Serangan terhadap “mujahidah jilbab” Sherbini beberapa pekan lalu jelas kasus rasial. Masalahnya, orang seperti Sarkozy menyatakan burqa sebagai simbol perbudakanOleh: Asma T. Uddinhidayatullah.com–Agustus lalu, Marwa El-Sherbini, seorang apoteker Mesir yang tinggal di Jerman sejak 2003, sedang bersama putra balitanya di taman bermain di Dresden pinggiran kota Johanstadt. Belakangan diketahui, sebuah perselisihan terjadi antara dirinya dengan seorang laki-laki yang disebut sebagai “Axel W” mengenai siapa yang giliran bermain ayunan, putra Sherbini ataukah keponakan si W. Ketika itulah sebuah pertengkaran terjadi. W memanggil Sherbini –yang berkerudung– dengan sebutan “Islamis”, “teroris”, dan “pelacur”. Marah dengan kejadian tersebut, Sherbini melaporkan W secara resmi.Pengadilan setempat mendenda Axel W sebesar €780 (USD$1,100) karena memanggil Sherbini dengan “teroris”.Selama persidangan berlangsung, W terus saja menghina Sherbini dengan mengatakan, “Kamu tidak berhak tinggal di sini.” Hingga terjadilah peristiwa yang sangat mengerikan.Ketika itu Sherbini bersiap untuk memberikan kesaksiannya, tiba-tiba W menyerang dirinya di dalam ruang sidang. W menikamnya 18 kali. Padahal, kala itu, Sherbini sedang hamil tua.Suami Sherbini, Eliv Ali Okaz mencoba menghentikannya. Tapi ia pun ditikam oleh W dan ditembak oleh petugas keamanan ruang pengadilan, yang keliru menyangka suami Sherbini sebagai penyerang. Okaz kondisinya kritis, sedangkan Sherbini tewas di dalam ruang sidang. Putra mereka yang berusia 3 tahun menyaksikan seluruh kejadian itu.Karena JilbabSerangan verbal terhadap Sherbini itu jelas tindakan rasialis. Petugas ruang sidang yang justru menyerang Okaz dan bukannya W, karena mengira Okaz sebagai penyerang, semata-mata karena melihat warna kulitnya saja. Ini juga jelas rasialis.Hal lain yang lebih menguatkan asumsi bahwa itu kejadian rasial, adalah kejadian setelahnya. Meskipun kejadian di ruang sidang itu begitu dramatis, peristiwa tersebut hanya mendapatkan sedikit perhatian dari media Barat. Mereka lebih banyak membahas tentang teknis keamanan ruang pengadilan, dibanding pembahasan isu anti-Islam. Kaum Muslim di Jerman, Mesir, dan negara-negara Muslim lainnya terkejut dengan sikap diam media itu.Para komentator di seluruh dunia bermain dengan kata “jika”. Mereka mengatakan, penghargaan media kepada Muslim tidak sebaik kepada non-Muslim. Jika ada non-Muslim mati karena pengiayaan yang dilakukan seorang Muslim, berita kematiannya pasti mendapat perhatian lebih banyak.Seorang blogger menulis, “Bayangkan jika situasinya diputar ulang kembali, dan korbannya diganti dengan orang Barat yang ditikam di mana saja di penjuru dunia ini, atau di negara Muslim di Timur Tengah, atau negara yang dikuasai Muslim, atau terjadi di — apa yang biasa disebut media sebagai golongan “minoritas” di Mesir, Anda pasti sudah akan mendengar dunia meributkannya dan internet bahkan mungkin akan putus!”Para komentator “jika”, punya alasan untuk berpikir demikian, karena melihat rasisme yang terus terjadi di Jerman. Tahun-tahun terakhir ini misalnya, ada gelombang protes terhadap rencana pembangunan sebuah masjid dekat Katedral Cologne yang terkenal di dunia itu.Hal itu diperkuat dengan pernyataan petugas khusus PBB masalah rasisme, Githu Muigai. Dia yang baru saja menyelesaikan 10 hari perjalanan dinasnya sebagai petugas pencari fakta –hanya sepekan sebelum peristiwa Sherbini– menekankan perlunya negara Jerman memberi perhatian terhadap masalah-masalah rasisme dan diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari.Terlebih lagi serangan terhadap Sherbini terjadi satu pekan setelah Presiden Perancis Sarkozy menyatakan bahwa burqa sebagai simbol perbudakan. Sarkozy menyarankan parlemen agar mau mempertimbangkan untuk melarang wanita Muslim di Perancis memakai burqa di tempat umum.Perhatian Sarkozy pada masalah burqa digabung dengan peristiwa penyerangan terhadap Sherbini yang berkerudung, membuatnya mendapat julukan “hijab martyr”. Dan seluruh kejadian itu menunjukkan kebencian orang Eropa atau Barat terhadap ajaran Islam dan pelaksanaannya.Memang perhatian atas masalah rasisme orang Eropa terhadap kerudung orang Muslim sepertinya dipolitisasi, sama seperti seorang kolonial Inggris yang menduduki Mesir. Sang Kolonel menganggap kerudung sebagai simbol keterbelakangan dan penindasan, yang kemudian memunculkan kerudung sebagai simbol perlawanan atas kolonialisme.Seperti yang disampaikan oleh seorang komentator, Khalid Diab. Dia menulis, “Jika seorang wanita lokal atau wanita asing diserang atau dibunuh di sebuah negara Muslim karena tidak mengenakan kerudung, apakah kasusnya itu akan menarik perhatian di Mesir atau negara Muslim lainnya?”Sherbini sebenarnya sudah memenangkan atau mendapatkan haknya atas panggilan “teroris” terhadapnya [W didenda karena melanggar undang-undang]. Undang-undang Jerman mengenai perkataan yang menjurus kepada kebencian, sama seperti undang-undang di negara Eropa lainnya. Sebagai contoh pada bagian 130 UU Kriminalitas, pernyataan kebencian atau penghinaan terhadap anggota masyarakat adalah salah satu kejahatan terhadap martabat manusia. Artinya, tindakan semacam itu dikategorikan ilegal. Misalnya memanggil kelompok etnis tertentu dengan sebutan “belatung” atau “parasit”. Maka adalah ilegal jika W memanggil Sherbini dengan sebutan “teroris”.Sementara undang-undang pernyataan kebencian di Jerman mungkin bermasalah, demikian juga dengan undang-undang penghujatan. Keduanya membatasi kebebasan berbicara meskipun tidak secara nyata memberikan ancaman, dan mengistimewakan sentimen kelompok atas kebebasan berbicara individu.Kaum Muslim, dalam banyak kasus diuntungkan dengan undang-undang pernyataan kebencian di Eropa. Sementara di dalam negeri mereka sendiri, undang-undang penghujatan seringkali menekan kebebasan mereka. Di satu sisi mereka mendapat perlindungan, di sisi lain mereka rawan mendapat tuntutan.Tidak diragukan lagi, rasisme dan diskriminasi agama yang terjadi dalam kasus Sherbini sungguh sangat keterlaluan dan tidak dapat dimaklumi. Namun, semakin besar gelombang protes yang berkembang atas kasus pembunuhan Sherbini itu, keadaannya perlu dipahami. Keadilan yang lebih besar hendaknya dituntut tidak hanya di Eropa, tapi juga di negara-negara Muslim.Penulis pemimpin situs Altmuslimah.com. Tinggal di Philadelphia. Tulisan ini dikutip dari situs Altmuslimah.com