MESKI Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthy telah meninggalkan kita, namun pemikiran beliau dan kajian mengenai pandapat beliau baik yang tertulis dalam buku beliau maupun yang dipublikasikan situs resmi ataupun dari nukilan media akan terus dikaji oleh para penuntut ilmu. Dan memang di sinilah salah satu perbedaan antara ulama dengan yang bukan, ulama tetap “hidup” mesti telah lama wafat.
Dengan demikian mengkaji validitas fatwa-fatwa yang dipublikasikan media yang dinisbatkan kepada Syeikh Said Ramadhan Al Buthy adalah hal yang lumrah dilakukan, bahkan penulis memandang hal ini amat perlu dilakukan. Tidak masalah jika media menukil fatwa dengan valid, masalahnya jika yang terjadi sebaliknya, sehingga ratusan ribu, atau jutaan pembacanya berpeluang jatuh dalam persepsi salah baik terhadap fatwa maupun muftinya. Inilah yang sudah terjadi berkenaan dengan Syeikh Al Buthy dan fatwa beliau.
***
Pemotongan Fatwa Al Arabiya
Pada 25 Juli 2011, Al Arabiya melansir dalam situsnya sebuah berita yang berjudul,”Pembakaran Kitab-Kitab Al Buthy di Dir Az Zour Pasca Fatwanya yang Membolehkan Sujud di Atas Gambar Al Assad”. Berita ini sendiri dikomentari 1171 komentar yang kebanyakan isinya adalah celaaan terhadap Syeikh Al Buthy. Hal ini menunjukkan bahwa berita yang dilansir Al Arabiya ini memperoleh perhatian besar dari para pembacanya. Bahkan situs-situs berita harian lainnya dalam mempublikasikan hal ini juga “copy-paste” dari situs yang disebut-sebut sebagai situs berita dunia Arab yang paling banyak dikunjungi versi ABC ini, hingga pemberitaannya semakin gencar dan meluas.
Dalam berita itu, Al Arabiya menulis,”Dr. Al Buthy Ketua Jurusan Akidah dan Agama-Agama dalam Fakultas Syari’ah di Universitas Damaskus telah memfatwakan shalat di atas gambar Basyar Al Assad dalam rangka menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya melalaui situs Nashim Al Sham. Dan Al Buthy menyatakan dalam fatwa yang bernomor 15449 dalam rangka menjawab pertanyaan seorang penanya dari wilayah Douma yang bertanya mengenai dosa yang diperoleh mereka, setelah pihak aparat memaksa mereka sujud di atas foto Basyar,’Anggap gambar Basyar sebagai alas…lalu sujudlah di atasnya’”.
Dari nukilan Al Arabiya itu, orang bisa jatuh pada kesimpulan bahwa Syeikh Al Buthy membolehkan atau memerintahkan sujud di atas gambar Al Assad secara mutlak.
Mari kita bandingkan nukilan fatwa oleh Al Arabiya itu dengan sumber aslinya, fatwa 15449 dalam situs Nashim Al Sham yang dikeluarkan pada 10 Juli 2011. Dalam fatwa yang berjudul Innama Al A’malu bi An Niyat (Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya) itu didahuli dengan pertanyaan,”Kami tinggal di wilayah Douma, pihak aparat belum menyerbu, sedangkan Syabihah wilayah ini memasuki rumah-rumah, termasuk rumah kami. Dan mereka memaksa kami untuk sujud kepada foto Presiden Basyar Al Assad. Sebagai informasi, kami tidak mengikuti demonstrasi apapun terhadap pemerintah karena takut pembunuhan. Dan kami telah bersujud untuk foto itu. Apakah kami berdosa dan apakah wajib bagi kami membayar kafarah. Dan untuk Anda, saya ucapkan terima kasih dan penghormatian. Dan kami meminta kepada Anda untuk mendoakan kami, agar Allah menjauhkan kesedihan dari kami dan dari Suriah yang kami cintai.”
Merespon pertanyaan itu, maka Syaikh Said Ramadhan Al Buthy menjawab,”Sebagai jawaban dari pertanyaanmu yang singkat itu, aku manyatakan kepadamu, anggaplah foto Basyar yang diletakkan di atas tanah sebagai alas, berdirilah di atasnya kemudian sujudlah di atasnya kepada Allah. Maka, Allah menulis untukmu pahala sujud kepada-Nya, sebagai ganti dari kekufuran”.
Nah, ketika membaca fatwa Syeikh Al Buthy secara lengkap maka kita bisa memperoleh kesimpulan bahwa selama sujud di atas foto Basyar Asad bukan untuk sujud kepada foto itu, namun hanya untuk alas dan sujud kepada Allah maka pelakunya memperoleh pahala sujud kepada Allah, namun jika tidak demikian, dalam artian sujud dilakukan kepada foto, bukan kepada Allah, maka hal itu adalah perbuatan kufur.
