Oleh: Jaka Setiawan, MSi
BAGI Indonesia setelah 32 tahun bergumul dengan kekuasaan yang otoritarian, perumusan maupun penyelenggaraan kebijakan keamanan nasional yang kini populer dengan Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) mempunyai kekhawatiran tersendiri.
Kekhawatiran tersebut terjadi akibat pengalaman pahit masa lalu yang menggunakan kemanan nasional (stabilitas nasional/kamtibnas ala orde baru) sebagai justifikasi untuk melakukan kekerasan, penculikan, dan penghilangan hak-hak dasar bahkan nyawa seseorang. Manjadi amat wajar jika dalam pembahasaan RUU Kamnas terjadi penolakan yang cukup kuat dari beberapa kalangan masyarakat.
Tidak hanya pada masa lalu, pasca reformasi wacana serta regulasi yang menyangkut keamanan negara yang kerap mengorbankan kepentingan publik dan hak-hak masyarakat masih terus terjadi. Misalnya saja operasi Densus 88 dalam menangkap terduga teroris. Angka kekerasan, pembunuhan dan penggunaan senjata api tanpa standard operational prosedur (SOP) terhadap terduga teroris yang semakin meningkat. Bahkan sampai hari ini tidak ada evaluasi terhadap SOP yang memberikan kewenangan kepada Densus 88 tersebut untuk melakukan pembunuhan terhadap terduga teroris. Salah satu kasus yang cukup kontroversial adalah peristiwa Sukoharjo, 14 Mei 2011, dalam peristiwa tersebut satu warga sipil meninggal dunia, yakni Nur Iman, pedagang angkringan. Jangan sampai kewenangan ini disalahgunakan dan pada akhirnya merusak ruang kebebasan sipil politik masyarakat.
Harus diakui bahwa hak-hak ekslusif negara dalam perumusan dan penyelenggaraan kebijakan keamanan nasional itu kerapkali melupakan tuntutan keterbukaan dan terutama pertanggungjawaban mereka terhadap masyarakat. Dengan mengatasnamakan tugas, mereka sebagai aparat negara, mereka yang bertugas untuk mewujudkan keamanan nasional sering melupakan kewajiban yang paling utama yaitu, melindungi masyarakat sebagai warganegara. Atas nama keamanan nasional, negara bisa menjadi horror bagi ketenangan hidup warganegara. Persoalan ini yang kemudian menjadi tidak mudah untuk menerima rumusan RUU Kamnas yang kini sudah berada di tangan DPR.
Tampaknya, mereka lupa ada ancaman yang lebih besar tengah beroperasi dan menguras segala resources dan berusaha merebut kedaulatan bangsa ini dengan lembut, tanpa perlu melakukan invasi militer besar-besaran. Kekuatan asing ini tidak perlu lagi menggunakan kekerasan, namun mereka melakukannya melalui MIDLIFES (Militer, Ideologi, Demografi, Legal, Informasi, Finansial, Economi dan Sosial) dimana penggunaan kekerasan, penculikan, pembunuhan merupakan cara orthodox conventional tidak dilakukan di Indonesia. Jadi hanya kelompok post power syndrome yang berusaha memaksakan RUU Kamnas ini disahkan.
Kita semua punya tanggung jawab untuk menjaga jangan sampai Indonesia menjadi negara yang menebar ketakutan (Draconian States) bagi rakyatnya sendiri, seperti sejarah masa lalu. Oleh karena itu, seluruh proses maupun kebijakan yang sudah berjalan di Indonesia harus senantiasa dijaga agar tetap berada dalam koridor yang benar. Namun rasanya hal tersebut sulit terwujud karena, akuntabilitas dan Keamanan memiliki hubungan problimatik. Keamanan seringkali mendesak negara untuk melakukan sekuritisasi menggunakan instrumen clandestine, coercive untuk menyelesaikan berbagai masalah. Hal ini tentu saja bisa menjadi ancaman terhadap nilai prinsip dan kaidah penyelenggaraan sistem pemerintahan yang baik. Karena tanpa keterbukaan, kebijakan keamanan dapat membidani lahirnya negara otoritarian.
Sudah terlalu sering sejarah mencatat bahwa kepentingan negara kerap kali tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat. Tidak terkecuali dalam hal mengelola keamanan nasional. Negara beralasan kemanan nasional dibutuhkan untuk menjaga negara dari ancaman negara lain. Keamanan nasional juga diklaim untuk menciptakan ketertiban sosial. Pada sisi yang lain, masyarakat dihadapkan pada sejumlah ancaman yang akan timbul dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh negara itu sendiri.
Maka tidak mengherankan jika terjadi pertentangan yang cukup tajam antara kemanan negara dan keamanan masyarakat. Karena kemanan negara seringkali mengorbankan keamanan masyarakat. Yang menjadi pertanyaan penting adalah bagaimana negara dan masyarakat bisa merumuskan RUU Keamanan Nasional yang tidak saling mengorbankan. Karena kebutuhan menciptakan keamanan negara tidak dapat menjadi alasan untuk membatasi hak-hak dasar masyarakat sebagai warganegara (non-derogable rights).Tanpa menjujung tinggi hak-hak dasar masyarakat, maka penyelenggaraan kemanan nasional yang dirumuskan dalam RUU Kamnas hanya akan menjadikan negara sebagai kekuatan yang berpotensi menindas masyarakat atau dengan kata lain menciptakan “Draconian States”.*
Penulis adalah Executive Director An Nasr Institute Director An Nasr Institute