Sambungan artikel PERTAMA
oleh: Ilham Kadir
Dari kasus tersebut, 70 persen perceraian terjadi karena gugat cerai dari pihak istri yakni istri meminta dilepas atau dibebaskan dari suami. Dilihat dari data di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, sebagai kota religius dan bergelar Serambi Madinah, tren perceraian pada 2014 sebanyak 90 persen pihak istri menggugat cerai karena faktor selingkuh. Bahkan, daerah seperti Pare-Pare pun ketularan, puluhan kasus perceraian terjadi tiap bulannya (TRIBUN TIMUR 1/12/2015). Lalu bagaimana dengan kota-kota metropolitan?
Menurut data Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI pada 2011, penyebab perceraian pertama adalah faktor ekonomi. Namun hasil survei menyebutkan sekitar 14 persen istri dan 22 persen suami di kota-kota besar melakukan perselingkuhan yang mayoritas merupakan golongan mapan. Pasangan selebritas bahkan diklaim turut menyumbang fenomena kawin-cerai, diperparah dengan pemberitaan berlebihan dari beragam media, terutama infotaimen.
Kokohkan Agama
Antara pegangan dan pedoman yang bisa menekan angka perceraian tersebut bagi umat Islam adalah kembali kepada syariat yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis. Penerapan syariat Islam dalam keluarga, harus diwujudkan dalam segala aspek kehidupan. Jangan karena di KTP beragama Islam dan nikah secara Islam, tapi dalam keseharian tidak menerapkan syariat Islam. Akibatnya, terjadilah banyak perselingkuhan. Di sinilah penting mengokohkan agama dalam institusi rumah tangga .
Mengingat pihak penggugat mayoritas dari kaum wanita, demi menghindari perselingkuhan, faktor pertama yang harus ditekankan bagi pihak wanita, atau muslimah misalnya, harus memilih calon suami yang dapat ia banggakan kepemimpinan atas dirinya, dan merasa senang mendampinginya, serta tidak pernah merasa menyesal atas pernikahan dengannya. Dia menginginkan suami yang selalu menggandengnya kemana ia pergi jika memang memungkinkan. Saling berbagi tugas, membangun keharmonisan, mendidik anak. Perbedaan karakter semestinya diolah menjadi sebuah kekuatan untuk membangun rumah tangga yang sakral.
Ketika masih single, setiap orang berhak memilih siapa pun calon pasangannya, namun, ketika telah menikah, maka itulah yang terbaik, sudah bukan masanya untuk menyesal. Jika berpikiran seperti ini, maka angka perceraian semestinya bisa dihindari, walaupun dalam Islam, cerai hukumnya hanya makruh, namun, selalu mendatangkan petaka bagi anak-anak yang merupakan generasi bangsa.
Aktor kriminal, termasuk begal yang meresahkan negara, juga prilaku asusila, pelacuran, pemerkosaan, pencabulan, kerap digawangi oleh keluarga yang broken home. Menyelamatkan rumah tangga Indonesia dari desakralisasi pada dasarnya telah menyelamatkan bangsa dari krisis moral.
Sebagai penutup, ini ada wejangan untuk suami yang suka selingkuh, atau selalu tertarik pada wanita lain, titah Nabi, “Apabila salah seorang di antara kalian merasa kagum kepada seorang wanita dan tertarik kepadanya, maka hendaklah dia lekas pulang dan bertemu istrinya lalu bercinta dengannya, karena yang demikian itu akan meredam gejolak nafsu yang ada pada dirinya.” (HR. Muslim).
Dan seorang istri, selain sebuah kewajiban, juga ibadah, dan cara efektif mereduksi selingkuh adalah mengikuti sabda Rasul berikut, “Apabila salah seorang di antara kalian mengajak tidur istrinya, lalu dia tidak mengindahkannya, sehingga suami itu marah kepadanya, maka malaikat melaknatnya sampai pagi tiba.” (HR Bukari-Muslim).
Konteks hadis di atas, walaupun berbicara masalah kehidupan di atas kasur yang didominasi suami, tapi juga berlaku untuk istri. Jika istri melihat lelaki lain dan tertarik padanya, maka lekaslah berjumpa suami dan minta jatah, begitu pula, jika istri yang lebih dulu naik libidonya, lalu mengajak suami bercinta, maka suami wajib melayani.
Akhirnya, mari selamatkan masyarakat dari desakralisasi rumah tangga. Wallahu A’lam!
Penulis kandidat doktor pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor