Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Entah berapa ratus ribu atau bahkan juta mata yang menonton video viral berantai, bagaimana Habib Rizieq Shihab diperlakukan dengan tidak sewajarnya. Harkatnya sebagai manusia diruntuhkan.
Entah berapa ratus atau bahkan ribu orang yang lalu menitikkan air mata kesedihan melihat peristiwa yang mustahil itu pernah terjadi di negeri yang merdeka sudah lebih dari tujuh dekade.
Perlakuan sadistis yang dibalut hukum, itu sangat menjijikkan dalam pandangan keadaban dan kemanusiaan. Ketidakadilan dipertontonkan tanpa perasaan risih sedikitpun.
Sedang mengalami persoalan apa sebenarnya negeri ini, sehingga anak manusia satu ini dianggap musuh besar dan harus ditindak dengan zalim. Diperlakukan dengan tidak sewajarnya, lalu mesti dijatuhkan martabat kemanusiaannya.
Dipaksa, didorong dan ditarik dengan sewenang-wenang, perlakuan tidak patut, yang itu pun tidak pantas dilakukan sekalipun pada hewan yang akan dikurbankan. Tapi Jum’at (19 Maret), pemandangan buruk itu dipertontonkan.
Muncul perlawanan meski fisik mustahil bisa melawan kesewenang-wenangan atas nama hukum dengan melanggar hukum. Ya perlakuan yang dipertontonkan itu perlakuan melanggar hukum. Jika terdakwa menolak untuk dihadirkan secara virtual, itu adalah haknya.
Tapi ia tetap dipaksa untuk mengikuti sidang sesuai permintaan jaksa penuntut umum dan hakim, yang tidak mau dengar argumen pembelaan langsung berhadap-hadapan dengannya. Pandemi jadi alasan menghadangnya.
Setelah argumen pandemi dipatahkan dengan bagaimana dengan mereka yang hadir langsung dipersidangan, sedang perkenan tidak pada dirinya. Maka hakim merubah argumennya, Habib punya banyak pengikut yang nantinya akan buat kerumunan.
Masalahnya lebih pada semua pihak yang mengadilinya tidak siap beradu argumen dengannya secara berhadap-hadapan. Bagaimana bisa melawan sanggahannya, sedang argumen penahanan yang dibangun cuma hal yang diada-adakan.
Semua pecinta kemanusiaan mustahil tidak geram melihat perlakuan atasnya itu. Dan pengikutnya, pengikut Habib Rizieq Shihab, ulama otentik yang tidak banyak bisa menyamainya, yang entah berapa banyak bilangan pengikutnya, tidak cuma geram tapi menangis menengadahkan tangan, meminta Tuhan turunkan pembelaannya.
Baca: Tidak Dihadirkan di Persidangan, Itu karena Lisanya yang Bak Sembilu
Wajah dan fisiknya tampak letih, tapi tidak pada psikisnya yang kuat bagai karang kokoh dihantam ombak bersahutan. Setidaknya itulah yang tergambar pada sosok satu ini, Habib Rizieq Shihab.
Ia hanya bersandar pada Tuhan, tidak pada manusia. Karenanya, ia tidak merengek meminta perlindungan, sekalipun derita berkepanjangan dihantamkan padanya. Ia tetap kuat pada pendirian yang tidak terbeli.
Inilah pribadi dengan keyakinan, bahwa apa yang diikhtiarkan adalah kebaikan-kebenaran. Maka ia terus berjalan dengan keyakinannya, meski tampak suram tapi tidak menurutnya. Ia yakini bahwa kebenaran itu pada saatnya akan menemukan hakikatnya.
Kebenaran memang mesti diikhtiarkan, meski taruhannya adalah kehidupan sulit yang mesti ditempuh. Karenanya, manusia semacamnya, ini tampak tegar menghadapi semua derita yang mesti diterima.
Seakan tidak memikirkan kehidupan duniawi, hanya kebenaran yang diyakini yang ingin diraihnya. Maka ia bicara dalam nahi munkar, yang lalu membuat jengah rezim, terusik oleh pilihan dakwahnya. Pilihan sulit penuh risiko itu ia jalani.
Sepulang dari hijrah 3,5 tahun dari negeri Arab, bukannya rasa damai yang ia terima, tapi justru dicari-cari kesalahan, yang lalu dijadikan seolah kesalahan besar yang mesti dihukum seberat-beratnya tanpa ampun.
Kesalahan yang jika itu dianggap salah, menghadirkan kerumunan massa, yang itu juga dilakukan banyak pihak, tapi menjadi masalah baginya. Bagi pihak lain tidak menjadi tuntutan hukum, tapi baginya itu perbuatan yang mesti diganjar dengan hukuman.
Perlakuan hukum yang tidak sepadan dengan apa yang dilakukannya, dan kesalahan yang sama yang dilakukan pihak lain, itu tidak jadi masalah hukum, dipertontonkan dengan kasat mata.
Baca: Jangan Zalimi Habib Rizieq
Lalu menyasar terjadinya pembunuhan 6 laskar pengawalnya oleh pihak penguntit, yang dihadirkan layaknya sedang menguntit teroris atau penjahat berbahaya. Penguntit itu tidak lain adalah aparat kepolisian.
Lalu penahanan atasnya, dan beberapa orang dekatnya, dan pembubaran organisasi yang didirikannya, Front Pembela Islam. Organisasi yang dianggap berbahaya, meski tidak pernah melakukan perbuatan jahat, kecuali menakutkan bagi pelaku maksiat.
Organisasi yang selalu berada terdepan bersama TNI dalam setiap terjadi bencana alam. Mulai bencana alam dahsyat tsunami Aceh, dimana puluhan ribu mayat bergeletakan tak terurus dan mulai membusuk, diangkatnya satu persatu diperlakukan sebagaimana layaknya mayat dan dimakamkan.
Tidak terhitung berapa banyak bencana alam yang susul menyusul di negeri ini, di situ FPI hadir menderma baktikan tenaga dan waktunya. Tapi semua dilupakan, seolah secepat debu menyapu angin.
Perasaan yang sungguh miris saat kalimat meluncur dari lisannya, Saya tidak ridha dunia akhirat…, dan itu atas perlakuan sewenang-wenang, didorong dan dipaksa untuk mengikuti sidang virtual yang ditolaknya.
Saat kalimat itu disampaikan dengan getir penuh kekecewaan, maka persyaratan Arsy’ terguncang menemui bentuk kebenarannya. Kalimat yang meluncur dari lisannya, itu sungguh menakutkan, tentu bagi mereka yang percaya pada “suara-suara langit”… Wallahu a’lam. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya