Hidayatullah.com–Semarak pengumuman Ujian Nasional (Unas) begitu hangat dibicarakan media masa sehingga menjadi konsumsi empuk para konsumen berita. Aksi konvoi ataupun corat-coret seragam oleh pelajar yang merayakan kelulusannya menjadi breaking news di berbagai saluran infotainmen tanah air kita beberapa hari ini.
Sungguh suatu euphoria musiman yang telah mengakar dalam benak generasi bangsa Indonesia. Ironisnya banyak di antara orang tua kita yang begitu rileks dalam menanggapi hal ini, seolah-olah mereka setuju bila anaknya lulus ataupun tidak lulus, pesta tetap digelar.
Coba tengok aksi pelajar di beberapa tempat, meski pihak kepolisian telah melarang mengadakan konvoi di jalanan, namun masih saja ada aksi nekad para pelajar yang membuat rusuh jalanan umum.
Tidak sekedar konvoi, banyak aksi brutal yang dilakukan para pelajar tersebut ketika mengekspresikan kegembiraannya. Mereka mewarnai rambut, corat-coret seragam sekolahnya, mengibarkan kerudungnya sepanjang jalan raya, menjarah barang dagangan PKL yang ada di pinggiran jalan, bahkan ada yang menggunting rok sekolahnya sampai terbuka auratnya. Na’uudzubillaahi mindzaalik…
Begitulah realita negeri ini yang telah terkikis rasa malunya oleh hedonisme ala Barat. Kaum pelajar yang digadang-gadang untuk meneruskan pembangunan negeri ini, justru menampilkan akrobat yang tidak kalah hinanya dengan kaum jahiliyah karena tidak mengenal bangku sekolah.
Pemuda yang seharusnya lebih mempersiapkan diri dalam menyongsong jenjang berikutnya setelah menyelesaikan sekolah, namun sebaliknya justru ramai-ramai membuat rusuh di jalanan. Lupakah bahwa ketenteraman negeri kita akhir-akhir ini sedang bergolak? Lihat kasus Mbah Priok beberapa hari yang lalu, atau kasus Batam Mencekam yang hingga detik ini belum terselesaikan.
Kejadian yang tak kalah mengerikan lagi dilakukan para pelajar yang dinyatakan tidak lulus dalam Unas kali ini. Mereka berulah di sekolahnya, mengumpat gurunya, merusak sekolah yang selama ini menjadi tempatnya belajar, dan masih banyak lagi keburukan yang telah mereka lampiaskan. Benar-benar rusuh negeri ini; baik pejabat, para wakil rakyat, buruh, mahasiswa, ataupun kaum pelajar. Semuanya bangga menjadi biang keonaran negeri yang kala dulu terkenal dengan tepo seliro di antara penduduknya.
Ingatlah pesan Allah dalam Q.S Al Maa’idah ayat 33, yang artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau dibuang dari negeri. Yang demikian itu suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”. Sungguh jelas azab Allah kepada mereka sang trouble maker di muka bumi ini.
Sesungguhnya banyak orang yang sedang membuat kerusakan, akan tetapi kita tidak sadar. Lalu siapakah mereka itu dan sampai kapan negeri ini terpuruk? Semoga kita bukan bagian dari orang-orang yang dimaksud tersebut. Bisa jadi sistem kapitalis yang kita anut sekarang ini, yang secara jelas dan pasti telah merusak moralitas bangsa, sebagai landasan utama kokohnya peradaban luhur yang telah dibangun nenek moyang kita dahulu. Saatnya berbenah diri demi menyongsong kehidupan berbangsa yang bermartabat sebagai cita-cita kemerdekaan.
Kembali pada permasalahan dunia pendidikan negeri kita, standar kelulusan Unas di atas nilai 5,5 sebenarnya masih terbilang rendah bila dibandingkan standar nilai Unas dari negara tetangga dekat, contohnya Malaysia. Namun tetap saja banyak pelajar kita gagal dalam melewati batas minimal tersebut. Di mana letak permasalahannya? Dan bila ditelusuri sebenarnya, Indonesia telah memiliki begitu banyak kaum intelektual sebagai praktisi dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sayangnya sebagian mereka begitu acuh tak acuh dalam perkembangan dunia pendidikan kita, dan bisa dibilang mereka jual mahal karena memang biaya yang telah mereka keluarkan ketika dirinya bersekolah juga selangit.
Tak Jauh dari Pohon
Ada pepatah mengatakan, “Buah jatuh tak jauh dari pohon.” Sesungguhnya, jika dilihat ulah dari generasi mudah sekarang, sebenarnya tak jauh dari bapak-ibu, kakak, dan senior nya di negeri ini.
Lihatlah generasi muda sekarang ini, yang lebih acuh tak acuh pada masa depan pendidikannya sendiri. Masih pelajar saja mereka sudah hobi hura-hura, menghambur-hamburkan, dan menjarah.
Lihat ketika mereka berkonvoi, baik pria maupun wanita, dengan bangganya merusak almamater mereka ketika bersekolah, yang semestinya bisa disumbangkan seragam-seragam tersebut kepada saudara-saudara kita yang belum mampu membeli baju, apalagi seragam sekolah, atau disumbangkan kepada para pengungsi yang hingga detik ini belum jelas tempat tinggalnya.
Tapi yaitu tadi, kasus ini tak dapat disalahlahkan kepada pelajar ansich. Sebab, telah beberapa tahun ini, kita saksikan para penguasa, anggota dewan, para pejabat – yang tak lain adalah bapak-bapak para generasi muda—sudah lama mempertontonkan pemandangan kurang menyenangkan di depan anak-anak kita.
Anggota dewan berselingkuh terang-terangan, walikota dan bupati “korupsi” dengan menilap uang rakyat. Para pejabat dan aparat, yang seharusnya paling kita percaya amanahnya, berkhianat. Mereka melakukan kerjasama jahat dengan untuk kepentingan diri sendiri. Para jaksa, hakim, pengacara –yang katanya penjaga hukum—sudah tak lagi dapat dipercaya. Mereka mudah disuap hanya dengan uang tak tak begitu banyak. Masih kurang apa lagi?
Jangan-jangan, jika melihat ulah segelintir pelajar dan generasi muda itu, tak lain dan tak bukan, karena cerminan bapak-bapak kita.[hidayatullah.com]
Penulis adalah guru SD Integral Luqman Al Hakim Trenggalek