Oleh: Yanuardi Syukur
SECARA bahasa, hoax  berarti âtipuan lucu/tipuan jahatâ (a humorous or malicious deception). Cambridge Dictionary mengartikannya sebagai ârencana untuk menipu seseorangâ (a plan to deceive someone), seperti memberi tahu polisi bahwa ada bom di suatu tempat, padahal tidak ada.
Curtis D. MacDougall (1958) dalam bukunya Hoax es, menjelaskan bahwa hoax  adalah âkepalsuan yang sengaja dibuat untuk menyamar sebagai kebenaran.â Kepalsuan itu berbeda sekali dengan kesalahan observasi, penilaian, rumor, atau legenda. Singkatnya, hoax  adalah sebuah kepalsuan yang disengaja.
Perubahan dan Kompleksitas
Terjadinya hoax  berkaitan erat dengan masalah perubahan dan kompleksitas. Seiring dengan adanya media sosial hoax  menjadi sesuatu yang mudah sekali dibuat lewat berbagai aplikasi gratis dan diviralkan dengan cepat lewat berbagai media. Hoax  atau berita bohong belakangan ini menjadi âlimbah media sosialâ yang mengganggu jalannya interaksi sosial kita yang harmonis antarsesama.
Kemudahan itu menjadi hoax  mudah untuk diproduksi. Produksi hoax  sesungguhnya berjalan seiring-sejalan dengan dinamika yang berkembang dalam tataran sosial dan politik. Saking beruntunnya produksi hoax  kita jadi sulit membedakan mana fakta dan mana opini, mana kebenaran dan mana kepalsuan. Benar dan palsu seolah-olah menjadi menu yang harus kita telan sehari-hari.
Baca: Kiat-kiat Mengenali Berita Palsu atau Hoax versi Facebook
Menurut saya, setidaknya hoax  diproduksi karena dua faktor.
Pertama, bentuk resistensi kepada lawan. Hoax  tidak hanya dilakukan oleh satu orang kepada orang lainnya, akan tetapi juga dilakukan secara massif oleh kekuatan terstruktur.
Biasanya, hoax  itu hadir karena semangat perlawanan kepada kekuatan lain yang dianggap musuh. Ada anggapan bahwa âdalam perang, semua hal menjadi boleh, dan hoax  adalah bagian dari perang itu sendiri yang dibolehkan.â
Kedua, minimnya kesadaran literasi yang positif. Masyarakat kita tidak melewati budaya membaca secara serius. Langsung loncat kepada budaya internet. Minimnya budaya membaca membuat pembuat hoax  melakukan apa saja yang menurutnya baik. Tidak dipikirkannya apa plus dan minus dari aktivitas tersebut. Asal hoax  tersebarâdan berpengaruh, dipercaya orangâitu sudah bagian dari kesenangan mereka.
âManusia Piltdownâ
Kasus âmanusia Piltdownâ (Eoanthropus Dawsoni) misalnya, adalah kasus hoax  akademik yang sempat dipercaya orangâbahwa ada jenis manusia ituâselama 40 tahun (1913 sampai 1953). Padahal, itu hanya hoax . Hoax  akademik. Pelakunya adalah Charles Dawson yang mengklaim bahwa dia telah menemukan sebuah tengkorak hominid di daerah Piltdown, dekat Uchfield, Sussex, Inggris.
Menurut Dawson, âmanusia Piltdownâ adalah kunci hubungan antara kera dan manusia, karena katanya ada cranium (bagian tulang belakang yang membungkus otak) yang rada mirip dengan manusia, serta adanya rahang yang berbentuk seperti rahang kera.
Empat tahun setelah itu, tepatnya 21 November 1953, ternyata ditemukan bahwa âmanusia setengah kera dan setengah manusiaâ itu adalah sebuah penipuan karena pretensi dari Dawson ketika itu adalah untuk memuaskan keinginan orang-orang Eropa bahwa manusia yang awal-awal itu berasal dari Eropa. Semacam kesadaran Eurosentris, bahwa sentral dari semuanya adalah di Eropa.
Rupanya, skandal âkepalsuan yang disengajaâ itu tidak terlepas dari persaingan antar bangsa yang ingin menjadi lebih superior dibanding bangsa lainnya. Maka, ada betulnya juga jika ada disebut bahwa hoax  itu dibuat oleh orang/kelompok yang punya kekuatan, kekuasaan atau power. Karena, mereka yang punya kekuatan bisa melakukan berbagai keculasan-keculasanâdalam berbagai tingkatannyaâuntuk mengelabui orang lain, seperti kasus Dawson dalam konteks âkekuasaan akademik.â >>> (BERSAMBUNG)