Oleh: Ilham Kadir
NIK Abdul Aziz bin Nik Mat, yang akrab dipanggil Tuan Guru, dilahirkan pada tahun 1931 di kampung Pulau Melaka, Kota Bharu Kelantan, Darul-Naim. Pendidikan awal ia dapat dari Madrasah Ittifaqiyah Jertih, Terengganu. Setelah selesai pendidikan tingkat menengah, tahun 1952 ia lanjut kuliah di Deoband Darul Ulum India, Fakultas Islamic Study, lalu ke Universitas Lahore Pakistan tahun 1957. Belum puas, ia melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir, dan meraih gelar diploma, lalu magister Syariah Islamiyah pada tahun 1962.
Ulama yang menguasai bahasa Arab, Inggris, Tamil, Urdu, Siam, hingga China ini telah tutup usia pada 12 Februari 2015. Karena itu, demi mengenang kiprah Tuan Guru sebagai politisi tulen dan ulama sejati, maka, saya kembali mengangkat kisah hidupnya. Ini adalah tulisan kedua di Tribun Timur. Tulisan pertama saya tentang beliau adalah “Jika Ulama Jadi Umara”, (TRIBUN TIMUR. 18/01/2013).
Karena sudah banyak yang menulis kiprah Tuan Guru dalam sisi politik yang bernuansa politis, maka fokus saya mengungkap sisi keilmuan beliau yang memang saya kenal sebagai ulama. Seorang ulama memiliki beberapa kriteria, selain menjadi contoh dalam ketakwaan, ia juga harus menampakkan keilmuannya dengan mengajar dan menulis.
Semua kritaria tersebut ada pada Tuan Guru, bahkan selama menjabat sebagai pengarah partai oposisi terbesar di Malaysia, Partai Islam Semalaysia (PAS) dan juga sebagai Menteri Besar (Gubernur) Kelantan selama 20 tahun lebih, ia tetap mengajar. Bahkan halaqah ilmiah bulanannya, pada awalnya hanya dihadiri 40 jamaah, berkat kesabaran, keuletan, dan keilmuan yang dimilikinya, menjelma menjadi sebuah jamaah cukup banyak, 40 ribu lebih. Mereka datang bukan ingin mendengar ceramah politik, sebagaimana yang terjadi pada pemimpin politik, akan tetapi untuk meneguk lautan ilmu dari Tuan Guru.
Selain mengajar, Tuan Guru, sebagai ulama muktabar, sangat produktif, menulis ragam disiplin keilmuan, seperti, Tafsir, Hadis, Tasawuf, Sejarah, Fikih, Tauhid, dll. Beliau juga seorang kolumnis dalam Tabloid “Harakah Daily” yang terbit mingguan dan berfungsi sebaga corong informasi aliansi oposisi Malaysia. Tulisannya yang berjumlah ratusan episode itu telah dibukukan menjadi dua jilid, salah satunya, “Sirah Nabawiyah: Insan Teladan Sepanjang Zaman, Kuala Lumpur, 2004”, dalam kata pengantar pengarang, Tuan Guru menulis, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk menjadi panduan bagi umatnya.
Bagaimanapun, manusia tidak memiliki kemampuan menafsirkan kandungan Al-Qur’an–jika tidak didukung dengan ilmu-ilmu tafsir. Antara tujuan mempelajari sirah Nabi Muhammad adalah agar mendapat dukungan besar untuk memahami Kitab Allah dan mengecapi ruh Al-Qur’an. Selain itu, ia menjadi media untuk mengumpulkan sebanyak mungkin sumber informasi dan pengajaran Islam, baik yang berhubungan dengan akidah, hukum syariat, atau yang berhubungan dengan akhlak yang menjadi budaya asli dalam kehidupan manusia untuk selamanya.
Tidak mungkin–lanjut Tuan Guru–kesejahteraan masyarakat akan terwujud jika tidak beriman kepada Allah dan hari kiamat. Amar ma’ruf nahi mungkar semestinya dilakukan, dan semua itu tidak sempurna jika akhlak yang baik tidak terwujud.
Tuan Guru melalui Partai Islam Semalaysia berusaha menerapkan syariat Islam secara totalitas, namun sayang, karena penerapan Syariat adalah wewenang pemerintah Pusat Malaysia yang dikuasai Barisan Nasional yang beraliran nasionalis, maka syariat Islam di Kelantan, khususnya masalah jinayah (hudud), belum terlaksana.
Namun, perjuangan Tuan Guru terus berlanjut. Bahkan, dalam tulisan-tulisannya, kerap kali membesarkan hati pengikutnya dengan mengangkat kisah-kisah inspiratif. Misalnya, ketika Rasulullah dan para sahabatnya di Makkah terus-menerus dikejar, disiksa, dan dibunuh. Justru Nabi memberi semangat bahwa, suatu saat, umat Islam akan menaklukkan peradaban besar yang sedang menjadi adikuasa, Persia dan Romawi.
Padahal, secara realitas, Persia yang beragama Majusi dan penyembah api itu adalah negara raksasa yang kerap mengalahkan Romawi yang beragama Kristen dalam peperangan, begitupula sebaliknya. Sedangkan Islam, saat itu hanya memiliki beberapa pengikut yang tidak diperhitungkan, jangankan Persia dan Romawi, penduduk Makkah sekalipun.
Dan, kebenaran sabda Nabi kelak terbukti, walau harus menunggu 30 tahun setelah ia wafat. Karena itu, lanjut Tuan Guru, tantangan dan rintangan dalam berdakwah dan menegakkan syariat haruslah dilihat kecil, karena tak seberapa dibanding cobaan di zaman Nabi.
Menurut ulama zuhud ini, penaklukan Persia, selain menggunakan kekuatan taktik dan militer Islam, kekalahan Persia dipermudah dengan adanya konflik internal negara raksasa itu, berupa perebutan kekuasaan antara ayah sebagai raja dan anak sebagai putra mahkota. Sang raja mati dibunuh putranya, dan sang anak, juga mati karena perangkap racun yang telah dipasang oleh ayahnya. Kedunya mati karena rakus kekuasaan.* (bersambung)
Penulis alumni terbaik Fakultas Tafsir Arabic-Islamic College of Al-Ihsaniyah, 2005, Penang-Malaysia