Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Linda Langitshabrina
SALAH satu sisi lain munculnya tren hijabers, adalah kriteria hijab mulai terabaikan, yaitu bukan pakaian syuhrah atau pakaian kebanggaan. Padahal hadits mengatakan;
“Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memberinya pakaian hina pada hari kiamat.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan An Nasai dalam Sunan Al Kubra).
Penilaian tentang pakaian kebanggaan ini tentu sangat personal. Memang, orang yang memamerkan pakaian belum tentu berarti sedang membanggakan pakaian tersebut. Sebab kebanggaan adalah sesuatu yang bersifat abstrak dalam hati.
Boleh jadi, orang yang tidak memamerkan pakaiannya pun sedang bangga dengan pakaiannya justru karena dirinya tidak memamerkan pakaian tersebut. Namun, sebagai Muslimah yang mencari keutamaan dalam menutup aurat, menghindari pamer pakaian di media sosial tentu lebih utama untuk menjaga diri dan hati.
Pada waktu yang sama, artis-artis seperti Lira Virna, Peggy Melati Sukma, atau Oki Setiana Dewi tampil di depan publik dengan hijab syar’i yang gamis dan jilbabnya senada –bahan dan warnanya. Pasar langsung menangkap peluang komoditas hijab baru.
Model-model hijab gaya artis-artis ini mulai marak dengan jenis bahan yang berharga mahal sampai dengan berharga murah. Kembali, Muslimah dihadapkan pada citra-citra lama dengan bentuk yang baru. Seperti yang disebutkan pada beberapa bab sebelumnya, yang penting dalam mitos adalah pesannya bukan bentuknya.
Citra perempuan kelas atas pada hijab syar’i yang mirip dengan pakaian para artis menjadi mitos lama yang muncul dengan bentuk baru. Citra keshalihan ala perempuan kelas atas muncul dalam pakaian jenis ini.
Citra ini dipelihara dengan baik oleh produsen hijab syar’i ala artis. Hijab yang dirancang satu set berbahan jersey kualitas rendah pun beredar di pasaran. Gamis lebar tapi membentuk atau mencetak pada bagian tangan, paha, pantat, dan dada mulai marak digunakan Muslimah. Bagian kerudungnya lebar sampai menutup pantat tapi tidak menutup bentuk payudara pada bagian dada karena bahannya menempel di badan. Kerudung instan yang lebar tersebut bukannya menutupi aurat melainkan justru mengekspos aurat.
Oleh sebab itu, hijab syar’i bukan hanya harus diperhatikan bentuknya tapi juga bahannya. Menggunakan pakaian yang serba lebar memang berisiko gerah. Produsen hijab menyiasatinya dengan memilih bahan jersey yang menyerap keringat. Namun, ternyata pemilihan bahan ini justru melanggar aturan hijab. Rasa gerah ini adalah konsekuensi logis berhijab di negara beriklim tropis.
Sebagai wacana yang menggunakan aturan keagamaan, hijab style dan hijab syar’i berkembang di tataran nilai maupun produk.
Kekuatan hijab style yang telah menjadi mitos di kalangan Muslimah merupakan bagian yang tidak tersentuh oleh aktivis hijab syar’i yang terjun dalam pasar fashion ini. Mayoritas produsen hijab syar’i menghadirkan hijab-hijab lebar yang bentuknya mirip dengan hijab style. Penawaran yang digunakan untuk memasarkan produk-produk ini tetap tidak jauh berbeda dengan mitos hijab style yaitu cantik syar’i atau stylish nan syar’i.
Dua nilai ini jelas masih menguatkan mitos hijab style sebagai pemenuhan hasrat kecantikan dan hijab style sebagai mitos modernitas. Istilah hijab seolah sudah tidak mengakomodasi syariat yang diperintahkan Islam dalam berpakaian bagi perempuan. Ia harus diembeli kata style atau syar’i sebagai diferensiasi. Muslimah kembali tertipu dan menjadi korban gaya hidup konsumerisme yang disuntikkan pasar. Kekusaan pasar membuat hijab syar’i yang semula diharap-harap menjadi sebuah oase berubah menjadi fatamorgana. Hijab sebagai identitas ideologis kini hanya menjadi identitas berpakaian yang amat permukaan.*
Linda Langitshabrina, tertarik pada wacana hijab dan budaya populer di Indonesia. Twitter: @langitshabrina