Oleh: Ilham Kadir
PERISTIWA perjalanan Nabi Muhammad pada malam hari dari Masjidil Haram Makkah menuju Masjid al-Aqsa, atau Baitul Maqdis di Palestina yang disebut dengan isra’, serta naiknya ke langit penghabisan (sidratul muntaha’) yang dinamai mikraj merupakan peristiwa metafisik dan hanya dapat dipercaya dengan mereka yang memiliki tingkat keimanan yang tinggi.
Dua peristiwa besar dalam satu malam itu, yakni isra’ dan mikraj telah diabadikan dalam Al-Qur’an, Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya [Muhammad] pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami, (QS. Al-Isra'[17:1).
Terlalu banyak dan begitu panjang kisah, cerita, dan hikmah yang dapat dipetik dalam dua peristiwa agung di atas yang sesungguhnya hanya pernah sekali terjadi dalam sejarah penciptaan manusia yang cukup dialami oleh Baginda Nabi Muhammad, tidak yang lainnya, termasuk Adam sebagai Nabi dan manusia pertama.
Antara kisah yang menarik untuk dikaji dan ditelaah adalah, isra’ Nabi dari Makkah ke Palestina yang sempat singgah untuk shalat di Thaibah-Madinah lalu dibertiahukan oleh Jibril, bahwa di sanalah kelak ia akan hijrah, kemudian beranjak dengan kendaran buraq, singgah dan shalat di gunung Thurisina, tempat Allah azza wajalla berdialog dengan Nabi Musa, setelah shalat di sana, ia pun bergeser ke Bethlehem, tempat kelahiran Nabi Isa. Puncaknya, isra’ Nabi Muhammad yang dipandu oleh dua malaikat, Jibril dan Mikail itu, berhenti dan singgah di Baitul Maqdis, beliau turun dari buraq yang ia ikatkan pada salah satu sisi pintu masjid, di mana para nabi terbiasa mengikat kendaraannya di sana.
Nabi Muhammad lalu masuk ke dalam masjid, ditemani oleh Jibril, mereka masing-masing shalat dua rakaat, setelah itu, sekejap mata tiba-tiba masjid sudah penuh dengan sekelompok manusia, yang ternyata mereka adalah para nabi yang telah diutus oleh Allah. Dan, antara jamaah para nabi itu, terlihat jelas Nabi Musa yang sedang menunaikan shalat. Rasulullah juga melihat Nabi Isa Ibnu Maryam sedang melakukan ibadah serupa, begitu pula Nabi Ibrahim yang perawakan dan mukanya sangat mirip dengannya. Azan lalu dikumandangkan, kemudian iqamah, lalu mereka bersahf-shaf menuju shalat berjamaah sambil menunggu sang imam yang akan memimpin shalat dengan makmun para nabi dan rasul tersebut. Jibril lalu memegang tangan Nabi Muhammad sambil mendorong beliau untuk maju sebagai imam, dan shalat pun berlangsung sebanyak dua rakaat yang diimami oleh Rasulullah. Ini mengisyaratkan bahwa Nabi muhammad lebih utama dan mulia dari para nabi lainnya di sisi Allah, beliau adalah pemimpin para nabi alias imamul anbiya’, (Bandingkan dengan, Martin Lings, 2007: 189).
Kewajiban Berjamaah
Begitu landasan historis-filosifisnya. Shalat berjamaah telah Allah perintahkan kepada segenap nabi dan rasul, sebelum perintah dan kewajiban shalat dibebankan kepada Nabi Muhammad sekalian umatnya.
Pun, jika merujuk pada ilmu naqli, meminjam istilah Ibn Khaldun sebagai ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, terdapat nash-nash yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah. Bahkah dalam keadaan perang sekali pun kita diwajibkan untuk menegakkan shalat berjamaah (lihat, QS. An-Nisa'[4]:102), jika perang sebagai kondisi yang paling darurat dalam ranah kehidupan manusia, namun tetap diwajibkan berjamaah, bagaimana dengan kondisi yang adem ayem, tenang dan tenteram? Tentu saja lebih diwajibkan lagi.
