Oleh: Muhamad Hamka
PERNYATAAN negara-negara Barat bahwa terjadi praktik intoleransi beragama di Indonesia berlebihan. Tudingan tersebut dilontarkan oleh Austria, Norwegia, Belanda, Jerman, India dan Italia dalam sidang tinjauan periodic universal II (Universal Periodic Review-UPR) di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (Republika, 29/5).
Pernyataan negara Barat ini sangat tendensius. Karena toleransi beragama di Indonesia selama ini berjalan dengan baik. Bahwa ada riak kecil soal pembangunan gereja Yasmin di Bogor dan penyerangan Ahmadiyah oleh FPI, itu tak bisa dijadikan ukuran untuk mengatakan bahwa di Indonesia terjadi praktik intoleransi beragama.
Persoalan pendirian gereja Yasmin ini sangat kasuistis sifatnya. Hal tersebut boleh jadi karena ada alasan fundamental bagi masyarakat di sana dan masyarakat di sana pun pasti memiliki basis argumentasi yang jelas soal penolakan tersebut. Dalam konteks ini saya menduga adanya pemaksaan kehendak dari kelompok GKI Yasmin.
Persoalan kasuistis seperti ini sebetulnya tak terjadi pada kawan-kawan Kristiani saja. Di daerah-daerah yang mayoritas Kristen pun kawan-kawan Muslim mengalami kendala yang sama perihal mendirikan sarana ibadah ini. Bahkan saya pernah mengalami sendiri tentang apa yang disebut sebagai “tirani” minoritas.
Saya lahir dan besar di Naga, Desa Matawae, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Desa kami termasuk dari sedikit wilayah di NTT yang penduduknya mayoritas Islam. Namun apa yang terjadi, ditengah kemayoritasan tersebut kami justru tak berdaya.
Pasalnya, selama sekolah dasar kami tak pernah memperoleh pendidikan agama Islam. Padahal hampir 95% murid sekolah tersebut adalah anak-anak yang beragama Islam. Kenapa hal tersebut terjadi, karena ada perilaku diskriminatif dari yayasan dan guru di sekolah tersebut. Sekolah tempat kami belajar tersebut adalah Sekolah Dasar Katolik (SDK) Naga. Padahal sejak awal berdirinya pada tahun 1950-an, sekolah tersebut dinamakan sebagai Sekolah Rakyat (SR). Karena sekolah tersebut dibangun oleh seluruh rakyat Desa Matawae.
Namun dalam perjalanannya, sekolah ini berganti nama menjadi Sekolah Dasar Katolik (SDK) Naga yang dikelolah oleh Yayasan Sukma, sebuah yayasan milik Keuskupan Agung Manggarai. Proses kepemilikan sekolah oleh Yayasan Sukma tanpa sepengetahuan masyarakat, bahkan sampai hari ini belum ada penyerahan tanah sekolah oleh ulayat kepada yayasan sukma.
Praktis sejak berubah nama menjadi SDK, semua murid mendapatkan pelajaran agama Katolik untuk pelajaran agama. Pelajaran agama Islam pun sama sekali tidak diajarkan. Pernah ada orang tua murid yang mempersoalkan kebijakan tersebut, tapi tak pernah direspon oleh pihak sekolah. Bahkan soal ujian agama pada saat semester untuk murid beragama Islam di berikan soal agama Katolik.
Hal ini berlangsung sampai dengan datangnya reformasi ‘98. Semangat reformasi pun memberikan ruh baru bagi masyarakat untuk mendirikan Madrasah Ibtidaiyah. Sehingga pada tahun 2002 berdirilah Madrasah Ibtidaiyah Swasta Al. Ikhlas di Kampong Naga. Alhamdulillah sekarang anak-anak sudah fasih mengaji. Sementara pada masa kami sekolah, harus merantau ke Kota Bima-Nusa Tenggara Barat (NTB) setelah tamat SDK, baru mendapatkan pelajaran agama Islam dan belajar mengaji.
