Oleh: Jimmi Syah Putra Ginting
ISTILAH kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup. Pada umumnya etika dan nilai moral yang terkandung dalam kearifan lokal diajarkan turun-temurun, diwariskan dari generasi ke generasi melalui sastra lisan (antara lain dalam bentuk pepatah dan peribahasa, adat istiadat maupun cerita rakyat), dan manuskrip. Walaupun ada upaya pewarisan kearifan lokal dari generasi ke generasi, tidak ada jaminan bahwa kearifan lokal akan tetap kukuh menghadapi globalisasi yang menawarkan gaya hidup yang makin pragmatis dan konsumtif.
Kalau kita berbicara Minangkabau, maka kearifan lokal di ranah minang adalah nilai-nilai yang terkandung dalam filosofi: “Adaik Basandi Syara’ , Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ Mangato Adaik Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru.”
Eksistensi kearifan lokal dan menggeliatkan investasi yang sedang lesu menarik untuk dicermati, berkaca dari polemik pendirian ‘Super Blok Lippo Group’ di Padang yang sempat jadi kontroversi.
Sebagai ibukota Provinsi Sumatera Barat, Kota Padang belakangan ini menjadi buah bibir, seputar investasi senilai 1,3 Triliun. Ia dibicarakan oleh banyak orang karena suatu peristiwa penting yang dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 2013 yang lalu, yaitu peletakan batu pertama proyek Super Blok Lippo Group yang meliputi : (1) Rumah sakit Internasional “Siloam” , (2) Hotel Aryaduta , (3) Sekolah Pelita Harapan, (4) Pusat perdagangan (mall).
Masuknya Lippo Group, menurut Fauzi Bahar (Wali Kota Padang) tidak saja sekedar meningkatkan perekonomian daerah dan masyarakat sekitar. Lebih dari itu, dapat memulihkan rasa percaya diri kota Bingkuang ini sebagai salah satu kota besar yang diperhitungkan dalam kancah perekonomian dan pembangunan nasional.
Di satu sisi keinginan kuat dari Wako ini patut diapresiasi karena telah berupaya mendorong investasi masuk ke Padang. Bahkan investasi tersebut diperkirakan akan menyerap sekitar 3.000 orang tenaga kerja. Namun di sisi yang lain, belum lama setelah peletakan batu pertama dilakukan, muncul polemik di tengah-tengah masyarakat.
Forum pimpinan Organisasi Masyarakat (Ormas) Sumatera Barat yang terdiri dari : LKAAM Sumbar, Bundo Kanduang Sumbar, MUI Sumbar, PW Muhammadiyah Sumbar, PW Nahdhatul Ulama Sumbar, Persatuan Tarbiyah Islamiyah Islamiyah Sumbar, Perwana Sumbar, Panji Alam Minangkabau (PAM), Pimpinan Wilayah Aisyiyah Sumbar, LKAM Kota Padang, MUI Kota Padang, Bundo Kanduang Kota Padang, Dewan Da’wah Sumbar, Perti Sumbar, LDII Sumbar, Gerakan Muslimin Minangkabau (GMM) Sumbar, Libas, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Komite Penegak Syari’at Islam (KPSI), Paga Nagari, Front Masyarakat Pembela Islam (FMPI), HTI dalam pertemuan di kantor LKAM Sumbar tanggal 18 Mei 2013 menegaskan bahwa Sumatera Barat adalah Provinsi yang mempunyai filosofi “Adaik Syara’ , Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ mangato adaik mamakai, Alam takambang jadi guru” (ABS SBK-SMAM-ATJG), dengan alasan itu, masyarakatnya menolak kegiatan misionaris dan kristenisasi melalui berbagai kepentingan, seperti pembangunan rumah sakit, Sekolah, Hotel, Pusat perbelanjaan (Mall), Panti dan sejenisnya.
Pasca itu, pada tanggal 3 Juni 2013, rapat bersama MUI Sumbar dengan LKAAM dan Ormas Islam Sumbar yang bertempat di Aula Masjid Nurul Iman Padang, dalam hal menyikapi Pembangunan Super Blok Lippo/Siloam oleh Lippo Group di Jalan Khatib Sulaiman, menyimpulkan.
Pertama, bahwa sangat dikhawatirkan bahwa proyek pembangunan Super Blok Lippo/Siloam oleh Lippo Group tersebut membawa misi terselubung yang akan berdampak negatif terhadap akidah umat Islam di Sumatera Barat dan berpotensi merusak nilai-nilai Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ mangato Adat mamakai yang menjadi titik tolak pembangunan Sumatera Barat.
Kedua, membina, membentengi dan menyelamatkan akidah umat adalah tugas utama dan tugas bersama Pemerintah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) , LKAAM, dan Ormas-ormas Islam.
Ketiga, menolak pembangunan Super Blok Lippo/Siloam di jalan Khatib Sulaiman Padang oleh Lippo Group pimpinan James T. Riadi, dan meminta Pemerintah dan DPRD Padang untuk membatalkan izin pembangunan Super Blok Lippo/Siloam tersebut.
Dalam sebuah diskusi bersama Pimpinan Organisasi Mahasiswa intra dan Ekstra kampus yang difasilitasi KAMMI dan PII, Buya Gusrizal Gazahar (Ketua Bidang Fatwa MUI Sumbar) mengungkapkan secara komprehensif berbagai pertimbangan, mengapa Super Blok Lippo Group harus dihentikan dan ditolak oleh orang Minang (termasuk Mahasiswa) di Padang di Perantauan, karena;
1. Dari sisi akidah, investasi dinilai ada selubung pemurtadan.
2. Dari aspek ekonomi, Di Padang tidak ada kebutuhan terhadap jenis investasi seperti ini, baik dalam bentuk mall, hotel, rumah sakit, dan sekolah kristen. Kondisi usaha/bisnis sejenis di kota Padang dalam kondisi tidak menguntungkan.