Selain itu, pendapat yang menegaskan akan wajibnya berjamaah adalah berpegang pada ayat yang memerintahkan shalat secara berjamaah, wa aqimus-shalah wa atuz-zakah, war-ka’u ma’ar-raki’in. Lakasanakan kalian shalat dan tunaikan zakat, rukuklah kalian bersama orang-orang yang rukuk, (QS. Al-Baqarah[2]:43).
Jika merujuk kepada hadis, ucapan dan perbuatan Rasulullah pun akan ditemukan bahwa, Nabi yang dimikrajkan demi untuk serah-terima perintah shalat itu, tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah kecuali dengan alasan syar’i. Melalui sabda, misalnya, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan azannya, lalu aku perintahkan salah seorang menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti shalat jamaah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka, (HR. Bukhari: 15, Bab ‘Wajibnya Shalat Jamaah’; Muslim: 6, Bab ‘Keutamaan Shalat Jamaah dan Penjelasan Mengenai Hukum Keras Bagi Orang yang Meninggalkannya’).
Bahkan seorang buta sekali pun tidak dibolehkan shalat solo dirumhanya, melainkan diwajibkan ikut berjamaah, hal itu terjadi karena seorang buta meminta keringanan untuk tidak turut serta dalam barisan shalat jamaah, sebagaimana ditegaskan dari hadis Ummi Maktum, Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi bertanya, ‘Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya ‘alas-shalah, hayya ‘alal-falah? Jika iya, penuhilah seruan tersebut, (HR. Abu Daud: 2, Bab ‘Peringatan Keras Karena Meninggalkan Shalat Jamaah’).
Jika merujuk pada dalil-dalil di atas, maka pendapat yang menyatakan bahwa shalat berjamaah wajib dapat diterima argumentasinya. Dalam terminologi epistemologi ilmu fikih, wajib adalah, ma yutsabu ‘ala fi’lihi wayu’aqabu ‘ala tarkihi. Amal ibadah yang diganjar pahala bagi yang menunaikan dan berdosa bagi yang meninggalkannya.
Namun posisi wajib menurut Imam Abu Hanifah adalah satu tingkat di bawah ‘fardhu’ yang kedudukan dosanya lebih ringan dibanding dengan meninggalkan ibadah fardhu. Shalat adalah fardhu ‘ain, yang harus dilakukan oleh setiap muslim yang baligh, sehat akal, dan dalam keadaan sadar. Sementara berjamaah adalah adalah wajib bagi kaum muslimin minus muslimat, meninggalkannya adalah dosa, kecauali dengan alasan yang syar’i seperti dalam perjalanan, sakit, hujan deras,jaga anak, dsj. Tapi jika dilaksanakan dengan solo di rumah dan terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, maka shalatnya tetap dianggap sah, tak usah diulangi.
Kecuali itu, shalat berjamaah hakikatnya adalah keistimewaan bagi umat Nabi Muhammad, dengan adanya konsep ‘kelipatan duapuluh tujuh’. Artinya jika Anda menunaikan shalat berjamaah sekali akan sama nilainya dengan shalat sendirian sebanyak duapuluh tujuh kali. Kalau, seorang muslim dalam hidupnya diakumulasi shalat jamaahnya sebanyak satu tahun, maka nilai umurnya di sisi Allah sama dengan duapuluh tujuh tahun, begitulah seterusnya.
Aneh, jika seorang tokoh, apalagi dianggap ulama dengan kedudukan akademis yang tinggi, terus-menerus membahas masalah agama, perdamaian, perjuangan, dan sejenisnya, namun di kala azan berkumandang, ia enggan ke masjid. Lalu apa yang diperjuangkan?
Mari kita memuliakan agama dengan menegakkan shalat berjamaah, sebagai bagian dari syariat yang telah dicontohkan oleh Nabi. Umat ini hanya dapat meraih kejayaannya kembali jika mereka sadar akan kewajiban asasinya. Kalau shalat subuh jumlah jamaahnya sudah sebanding dengan jamaah Jum’at, maka itulah tanda-tanda kebangkitan Islam. Wallahu A’lam!
Penulis anggota MIUMI Pusat, kandidat doktor pendidikan Islam Pascasarjana UIKA, Bogor