Fatwa lain Syeikh Al Buthy yang bernomor 24079 yang bertanggal 5 Oktober 2011 juga membahas masalah yang hampir serupa. Dalam fatwa yang berjudul,”Hukum Shalat di Atas Gambar” itu Syeikh Al Buthy menjawab,”Gambar yang menjadi bagian dari makhluk hidup seperti kepala atau anggota lainnya, dimana jika ia tidak hidup jika hakiki, maka hukumnya seperti hukum gambar makhluk yang tidak bernyawa, maka tidak mengapa. Dan shalat di atas alas atau sajadah yang ada gambar pohon atau sesuatu yang serupa hukumnya dengannya seperti ukiran atau bunga maka hukumnya khilaf al aula (lebih utama untuk ditinggalkan). Dan lebih utama sesuatu yang dijadikan alas shalat tidak terdapat bentuk maupun gambar, hingga orang yang shalat tidak tertuju pikirannya kepadanya (Imam Az Zarkasyi menyebutnya dalam I’lam As Sajid fi Ahkam Al Masajid).”
Kemudian Syeikh Al Buthy melanjutkan,”Dengan berpijak dengan hal itu, maka sesungguhnya yang menghadap Allah dengan shalat atau sujud, maka sesungguhnya shalatnya sah apapun keadaan alasnya ataupun baju yang dipakai, meski apa pun gambar atau bentuk di atasnya, selama shalatnya untuk Allah Azza wa Jalla. Bahkan kalau sekiranya ketika orang yang shalat dipaksa untuk sujud di atas alas yang ada foto seseorang, maka sujudnya kepada Allah benar dan memperoleh pahala atasnya.”
Jadi, ada beberapa masalah di sini, ketika seseorang itu shalat atau sujud kepada Allah, alas apapun yang dipakai maka hal itu tidak masalah, meski lebih utama menggunakan alas yang tidak bergambar. Namun ketika seseorang itu sujud tidak kepada Allah, namun kepada obyek yang dijadikan alas maka hal itu adalah kekufuran, sebagaimana dijelaskan dalam fatwa sebelumnya.
Bahkan Syeikh Al Buthy tidak cukup dengan fatwa yang ditujukan kepada mereka yang dipaksa. Setelah mengetahui adanya poster Basyar yang cukup lebar dan sekelompok pemuda diseru bersujud di atasnya beliau segera mendatangi Basyar Al Asad dengan membawa juga poster Basyar untuk menyampaikan pendangan beliau. Basyar Al Assad pun menyampaikan, bahwa ia tidak menyuruh melakukan itu. Syeikh Al Buthy pun menjawab,”Itu saja tidak cukup, harus ada pernyataan yang didengar rakyat dari lisan Anda”. Kisah pertemuan ini sendiri disampaikan Syeikh Al Buthy di Universitas Damaskus pada 21 atau 22 Juli 2011 dan disiarkan oleh Al Akhbariyah As Suriah.
Dalam hal ini, di saat tidak ada pihak yang berani dan maju mengingatkan Basyar, baik dari para ulama negara semisal mufti negara, mufti wilayah ataupun mereka yang berada di Kementerian Perwakafan atau ulama-ulama yang diluar lembaga negara, Syeikh Al Buthy yang maju mendatangi Basyar Al Assad untuk menyampaikan pendangannya.
Dan peristiwa itu sendiri tidak dilansir media besar semisal Al Arabiya ini meski terjadi beberapa hari sebelum pemberitaannya mengenai ,”Pembakaran Kitab-Kitab Al Buthy di Dir Az Zour Pasca Fatwanya yang Membolehkan Sujud di Atas Gambar Al Asad”, dengan fatwa yang telah dipotong itu.
Karena menjadi rujukan banyak orang, khususnya di dunia Arab, sikap Al Arabiya yang demikian mempengaruhi para pembacanya, hingga tidak heran jika banyak juga pembaca Timur Tengah yang masih mengira bahwa Syeikh Al Buthy sesat akidahnya, karena mereka memandang bahwa beliau memerintahkan atau membolehkan sujud untuk foto Basyar, bukan kepada Allah. Hingga setelah Syeikh Al Buthy dibunuh dengan keji pun berbagai macam celaan, makian dan tuduhan diluapkan untuk ditujukan kepada ulama sepuh ini meski beliau telah wafat.Hasbunallah wa Ni’mal Wakil…*
Penulis adalah ulumnus Fak. Syari’ah Al Azhar Mesir