Dengan cerita di atas saya mau mengatakan, problem intoleransi beragama di Indonesia adalah persoalan yang sebetulnya bersifat kasuistis di masing-masing daerah dan pelakunya tak hanya yang beragama Islam tapi juga dilakukan oleh kawan-kawan kristiani. Jadi, tidak bisa diklaim, bahwa di Indonesia terjadi intoleransi beragama dengan menyudutkan Islam sebagai pelaku tunggal.
FPI dan toleransi ngelunjak
Perihal tindakan Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah juga tak bisa dikatakan sebagai barometer intoleransi beragama secara menyeluruh di Indonesia. Sikap keras yang digunakan oleh FPI tak bisa dijadikan ukuran sebagai indikator intoleransi beragama di Indonesia.
Kita semua tahu FPI itu adalah kelompok kecil dalam Islam Indonesia.Dia bukan ormas, hanya sebuah forum. Jumlah umat Islam di Indonesia 187 juta orang (85% dari 220 juta), FPI belum tentu 1 % nya. Tapi kadang selalu menjadi alasan pihak asing. Jauh lebih besar ormas-ormas lain seperti Muhammadiyah, NU, Persis, Al Irsyad, Dewan Dak’wah, al Irsyad Al Islamiyah, Al Ittihadiyah, Mathlaul Anwar, Al Wasliyah, Hidayatullah dan masih banyak lagi.
Jadi solusinya sebetulnya sangat sederhana. Kawan-kawan yang minoritas harus ikhlas dan secara sadar belajar menerima bahwa pihak mayoritas memiliki privilege (hak-hak istimewa) dengan kemayoritasanya, dan prinsip ini berlaku secara universal.
Di negara-negara Barat yang saya sebutkan di atas tadi, juga memperlakukan hal yang sama terhadap umat Islam. Di mana umat Islam juga mengalami perlakuan tidak istimewa dibanding yang lain (yang mayoritas). Bahkan jauh lebih diskrimatif. Substansinya, tidak boleh ada pemaksaan kehendak.
Kasus yang terbaru adalah di mana Chris Christie, Gubernur New Jersey mengeluarkan peraturan bahwa sah hukumnya polisi New York yang memata-matai kegiatan perdagangan, masjid, dan sekolah-sekolah umat Islam di New Jersey.
Akibatanya, agen polisi New York dan mata-mata mereka disebarkan di berbagai tempat termasuk di kafe-kafe umat Islam dan tempat kegiatan keagamaan untuk mengontrol aktivitas umat Islam. Di hampir semua Negara Eropa, diberlakan larangan menggunakan cadar (niqob) bagi Muslimah. Di China gereja (bahkan gereja rumahan) dibatasi dan dilarang. Sementara di tempat kita sebaliknya.
Di New York, masjid tak akan bisa berdiri tanpa persetujuan dari dewan pemgawas gereja. Apakah umat Islam di sana ribut? atau seperti LSM di sini yang cari muka dengan rajin membikin pernyataan bahwa bahsa Indonesia tidak toleran (padahal ujunganya, agar bantuan dana asing lancar dikirim?)
Partai Nasional Inggris berkamapanye untuk penghentikan pembangunan sebuah masjid di Bletchley Park dengan alasan mencegah kolonisasi Islam berlanjut di Eropa. Tapi tak pernah terdengan umat Islam Inggris teriak-teriak atau mengadu ke Saudi.
Pertanyaannya, dengan contoh tadi, apakah pantas Barat mengajari kita tentang toleransi?
Untuk itu, mari kita secara sadar belajar bersikap toleran. Toleran dalam arti yang sesungguhnya adalah tidak memaksakan kehendak (agama) lain terhadap (agama) kita.
Jika itu terus dilakukan dan terjadi, kata orang Jawa itulah yang disebut “ngelunjak”. Ngelunjak itu, “diberi hati, minta jantung.”*
Penulis adalah peminat masalah sosial keagamaan, berdomisili di Aceh