Oleh: Bayu Fernando
MOMEN perayaan tahun baru merupakan waktu yang sangat ditunggu-tunggu sekali oleh kebanyakan orang terutama pada kalangan remaja.
Kebanyakan mereka mereka merayakan tahun baru dengan melakukan berbagai macam kegiatan hura-hura, diantaranya ada yang melakukan kemubadziran dengan konvoi keliling kota tanpa tujuan yang jelas bersama teman-temannya, ada yang membakar uang dengan melakukan pesta kembang api dan petasan, ada yang berdua-duaan dengan pacarnya untuk melakukan perbuatan kemaksiatan, dan ada pula yang menggunakan topi kerucut dan meniup-niup terompet kesana kemari sembari menunggu detik-detik pertukaran tahun baru masehi.
Pada momen pergantian tahun baru, banyak Muslim yang ikut-ikutan melakukan hal-hal yang jauh dari syari’at Islam. Bahkan, yang mereka lakukan adalah suatu perbuatan sia-sia yang bisa merusak aqidah mereka baik mereka sadari maupun tidak mereka sadari dengan mengikuti perayaan kaum kafir. Padahal Rasulullah telah dari 1400 tahun yang lalu mewanti-wanti kita agar tidak terjerumus ke dalam hal tersebut. Sebagaimana Rasulullah bersabda dalam haditsnya yang artinya:
“Sungguh kalian akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai jika mereka masuk ke dalam lobang biawak gurun tentu kalian akan mengikutinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Salah satu perbuatan yang disadari atau tidak disadari dapat merusak akidah kita bahkan bisa mengarahkan kita kearah kemurtadan tersebut adalah meniup terompet dan memakai topi kerucut pada saat perayaan tahun baru. Mungkin banyak komentar yang muncul, salah satunya: “Lho, kan cuma meniup terompet dan memakai topi kerucut saja, mana mungkin hal tersebut bisa merusak akidah saya.”
Sebelum pernyataan tersebut keluar dari lisan kita, mari kita telisik dulu asal muasal dari acara meniup terompet dan memakai topi kerucut ini.
Tahukah kita apa makna topi kerucut yang sering digunakan pada tahun baru tersebut? Sanbenito merupakan sebutan bagi topi tersebut. Pada masa Raja Ferdinand dan Ratu Isabela berkuasa di Andalusia. Ketika kaum Muslimin dibantai, keduanya memberi jaminan hidup kepada orang Islam dengan satu syarat, yakni keluar dari Islam. Maka untuk membedakan mana orang yang sudah murtad (converso) dan mana yang belum adalah dengan cara melihat seorang Muslim menggunakan baju seragam dan topi berbentuk kerucut dengan nama sanbenito.
Topi itu digunakan saat keluar rumah, termasuk ketika akan berpergian kemanapun. Dengan menggunakan sanbenito, mereka akan aman dan tidak dibunuh. Kini, enam abad setelah peristiwa yang sangat sadis itu berlalu, para remaja dan anak-anak Muslim justru memakai sanbenito untuk merayakan tahun baru masehi dan merayakan ulang tahun.
Meniup terompet dan memakai topi kerucut sanbenito sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Sebaliknya justru berasal dari kaum kafir, kaum yang sudah merampas kejayaan Muslim Andalusia, dan menghancurkan sebuah peradaban maju Islam di Andalusia ketika itu.
Sementara itu, budaya meniup terompet juga bukanlah datang dari Islam, melainkan budaya masyarakat Yahudi saat menyambut tahun baru bangsa mereka yang jatuh pada bulan ke tujuh pada sistem penanggalan mereka (bulan Tisyri). Walaupun setelah itu mereka merayakannya di bulan Januari sejak berkuasanya bangsa Romawi kuno atas mereka pada tahun 63 SM. Sejak itulah mereka mengikuti kalender Julian yang kemudian hari berubah menjadi kalender Masehi alias kalender Gregorian.
Rasulullah juga menolak ketika dahulu ada sahabat yang mengusulkan menggunakan terompet ketika hendak memanggil kaum Muslimin untuk mendirikan sholat berjamaah dengan alasan bahwa hal tersebut adalah kebiasaan orang-orang yahudi, sebagaimana dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda yang artinya :
“Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi.” (HR Abu Dawud).
Sejarah diatas adalah deretan fakta tertulis dalam tinta sejarah yang tidak bisa kita pungkiri. Kaum Nashrani dan Yahudi tiada hentinya berupaya sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah berusaha memurtadkan umat Islam, terutama umat Islam yang jauh dari agamanya, agar minimal akrab dengan simbol-simbol mereka, lalu kemudian dimurtadkan tanpa mereka sadari.
Sebagaimana hadits Rasulullah yang artinya :
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).
Oleh karena itu, marilah kita membentengi aqidah kita dengan senantiasa meningkatkan keimanan dan keilmuan kita. Mari kita pikirkan dan pahami terlebih dahulu setiap hal yang akan dilakukan, jangan sampai perkataan dan perbuatan yang kita lakukan dapat merusak kemurnian aqidah kita apatah lagi membuat kita terjerumus dalam dosa syirik yang termasuk kedalam perbuatan dosa besar. Wallaahu’alam bi Shawwab.*
Penulis dai muda FSRMM – Riau