Oleh: Muhammad Cheng Ho
DI negara yang katanya demokratis ini, rupanya masih ada yang mengatur-atur, menghukum-hukum, dan melarang-larang orang yang mengkritik penguasa.
Yang mengejutkan, yang melakukan itu bukan pemerintah, melainkan warga. Baru-baru ini di Kelurahan Arenjaya, Bekasi, warga setempat sempat mengusir seorang ustadz berinisal W hanya karena mengkritik Densus 88.
W menempel pamflet di Mading masjid yang berisi berita tentang kematian Siyono di tangan Densus 88. Selain itu, W dituduh selalu mengkritik Densus 88 dan pemerintah melalui khutbah Jum’at-nya (Tempo.co, 7/5/2016).
Belakangan W tidak jadi diusir setelah memberi penjelasan ke warga. Tapi W diminta membuat surat pernyataan yang isinya tidak memberi khutbah yang menyinggung pemerintah, Densus 88, dan agama lain (Kompas.com, 8/5/2016).
Sungguh mengherankan sikap warga ini! Di saat Ormas Islam, wakil rakyat, mahasiswa, dan masyarakat gencar mengkritisi Densus 88 atas kematian Siyono, mereka malah tersinggung dengan kritik W. Ada apa ini?
Jika kita membaca sejarah, sikap warga ini mirip dengan rezim Orde Baru. Kala itu, seperti diceritakan majalah Tempo (23/8/1980), penguasa memberi syarat kepada dua orang yang akan menjadi khatib shalat Idul Fitri, yaitu Sjafruddin Prawiranegara dan A.M. Fatwa, agar menyerahkan teks khutbahnya kepada panitia untuk dicek sebelum disampaikan.
Tentu agar isi khutbah sesuai dengan selera penguasa. Lucu juga khatib diceramahi penguasa.
Awalnya Sjafruddin tidak mau menyerahkan teks khutbanya, namun setelah diminta berkali-kali, ia mengalah. Setelah dicek, khutbahnya yang berjudul “Kembali kepada Pancasila dan UUD 1945” dianggap menyinggung masalah Pancasila dan UUD 1945 oleh Kolonel Agus, Asisten Intelijen Kodam V Jaya. Dan menurut Menteri Agama Alamsyah, isi khutbahnya 80 % soal-soal politik. Pihak Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) lalu memintanya menghapus masalah-masalah politik. Namun Sjafruddin menolak. Akibatnya ia dilarang menjadi khatib. Memang melarang khatib bicara politik itu bukan politik?
Berbeda dengan Sjafruddin, A.M. Fatwa sejak awal menolak menyerahkan teks khutbahnya yang berjudul “Tegakkan Pancasila dalam Wajah Manusia, bukan dalam Wajah Hantu”.
Akhirnya panitia menggeser tugasnya dari khatib menjadi imam. Sementara tugas khatib digantikan oleh Kosim Nurseha Notowardoyo dari Dinas Pembinaan Mental TNI-AD. A.M. Fatwa jelas tidak suka. Sebelum mengimami shalat, ia sampaikan kepada jamaah bahwa dirinya batal menjadi khatib karena dilarang pihak yang berwajib. Selesai shalat, Kosim ceramah. Tak disangka keributan pecah!
Begitu Kosim naik mimbar, teriak-teriakan mulai terdengar menyuruh ia turun dan A.M. Fatwa naik. Tapi Kosim tak terpengaruh. Khutbahnya jalan terus. Sebagian jamaah yang ditaksir berjumlah18 ribu orang itu berusaha mendekati mimbar. Namun dicegah para petugas keamanan dengan tembakan ke atas, “Dor!”
Sebagai buntut dari keributan itu, A.M. Fatwa ditahan pada tanggal 12 Agustus 1980. Namun pada 14 Agustus 1980 ia dibebaskan dengan status tahanan kota melalui Surat Izin Jalan Komando Operasi Pemulihan dan Keamanan Daerah (Kopkamtibda) Jaya. Surat ini menurut Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, tak dikenal dalam prosedur dan proses hukum acara di Indonesia. Andai penguasa tidak ikut campur dan melarang A.M. Fatwa jadi khatib, mungkin kejadiannya akan lain, tak akan ada keributan yang kita sesalkan itu dan tak akan ada duka di hari raya.
Tahun lalu A.M. Fatwa juga sempat ditahan beberapa hari lantaran khutbahnya yang berjudul “Para Pemimpin Sadar dan Istighfarlah” dianggap terlalu keras mengecam pemerintah. Akibatnya, ia juga dipecat sebagai karyawan DKI.
Setelah insiden di hari raya itu, berkumpullah Menteri Agama Alamsyah, Ketua MUI Hamka, Ketua MUI Jakarta Abdullah Syafi’ie, dan Laksusda Jaya di gedung Departemen Agama. “Prak prak prak!” Tiga kali Hamka memukul meja. Alamsyah dan Syafi’ie yang duduk di sampingnya sampai terkejut. “Saya tidak setuju kesempatan berhari raya Idul Fitri dan Idul Ada dijadikan medan politik,” tegas Hamka.
Menurut HAMKA, kedua hari raya itu adalah hari suci, hari perdamaian, dan hari gembira. “Sayang masih ada rekan-rekan yang menggunakan kesempatan itu untuk mengungkapkan ketidakpuasan politiknya,” tambahnya.
Soal pengecekan teks khutbah, HAMKA juga tidak suka. “Kalau semua khatib, khutbahnya harus diperiksa dulu, saya berhenti saja jadi khatib,” tandasnya.
Timbulnya keresahan, keributan dan kegaduhan akibat politik penguasa Orde Baru yang mencurigai dakwah Islam dengan mempersempit gerak khatib ini, sepatutnya menjadi pelajaran berharga bagi kita. Bahwa mengatur-atur, menghukum-hukum, dan melarang-larang khatib mengkritik pemerintah bukanlah sikap yang dewasa. Sudah menjadi kewajiban para khatib menasihati pemerintah baik diminta ataupun tidak. Maka alangkah bijaksananya bila warga Kelurahan Arenjaya, Bekasi, batal meminta W membuat surat pernyataan tersebut.*
Penulis pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)