Oleh: Rahmawati Ayu Kartini
SETELAH sekian kali terjadi, masyarakat kembali dikejutkan dengan penemuan jenazah seorang anak perempuan yang diketahui berinisial PNF di Jalan Sahabat, RT 05/05 Kelurahan Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, pada Jumat (2/10/2015) malam.
Jenazah PNF ditemukan di dalam kardus. Berdasarkan hasil otopsi, diduga PNF menjadi korban kekerasan seksual (perkosaan) sebelum dibunuh. Itu artinya, pelaku diduga seorang pengidap pedofilia.
Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tingginya angka kasus kekerasan terhadap anak.
Tahun 2007 ada 1.510 kasus, tahun 2008 ada 1.826 kasus, tahun 2009 ada 1.998 kasus, tahun 2010 ada 2.046 kasus, tahun 2011 ada 2.462 kasus (58% berupa kasus kekerasan seksual), tahun 2012 ada 2.637 kasus (62% berupa kasus kekerasan seksual), tahun 2013 terjadi 3.339 kasus (54% berupa kasus kekerasan seksual) dan tahun 2014 terjadi 2.750 kasus (58% berupa kasus kekerasan seksual).
Menurut Kak Seto, Dewan Pembina Konsultatif Komnas Perlindungan Anak, dari Januari hingga Mei 2015 sudah ada 500 laporan kasus kekerasan anak yang diterima KPAI. Jumlah kekerasan yang terjadi di lapangan tentu jauh lebih tinggi dari data yang Komnas PA terima (CNN Indonesia, 5/7/2015).
Menurut penelitian, anak-anak yang pernah menjadi korban kejahatan ini akan cenderung menjadi pelaku di usia dewasanya nanti jika tidak ditangani secara tepat. Trauma yang berkepanjangan tentu akan kontra produktif dengan proses tumbuh kembang mereka pada masa mendatang.
Akar Masalah
Berdasarkan hasil kajian Indonesia Indicator (I2), dari 343 media online di seluruh Indonesia, baik nasional maupun lokal pada periode 1 Januari 2012 hingga 19 Juni 2015, faktor utama penyebab kekerasan terhadap anak berasal dari faktor luar atau sosial, terutama kemiskinan (pikiran-rakyat.com, 22/6/2015).
Penyebab kekerasan terhadap anak berasal dari faktor luar atau sosial yaitu kemiskinan, masalah keluarga, masalah sosial, gangguan jiwa pelaku kekerasan, dan rendahnya pengetahuan pelaku kekerasan akan efek tindakannya. Tampak jelas, kemiskinan atau tekanan ekonomi merupakan faktor utama penyebab kekerasan pada anak.
Menurut data Komnas PA, pemicu kekerasan terhadap anak di antaranya: KDRT, disfungsi keluarga: yaitu peran orangtua tidak berjalan sebagaimana seharusnya, tekanan ekonomi atau kemiskinan, salah pola asuh dan terinspirasi tayangan media. Semua itu hanyalah faktor penyebab atau lebih tepatnya merupakan faktor pemicu. Semua faktor itu merupakan akibat dari pembangunan masyarakat bercorak kapitalistik dan akibat dari penerapan sistem sekular kapitalisme liberal di segala sisi kehidupan.
Gagal Melindungi Anak
Indonesia merdeka sudah 70 tahun. Berbagai berbagai produk hukum sudah kita coba, tapi nampaknya tak pernah memberikan rasa aman. Ancaman terhadap kehormatan pun datang bertubi-tubi, silih berganti mencari korbannya, tak terkecuali anak-anak. Bahkan kejahatan terhadap anak jauh lebih sadis dan memilukan.
Makin banyak kasus kekerasan terhadap anak menguatkan bukti bahwa sistem dan negara gagal melindungi anak. Kegagalan itu karena upaya yang dilakukan tidak pernah menyentuh faktor penyebab, apalagi akar masalahnya. Negara juga telah dilucuti fungsinya sekadar sebagai pembuat regulasi (aturan) dan bukan sebagai penanggung jawab dalam perlindungan warganya, terutama anak-anak. Negara tidak mampu mendidik warganya bagaimana dalam memperlakukan dan mendudukkan peran anak. Negara cenderung kurang perduli dengan apa yang dialami rakyatnya.
Negara pun banyak melempar tanggung jawab penyelesaian pada peran keluarga dan keterlibatan masyarakat.
Berbagai kebijakan Pemerintah selama ini juga gagal. Bahkan banyak kebijakan yang saling bertabrakan. Pemerintah mengandalkan keluarga sebagai pemeran penting dalam pendidikan dan perlindungan anak. Namun, itu dinihilkan oleh kebijakan yang mengharuskan para ibu untuk memasuki dunia kerja demi kepentingan ekonomi dan mengejar eksistensi diri dengan program pemberdayaan ekonomi perempuan.
Akibatnya, ibu dipisahkan dari anak. Fungsi ibu dalam mendidik anak pun tak terlaksana. Pemerintah meminta keluarga agar menjadi pembina dan penjaga moral anak. Namun, Pemerintah pun memfasilitasi bisnis dan media yang menawarkan racun kepornoan. Berbagai pemicu hasrat seksual juga dibiarkan tersebar luas.
Negara memiliki program untuk membangun ketahanan keluarga. Namun, alih-alih menguatkan, Pemerintah justru menguatkan ide-ide penghancuran keluarga melalui pengarusutamaan gender. Negara juga tidak memiliki kurikulum yang berorientasi menghasilkan individu calon orangtua yang mampu mendidik dan melindungi anak.
Sistem yang tidak memadai itu masih diperparah oleh pelaksanaan kebijakan yang juga banyak bermasalah. Komisi VIII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, sebagaimana diberitakan Republika.co.id (5/10), menyebut banyak kendala baik pada tataran koordinasi, implementasi (pelaksanaan) maupun penganggaran. Banyak program Pemerintah yang dinilai tak tepat dalam mengatasi masalah anak.
Koordinasi antar lembaga kementrian juga tidak berjalan maksimal. Masing-masing memiliki program dan berjalan sendiri-sendiri. Pada tataran pelaksanaan, banyak aturan dan kebijakan yang belum dijalankan dengan baik. Padahal aturan dan kebijakan itu banyak yang diarahkan pada upaya perlindungan anak-anak.* (BERSAMBUNG)
Penulis seorang pendidik, tinggal di Jawa Timur