oleh: Imroatus Sholihah, SSi
Ide dasar neoliberalisme pada hakikatnya menjunjung tinggi kebebasan dan kekuasaan pasar dan menganggap intervensi pemerintah atau tuntutan publik sebagai tindakan yang tidak relevan. Konsep ini mengklaim bahwa ekonomi yang mengedepankan kebebasan pasar dapat menciptakan keseimbangan secara otomatis, sehingga akan menciptakan kemakmuran, kedinamisan, kesempatan, dan kompetisi.
Namun pada realitasnya, ekonomi neoliberal tidak pernah mampu berjalan sesuai dengan ide dasarnya. Pasar dan lembaga finansial secara keseluruhan tidak bisa berjalan sendiri tanpa intervensi negara, tanpa batasan-batasan yang ditetapkan, tanpa regulasi, dan tanpa monitoring dan manajemen oleh negara. Pada saat pasar berjalan normal dan sehat, para pelaku pasar tidak ingin ada campur tangan dari pemerintah. Akan tetapi ketika collaps, pemerintah dan publik harus ikut menanggung kebangkrutannya. Kenyataan ini secara meyakinkan telah menunjukkan paradoksalitas sebuah ekonomi neoliberal.
Krisis dan Konsekuensi Neoliberalisme
Sesungguhnya neoliberalisme tidak pernah menuju tujuan yang dicitakannya, bahkan justru menuju kegagalannya dalam menciptakan keseimbangan dan kemakmuran. Praktik konsep ekonomi ini telah memicu keserakahan hingga menyebabkan berbagai krisis dan kemerosotan ekonomi di berbagai belahan dunia, seperti kehancuran bursa saham Wall Street pada 1929 (dikenal dengan Great Depression atau Depresi Hebat), krisis moneter Asia pada 1997, dan krisis ekonomi global yang terjadi sekarang ini yang tercetus dari ambruknya Lehman Brothers Holding Inc., sebuah bank investasi terbesar keempat Amerika Serikat. Kelumpuhan ekonomi AS yang berefek domino ke hampir semua negara, membuat ekonomi global mengalami terjun bebas dan sulit bangkit kembali.
Banyak pakar yang menilai bahwa kondisi ekonomi sekarang ini adalah yang terburuk sejak masa Depresi Besar pada 1930-an, dan berpotensi menjadi Depresi Hebat jilid II.
Saat terjadi krisis akibat keguncangan pasar finansial, semua negara serentak melakukan intervensi secara masif untuk menyelamatkan perekonomiannya. Langkah utama yang dilakukan adalah menginjeksikan dana untuk menormalkan kembali likuiditas bank dan lembaga keuangan (bailout), di samping intervensi di pasar modal (dengan membeli bermacam surat berharga yang telah kehilangan nilai secara drastis dan melampaui batas toleransinya) dan penurunan suku bunga untuk menggenjot kembali kredit yang diharapkan akan menggerakkan kegiatan ekonomi sektor riil.
Tentu saja langkah penyelamatan tersebut harus dibayar mahal oleh setiap negara. Indonesia, akibat krisis moneter yang melanda Asia pada 1997, uang rakyat tersedot hingga Rp 600 triliun melalui BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) untuk mengembalikan likuiditas perbankan yang terdampak krisis. Dan yang masih menjadi kasus hangat saat ini, bailout terhadap Bank Century yang menelan uang negara hingga Rp 6,7 triliun.
Adanya berbagai skandal yang hampir selalu mengiringi kebijakan bailout telah menyingkap satu lagi wajah buruk ekonomi neoliberal. Sudah menjadi ciri utama negara-negara kapitalistik yang menerapkan ekonomi liberal, bahwa lobi-lobi para pemilik modal terhadap para pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum sangat menonjol.
Neoliberalisme telah menyederhanakan makna politik dari tanggung jawab terhadap urusan dan problematika rakyat/publik menjadi sekedar apa yang ditentukan oleh pasar dan pengusaha.
Sejak lengsernya rezim Soeharto hingga kendali pemerintahan berada di tangan Presiden SBY kini, pemerintah dan aparat penegak hukum belum berhasil mengusut tuntas kasus skandal BLBI. Hak interpelasi DPR tentang penyelesaian kasus BLBI menguap di tengah perjalanan tanpa membuahkan hasil. Kasus dianggap selesai hanya dengan membuikan Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani.
Belum usai kasus BLBI, kini perhatian publik tersita pada kasus Bank Century. Tidak ingin kecolongan lagi, DPR pun membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Century. Berbagai temuan Pansus ini mengindikasikan adanya praktik korupsi, pencucian uang, kejahatan perbankan, dan tindak pidana umum pada kasus bailout Century, yang menguatkan dugaan bahwa kebijakan bailout terhadap bank Century merupakan sebuah rekayasa dan kejahatan besar yang terencana. Tidak adanya argumentasi kuat tentang potensi dampak sistemik dari bangkrutnya Bank Century dan mengapa Bank Century harus “diselamatkan,” kian menegaskan hal itu.
Sementara di AS yang notabene menjadi kiblat kebebasan ekonomi, Kongres memperbolehkan pengucuran dana hingga USD 700 miliar untuk membeli utang kredit perumahan macet (toxic debt) secara bertahap dan memperbolehkan Federal Deposit Insurance Corp. (FDIC, Lembaga Penjamin Simpanan) meminjam dana talangan sebesar apapun kepada Departemen Keuangan AS jika dibutuhkan. Padahal, pemberian paket bailout sebenarnya bukanlah ciri liberalisme. Dan hingga kini, kebijakan bailout tidak efektif untuk mengatasi krisis keuangan dan tidak manjur untuk menyembuhkan akar permasalahan krisis di AS.
Baru-baru ini pemerintah AS memperkuat regulasi pasarnya melalui Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (SEC) untuk mewaspadai tidak terulangnya berbagai kasus kejahatan keuangan. SEC makin memperketat pengawasan terhadap pasar, setelah terungkapnya berbagai kejahatan keuangan, seperti kasus penipuan dengan modus ponzi oleh Bernard Madoff senilai USD 65 miliar dan Allen Stanford senilai USD 7 miliar. Jelas, fakta ini bukanlah sekedar –yang menurut Kongres AS disebut sebagai, “sisi gelap” pasar keuangan, akan tetapi lebih dari itu, kejahatan keuangan adalah sebuah konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi liberal yang berorientasi pada kebebasan pasar.
Dan meski kondisi hukum di Indonesia dan di AS tidak sama, namun ternyata ada satu skandal sejenis yang terjadi, yakni kurangnya bukti atas tuntutan jaksa dan masih lemahnya penegak hukum dalam menindak para pelaku kejahatan keuangan.
Kesalahan Logika
Gagasan neoliberalisme tentang kedaulatan tidak sekedar bidang ekonomi, tetapi juga kehidupan sosial, politik, hukum, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Semua dibiarkan bebas mengikuti mekanisme pasar. Implikasinya kemudian adalah, privatisasi usaha-usaha industri yang dimiliki dan dikelola pemerintah dan lembaga-lembaga yang memberi layanan publik. Dalilnya adalah untuk menghindari korupsi, menciptakan iklim kompetisi yang sehat, mendatangkan investasi, dan membangun infrastruktur.
Aroma neolibelisme di negeri ini sangat kental, terbukti dengan masifnya privatisasi atas bermacam perusahaaan dan aset penting negara. Liberalisasi pasar telah kelewat batas dan keterlaluan, hingga mengabaikan konstitusinya sendiri yang mengamanatkan bahwa cabang cabang ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Semua wilayah kehidupan dijadikan sebagai komoditas dan sumber laba. Akhirnya logika pasarlah yang berjaya di atas kehidupan publik. Negara memberikan layanan publik menggunakan prinsip untung-rugi, dalam hal ini untung rugi ekonomi bagi pemerintah. Kepentingan rakyat akhirnya menjadi korban.
Marjinalisasi kepentingan rakyat akan lebih “ekstrem” terjadi saat krisis melanda. Dengan dalih pembengkakan defisit APBN dan harus menanggung mahalnya ongkos krisis, pelayanan publik semakin dikurangi dengan berbagai pemotongan pengeluaran, pemotongan biaya-biaya publik seperti subsidi, serta minimalisasi fasilitas-fasilitas untuk kesejahteraan publik. Sementara di saat yang sama, pajak dikeruk sebesar-besarnya dari rakyat. Makna “krisis” terdistorsi hanya untuk kegagalan pasar finansial, sementara kegagalan pelayanan publik tidak dianggap sebagai krisis oleh pemerintah yang harus secara serius dan cepat ditangani. Padahal dampaknya lebih besar dan luas daripada krisis pasar finansial.
Semestinya pemerintah dan bangsa ini meninjau kembali berbagai instrumen kebijakan dan sistem ekonomi liberal yang telah dipakai selama ini. Jika tidak, kita akan tetap berkutat pada masalah krisis yang terus berulang, buruknya pelayanan publik, diabaikannya kepentingan rakyat, serta berbagai skandal hukum dan keuangan jika kita tetap mempertahankan sistem neoliberalisme yang busuk ini.
Penulis adalah Koordinator Aliansi Penulis Ideologis (IdeAll) Jakarta. email: [email protected]. Artikel ini dimuat di hidayatullah.com