatukan rasa kemanusiaan mereka pada saudara-saudara seiman tak peduli sekejam apapun kritikan pers Barat dan tuduhan Amerika.
*) Penulis adalah mahasiswa S3 perbandingan agama di Universitas Muhammad V, Rabat–Maroko