Oleh: Ahmad Arif Ginting
RAMDAHAN, bulan yang lebih dari dari seribu bulan, tamu agung yang dinanti-nanti itu kini telah hadir di hadapan kita. Terlepas dari perbedaan awal pelaksanaannya, mari berdiam sejenak. Menyelami diri secara mendalam, mengoreksi, dan menghitung-hitung apa yang sudah, sedang dan akan kita lakukan sebagai hamba, sebelum datangnya hari tatkala perhitungan-Nya berlaku.
Kisah Pembangkit Jiwa
Dikisahkan ada dua orang anak, adik dan kakak, masing-masing berusia 8 dan 10 tahun. Mereka ditinggal mati sang Ayah akibat kecelakaan di saat usia mereka 5 dan 7 tahun.
Menjelang awal Ramadhan, mereka berdua saling berboncengan naik sepeda pancal menuju makam sang Ayah. Setelah sampai di tempat pemakaman sang Ayah, sepedanya disandarkan di pagar pemakaman. Sang kakak menggandeng tangan adiknya menuju pusara sang Ayah. Mereka berdua duduk bersila di dekat pusara, sambil membaca Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas. Empat surah itu saja yang mereka baca secara berulang-ulang. Setelah mereka membaca surah-surah tersebut sang Kakak memimpin doa dan adiknya ikut mengaminkan.
Doa yang dibacanya pun tampak seperti lazimnya yang dibaca oleh orang lain yaitu: Ya Allah, Ya Tuhanku, ampunilah aku, dan kedua orangtuaku dan kasih sayangilah mereka sebagaimana mereka telah mendidik dan mengasihsayangiku di waktu kecil. Mereka membacanya secara berulang-ulang dan ditutup dengan doa Robbana aatina fiddunya hasanah wafil aakhiroti hasanah waqina ‘adzabannar, sambil berbinar-binar mata mereka berdua, lalu mereka tinggalkan pusara dan kembali pulang sambil berboncengan menuju rumah yang amat sederhana, di mana ibu mereka sedang menunggu.
Maksimalisasi Investasi
Kisah di atas menggambarkan sang Ayah termasuk orang yang berhasil melakukan investasi kehidupan. Meskipun dia hanya sempat berinvestasi selama 5 dan 7 tahun, dia telah menerima pengembalian, buah dari investasi yang pernah dia lakukan. Bagaimana dengan kita semua, betapa malunya kita, meskipun orangtua kita telah mengantarkan sampai kita lulus perguruan tinggi, bahkan sampai kita berkeluarga, ternyata kita masih terlalu sering membuat jengkel hati kedua orangtua kita. Kita masih belum mampu sepenuhnya membahagiakan kedua orangtua kita.
Percayalah, apa saja kebaikan yang pernah kita lakukan, merupakan investasi. Pada saatnya insya Allah kita akan memetik buah investasi itu, selama kita tidak merusaknya sendiri dengan cara menyebut-nyebut, riya’, mengungkit-ungkit, dan menyakitkan hati si penerima investasi. (QS 2:264).
Terhadap ayah dari dua anak tadi, sesungguhnya dia merupakan orangtua yang telah melakukan pendidikan terhadap kedua anaknya, sekaligus melakukan investasi yang tepat dan benar. Kata investasi adalah kata yang bagi kebanyakan orang seringkali dikaitkan dengan kesediaan untuk melepaskan kepemilikannya demi masa depan. Baik masa depan yang sifatnya kekinian (di dunia ini) maupun masa depan yang sifatnya kenantian (nanti di akhirat). Buah masa depan hanya dapat digapai, bila dan hanya bila kita telah pernah menanamnya. Oleh karena itu, tepatlah sebuah pepatah: man zaro’a hashoda (barangsiapa yang menanam akan memetik hasilnya) atau yang dirumuskan dalam formula Return of Investment (RoI).
Mengapa kita harus dan bersedia berinvestasi? Hampir semua jawaban selalu mengaitkan dengan keyakinan akan adanya pengembalian yang lebih baik di masa depan, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan. Seorang petani yang menaburkan benih padi di hamparan sawah, karena sang petani memiliki keyakinan, bahwa benih padi yang baik tadi akan tumbuh dan menghasilkan padi jauh lebih banyak dari benih yang telah dia taburkan. Syarat kedua, sang petani harus dengan sabar merawatnya, insya Allah pada saatnya nanti, padi tersebut akan tumbuh dengan baik dan memberikan hasil.
