Oleh: AZ Makarim
BERITA eksekusi mati Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia bernama Siti Zainab oleh pemerintah kerajaan Arab Saudi Selasa pagi, 14 April 2015 rupanya membuat banyak orang berang.
SIkap reaktif dating dari berbagai kalangan. Sebagian meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak lagi mengirim TKI/TKW ke Arab Saudi.
Bahkan media Kompas edisi online Rabu, 15 April 2015, memberi judul cukup menohok, “16 Tahun Memohon Ampun, TKI Siti Zaenab Dieksekusi Mati di Arab Saudi”.
Dalam kesimpulan berita Kompas, dikesankan pemerintah sudah berusaha memohon ampunan bagi Zainab. Bahkan kepada para ulama Saudi dan Ketua Lembaga Pemaafan Madinah. Bahkan tawaran diyat sebesar 600.000 riyal kepada ahli waris pun sudah disampaikan. Namun, semua upaya itu tak membuahkan hasil karena ahli waris korban tetap tak mau memaafkan Siti Zaenab.
Mungkin, Kompas ingin memberi pesan, Saudi, Negara dengan syariat Islam tidak manusiawi (termasuk ulamanya). Bayangkan, orang sudah memohon ampunan selama 16 tahun toh dipancung juga.
Tak terkecuali Kompas, kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga bereaksi. Direktur Migrant Care, Anis Hidayah melontarkan pernyataan menohok dalam unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Arab Saudi untuk di Indonesia di Jakarta.
Menanggapi hukuman mati yang diberikan Arab Saudi kepada dua TKI, Anis bertanya apakah masih penting umrah ke Arab Saudi?
“Saya ingin mengatakan, apakah masih dianggap penting umrah ke sana dalam situasi ini,” ujar Anis saat berorasi, Jakarta, Jumat (17/04/2015).
Anis mengaku pernyataannya itu bukan untuk mengajak agar Warga Negara Indonesia (WNI) tidak berangkat umrah ke Arab Saudi.
Namun menariknya, ketika saya cari-cari kliping media tentang pembunuhan keji mutilasi WNI di Brisbane, Mayang Prasetyo dan pembunuhan dua wanita Indonesia di Hong Kong, Seneng Mujiasih dan Sumarti Ningsih oleh bankir asal Inggris Rurik George Caton Jutting, tak banyak LSM bersuara.
Lagipula, ajakan tidak umrah justru akan membuat marah umat Islam di Indonesia. Sebab antara hukuman mati dan ibadah umrah adalah dua hal yang berbeda.
Seperti diketahu, Siti Zainab (47) dipidana atas kasus pembunuhan terhadap istri dari pengguna jasanya yang bernama Nourah Bt. Abdullah Duhem Al Maruba pada tahun 1999. Dia kemudian ditahan di Penjara Umum Madinah sejak 5 Oktober 1999.
Melalui rangkaian proses hukum, 8 Januari 2001, Pengadilan Madinah menjatuhkan vonis hukuman mati (qishash) kepada Siti Zainab. Dengan jatuhnya keputusan qishash tersebut maka pemaafan hanya bisa diberikan oleh ahli waris korban.
Tapi pelaksanaan hukuman mati ditunda guna menunggu Walid bin Abdullah bin Muhsin Al Ahmadi, putra bungsu korban, mencapai usia akil balig. Tepat tahun 2013, setelah Walid bin Abdullah bin Muhsin Al Ahmadi dinyatakan akil balig, ia menolak memberikan maaf pada Siti Zainab. Akibatnya, putusan hukuman mati tetap dilaksanakan.
Berbagai upaya sudah dilakukan guna membebaskan wanita kelahiran Bangkalan, 12 Maret 1948 itu oleh pemerintah Indonesia.
Termasuk upaya diplomatic dilakukan tiga Presiden RI yakni Abdurrahman Wahid (2000), Susilo Bambang Yudhoyono (2011), dan Joko Widodo (2015). Semua presiden RI ini mengirimkan surat resmi kepada Raja Saudi yang berisi permohonan agar Raja Arab Saudi memberikan pemafaan kepada WNI tersebut.
Pemerintah juga memohon ampun bagi Zainab kepada para ulama Saudi dan Ketua Lembaga Pemaafan Madinah. Juga diyat sebesar 600.000 riyal kepada ahli waris. Toh hasilnya tetap tak membuahkan hasil karena ahli waris korban tetap tak mau memaafkan Siti Zaenab. Itulah keputusan pengadilan Negara Saudi.
Kasus Brazil dan Australia
Sebagai warga Negara Indonesia, kita patut menghormati keputusan hukum Negara lain. Sebab kita juga memiliki hukum sendiri yang juga meminta orang luar menghormati hukum kita.
Lagi pula, tidak ada aturan tertulis yang menyebutkan bahwa jika ada eksekusi hukuman mati terhadap warga negara lain di suatu negara, harus menginformasikan kepada negara asal warga yang akan dihukum tersebut.
Perlakuan Zenab oleh pengadilan Saudi mengingatkan kita terhadap keputusan pemerintah RI menghukum mati Bandar narkoba asal asal Brasil, Rodrigo Gularte dan warga negara Australia anggota sindikat narkoba “Bali Nine”, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.
Bali Nine merupakan sebutan untuk sembilan warga negara Australia yang berusaha menyelundupkan heroin 8,2 kilogram dari Australia. Mereka ditangkap pada 17 April 2005 di Bali.
Kasus ini membuat beberapa pemimpin Negara asing berang bahkan melakukan lobi-lobi politik. Australia mengancam akan mengambil respon diplomatik yang cukup keras jika eksekusi ini tetap berlanjut.
Dalam wawancara dengan Sky News, Ahad (15/2/2015), Perdana Menteri Australia, Tony Abbott mengatakan, eksekusi ini mungkin saja bisa membuat hubungan Indonesia dan Australia kembali keruh. Dirinya juga mengatakan, warga Australia sudah muak dengan eksekusi mati yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Di sisi lain, Presiden Prancis Francois Hollande dan PM Belanda Mark Rutte juga terys menghubungi Jokowi untuk membatalkan keputusan Indonesia menghukum mati.
Namun apa kata Jokowi?
’’Sekali lagi, jangan ada yang intervensi eksekusi mati. Bagi negara lain, ini adalah kedaulatan hukum dan politik Indonesia,’’ demikian tegas Jokowi di kompleks Istana Presiden, Selasa (24/02/2015).
Dia menambahkan, Indonesia senantiasa berusaha menjaga hubungan baik dan bersahabat dengan negara mana pun. Namun, khusus soal hukuman mati terhadap para gembong narkoba, kebijakan pemerintah sudah tidak bisa diganggu gugat.
’’Ini kedaulatan hukum kita. Kedaulatan politik kita. Hukum positif kita ada mengenai hukuman mati ini,’’ ujar Jokowi.* (bersambung)… Raja Salman juga eksekusi mati anggota keluarga kerajaan..
Penulis adalah peminat masalah sosial keagamaan