Oleh: AM Waskito
lanjutan dari artikel pertama
[5]. Yang dibutuhkan adalah label haram pada makanan-minuman?
Masalahnya, mana ada pebisnis yang mau makanan-minumannya diberi label haram? Coba cari, mana ada? Pemasok daging babi dalam kaleng, mereka pun hanya memberikan label “logo babi” pada kalengnya. Tetapi tidak disebut disana “makanan haram”. Sebab istilah HARAM itu sudah merupakan vonis yang mematikan. Bahkan kalau beredar produk dengan label haram, hal itu adalah kemunkaran; maka jangan salahkan jika ada Ummat Islam yang merusak atau membinasakan produk itu, dengan pertimbangan untuk memusnahkan barang haram dari peredaran. Yakinlah, tidak ada satu pun pebisnis yang mau produknya difatwa haram, meskipun mereka menjual daging babi, atau minuman keras.
[6]. Dalam konteks modern, masih relevankah label halal ini?
Justru di zaman modern, label halal dibutuhkan sepuluh kali lipat dibandingkan di masa lalu. Di zaman modern, makanan-minuman yang beredar jauh lebih komplek lagi. Bukan hanya produsennya yang non Muslim, atau Muslim awam, tetapi makanan modern banyak sekali berupa makanan olahan. Kalau seperti buah dan sayur mentah, sangat mudah mengenali kehalalannya. Tetapi makanan olahan produk industri, sangat sulit dikenal halal-haramnya. Dibutuhkan uji laboratorium untuk memastikan kehalalan produk-produk itu, sebab secara kasat mata memang tidak terlihat. Daftar ingredients saja tidak otomatis menjamin kehalalannya, karena bisa jadi prosesnya ada yang memakai unsur-unsur haram.
[7]. Tetapi bukanlah lebih baik kalau pemberian sertifikat halal ini tidak dimonopoli suatu lembaga tertentu saja?
Sebenarnya tujuan dasarnya bukan monopoli, tetapi menertibkan pemberian sertifikasi halal itu, dan menjamin kredibilitasnya. Kalau semua pihak diberi kewenangan memberi label halal, jelas hal itu akan menghancurkan kredibilitas sertifikat halal itu sendiri. Nanti setiap tukang bakso, tukang sate, tukang ojek, tukang kayu, kuli batu, dan seterusnya bisa membuat label halal sendiri-sendiri. Jelas hal demikian sama dengan membunuh Syariat itu sendiri.
Monopoli tidak selalu buruk, terutama untuk perkara-perkara yang butuh kepastian dan ingin dihindarkan dari pertikaian pendapat (fatwa). Kalau sertifikat halal MUI dianggap monopoli, berarti lembaga-lembaga negara juga layak disebut monopolis, seperti: Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Departemen Agama, Kepolisian, Kejaksaan, dan seterusnya. Berarti semua itu juga monopolis. Berarti dibutuhkan “Bank Indonesia” dalam versi lain yang boleh mengeluarkan pecahan uang menurut selera mereka sendiri.
[8]. Tetapi monopoli sertifikat halal MUI bisa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan komersil?
Keuntungan itu kan kembali kepada biaya proses sertifikasinya, bukan sengaja mencari untung. Kalau memang mencari untung, apa sih salahnya? Toh hasilnya untuk operasional MUI sendiri dalam menjalankan roda kelembagaannya. Kita ini seperti kemaruk sekali, padahal MUI itu jelas butuh operasional, dan siapa yang akan peduli nasib mereka? Apakah setiap orang selama ini sengaja menyisihkan dana untuk membantu operasional MUI? Rasanya tidak mungkinlah ulama-ulama MUI akan memperkaya diri dari usaha sertifikat halal.
[9]. Tetapi bagaimana kalau sertifikat halal disalah-gunakan oleh orang-orang tidak bertanggung-jawab di MUI?
Mudah saja caranya. Sebut siapa orang yang tidak beres itu; sebutkan bentuk perbuatannya yang menyimpang; lalu laporkan ke pengurus MUI yang lebih tinggi. Kalau tidak mempan, beberkan kasusnya di media massa, sebagai bentuk nasehat dan koreksi bagi MUI sendiri, dan khususnya si pelaku. Kalau perbuatannya sudah mengarah pelanggaran hukum, ya tempuh cara hukum. Mudah bukan?
[10]. Tetapi NU mau bentuk badan halal sendiri, untuk jamaah NU sendiri?
Kalau maunya begitu, mengapa selama ini tokoih-tokoh NU sering teriak-teriak kalau ormas lain menetapkan momen Ramadhan/Idul Fithri lebih cepat dari ketetapan Pemerintah? Bukanlah ketetapan itu juga untuk anggota ormas itu sendiri? Mengapa di antara mereka ada yang berdalih: Al jama’atu rahmah wal furqatu adzab (berjamaah itu rahmat, berpecah-belah itu adzab)?
Rasanya aneh saja. Saat momen Ramadhan dan Idul Fithri paling keras teriak tentang pentingnya persatuan Ummat di bawah pemerintah; tetapi giliran soal label halal, mau buat label sendiri, untuk jamaah sendiri. Hal begini kan menunjukkan, apakah niat semacam itu tulus atau tidak.
Akhirnya, sepakat dengan ulama-ulama di Indonesia selama ini, bahwa label halal MUI perlu dijaga dan terus dikembangkan. Apalagi ia menjadi acuan bagi label halal internasional. Kalau ada masalah-masalah di dalamnya, ia harus diperbaiki dan dievaluasi; bukan dihancurkan dari dasar fondasinya. Lagi pula, ide label halal NU itu khawatirnya hanya “panas” di awal saja, ujung-ujungnya nanti nglimpruk di tengah jalan. Kata orang: “Sudahlah, yang pasti-pasti aja!” . Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
AM Waskito, penulis buku “Bersikap Adil Kepada Wahabi”