Memenej Nafsu
Agar peluang yang datang setahun sekali itu tidak sia-sia, selama bulan Ramadhan, paling tidak ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, membersihkan diri dari hal-hal yang dapat merusak amalan, misalnya dengan saling memaafkan sebelum Ramadhan, sehingga saat memasuki Ramadhan tidak ada lagi kebencian, dendam, permusuhan, dan kotoran batin lainnya yang dapat menghalangi turunnya rahmat dan anugerah Allah. Kesucian hati mempermudah masuknya petunjuk Allah ke dalam pikiran dan hati nurani sehingga dapat mencapai tujuan puasa, yakni terbentuknya pribadi muttaqin (orang yang takwa). Maka salah satu tanda keberhasilan puasa seseorang adalah semakin rajin beribadah, meningkat amal kebaikannya, makin luhur kepribadian dan akhlaknya.
Kedua, belajar mengendalikan hawa nafsu dari kecenderungan pada hal-hal yang haram, makruh maupun syubhat. Hawa nafus dapat bermanfaat, tetapi sebaliknya dapat berbahaya bagi manusia dan ini banyak tergantung kepada bagaimana sikap manusia itu sendiri menghadapai gejolak nafsunya.
Sebagian orang berupaya membunuh nafsunya tanpa kenal kompromi seperti yang dilakukan para ahli sufi, para pertapa, dan para rahib yang semata-mata hidup untuk rohaniah tanpa memperhatikan kepentingan jasmaniah dan hubungan sosial. Sebagian lagi mengambil sikap memanjakan nafsunya dengan mengikuti dan tunduk patuh terhadap apapun yang dikehendaki nafsu. Kedua macam sikap itu sangat keliru. Membunuh nafsu akan merugikan manusia sendiri, sebab selain akan mematikan salah satu aspek rohaninya yang penting dan berharga, juga akan mematikan dinamika dan gairah hidup. Begitu juga menuruti nafsu sangatlah berabahaya, sebab seringkali apa yang di kehendaki oleh hawa nafsunya itu bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Makan, minum, dan melakukan hubungan seksual merupakan kebutuhan manusia sepanjang hidup tanpa memandang perbedaan warna kulit, bangsa maupun agama. Dalam Islam, ketiga kegiatan itu hukum asalnya adalah boleh/mubah sepanjang tidak melanggar batas serta ketentuan syariat. Selama bulan Ramadhan, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari, Allah justru melarang untuk melakukan kegiatan-kegiatan dengan firman-Nya,
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“…dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah : 187).
Maksimalisasi Kejujuran
Di antara tujuan berpuasa adalah membina setiap muslim memiliki kejujuran paripurna karena mereka terdorong untuk menciptakan suasana bahwa Allah beserta dirinya sepanjang hadirnya tamu agung ini. Tidak berbuka sepanjang hari sekalipun berada di suatu tempat yang sangat rahasia dan tanpa diketahui orang lain, ia tidak berbuka sepanjang hari sekalipun makan dan minum itu adalah kebutuhannya yang sangat mendasar dan ia pun tidak berbuka karena yakin Allah Maha Mengetahui. Oleh karena itu, di samping memengaruhi keimanan, ibadah puasa pun merupakan arena pembinaan dan penanaman makarimul akhlaq (keluhuran budi) seperti kejujuran dan kesabaran.
Kejujuran yang dimaksud tentu bukan hanya sebatas kejujuran dalam ruang penghambaan privat-horizontal semata. Tapi yang lebih ditekankan justeru kejujuran social-horizontal. Kejujuran privat-vertikal tidak akan bermakna apapun jika tidak diikuti dengan kejujuran pada ranah social sesama hamba. Sebaliknya juga demikian. Dengan kata lain, adanya keselarasan antara keshalihan pribadi dengan keshalihan sosial.
Akhirnya, semoga Ramadhan kali ini menyadarkan kita tentang urgensi kejujuran sehingga mampu merealisasikannya dalam kehidupan nyata, tidak hanya selama bulan mulia ini, tapi juga 11 bulan setelahnya; pengantin baru mengawali pelayaran biduk rumah tangga mereka dengan kejujuran mencari ridhaNya, bukan semata pemenuhan seks laiknya hewan melata; masyarakat jujur melaksanakan setiap amaran agar tercipta keteraturan; pegawai di instansi pemerintah maupun swasta melaksanakan tugas dan fungsi pokok mereka dengan kejujuran sehingga tercapai output ideal yang telah direncanakan, bukan sekedar berburu rente dan berperilaku ABS (asal bos senang); pejabat public (ekskutif, legislative dan yudikatif) jujur dalam menyusun dan merealisasi APBN sehingga tercipta kesejahteraan social sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah alumni Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pendiri dan pemilik RUMAN (Rumoh Baca Aneuk Nanggroe) Banda Aceh