Berdasarkan data yang terhimpun, penduduk kota Padang yang hanya berjumlah sekitar 800 ribu jiwa dengan jumlah rumah sakit Pemerintah dan swasta sebanyak 25 buah dan memiliki tempat tidur sekitar 1.500 unit, tidak lagi sebanding.
Saat ini beberapa rumah sakit di kota Padang ini tingkat keterhuniaannya sangat rendah sekitar 50-60 persen. Diperparah lagi dengan beberapa rumah sakit swasta tingkat huniannya di bawah 50 persen. Untuk rumah sakit yang ada saja, sudah sangat kompetitif. Apalagi dengan datangnya rumah sakit Siloam.Yang merupakan rumah sakit besar di Indonesia, tentunya akan melumpuhkan rumah sakit Lokal secara perlahan-lahan. Demikian juga dengan jumlah fasilitas sekolah kristen di kota Padang, sudah lebih dari cukup. Jadi untuk apa lagi mendirikan sekolah kristen?
3. Dari sisi hukum, tidak mengindahkan Perda Rencana tata ruang dan Wilayah (RTRW) kota Padang tahun 2012. Bahwasanya lokasi tersebut diperuntukkan sebagai kawasan pengembangan perkantoran Provinsi Sumatera Barat. Bahkan ketika dialog di Polda Sumbar (11/9/2013), dikatakan bahwa Amdal-nya baru diurus padahal proyek ini sudah sekian bulan ditekan tombol peletakan batu pertamanya.
4. Dari sisi sosial budaya, bertolak belakang dengan ABS-SBK-SMAM (Adat Basandi Syara’ , Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ Mangato Adat mamakai).
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sumbar dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar juga akan ikut melakukan pengawalan terhadap penolakan Pembangunan RS. Siloam dan Super Blok Lippo. Hal ini diungkapkan dalam diskusi di sekretariat Walhi, Jalan Beringin III (3/10/2013).
Bahkan, Walhi dan PBHI akan menelusuri lebih dalam lagi terhadap adanya dugaan penyalahgunaan dan pelanggaran RT/RW, dan juga izin bangunan. Karena menurut PBHI, Fauzi Bahar telah melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang izin pendirian bangunan.
Penulis menilai, kejadian penting dari proyek ini bisa membuka mata kita akan peran masing-masing pihak (Pemerintah, Ulama, Ninik Mamak, Ormas, Mahasiswa) ,bahwasanya Ranah Minang, khususnya Kota Padang yang sering disebut-sebut dengan “Kota Padang Kota Tercinta, Kujaga Dan Kubela” sedang dalam dilema. Keresahan masyarakat yang sedang secara perlahan meningkat ini bisa berujung pada konflik di tengah masyarakat kalau tidak segera ditangani dengan kebijaksanaan.
Memang tidak bisa diingkari, kini sosok seperti Buya Hamka, Buya M. Natsir, M.Hatta, dan sederet tokoh bersinar masa lalu sudah tiada. Namun kita sangat yakin semuanya menginginkan Minangkabau maju dan terus jaya.
Momentum Pilkada
Sebuah pertanyaan mungkin ada dalam benak banyak orang, salahkah James T. Riadi menanamkan investasi di Padang? Menurut penulis, sebagai pengusaha ia tidak salah. Tapi fakta sosialnya justru lain.
Kurang bijaksana kalau membiarkan polemik berlarut-larut. Apalagi di masyarakat terlihat penolakan dari hari ke hari semakin mengkristal.
Artinya dapat dipahami, masyarakat tidak menerima hadirnya proyek tersebut. Mungkin kalau James T. Riadi punya pertimbangan lain, sungguh bijak jika James T. Riadi sendiri yang datang ke Padang dan menjelaskan secara konfrehensif perihal Super Blok Lippo Group kepada para ulama, Ninik Mamak, Bundo Kanduang, LSM, Mahasiswa.
Minangkabau yang dengan kearifan lokalnya tidak menutup investasi yang datang, namun pasti anti terhadap segala bentuk upaya pendangkalan nilai-nilai kearifan lokal yang dimilikinya. Nah, di sinilah perlunya James. T. Riadi bijak menyikapinya.
Bagaimanapun, nilai-nilai kearifan lokal sebagai aset berharga dan harus dijaga. Dengan demikian, ke depan tidak akan ada lagi polemik seperti Siloam.
Kalau tidak dijaga bisa saja kelak Minangkabau akan tersisihkan dan dipinggirkan seperti suku Indian (tentu saja ini bukan doa, dan semoga saja tidak).
Mereka diperkirakan telah menghuni Amerika Utara sejak 20.000 tahun yang lalu, berabad-abad mereka menata masyarakat teratur. Namun pada abad-16 orang Eropa tiba Amerika Utara. Orang yang datang ini menginginkan tanah dan menguasai ekonomi. Akhirnya dengan sangat menyedihkan sekitar abad-19 suku Indian ini digusur dan ditempatkan pada satu daerah khusus, yang tentu saja memilukan bagi mereka.*
Penulis adalah Ketua Umum KAMMI Sumbar