Oleh: Fadh Ahmad Arifan
TANGGAl 22 Oktober 2015 ditetapkan sebagai hari santri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sayangnya, tidak dijadikan hari libur nasional sebagaimana Presiden ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan hari buruh sebagai hari libur nasional.
Namun gaung Hari Santri nampaknya tak disambut semarak umat Islam secara nasional. Lebih-lebih, dalam logi Hari Santri tertera “Revolusi Jihad” yang hanya memberi kesan klaim milik salah satu golongan. Masalah ini juga ikut andil peringatan ini menjadi tidak milik ‘semua golongan’ dan berdampak adem-ayem.
Bahkan lebih jelas, salah satu organisasi massa Islam besar, Muhammadiyah menyatrakan keberatan adanya “Hari Santri”.
Apa alasan mereka? Dalam beberapa pernyataan yang sat abaca, Muhammadiyah tidak ingin umat Islam makin terpolarisasi dalam kategorisasi santri dan Non-Santri.
Menurut Muhammadiyah, Hari Santri akan menguatkan kesan eksklusif di tubuh umat dan bangsa. Padahal, selama ini santri-Non Santri makin mencair dan mengarah konvergensi.
“Untuk apa membuat seremonial umat yang justru membuat kita terbelah,” kata Dr Haedar Nashir seperti yang dikutip Republika. Pimpinan Umum Muhammadiya rupanya masih terpaku teori Geertz di masa lampau. Teori yang saya maksud yaitu, “Santri, abangan dan Priyayi”.
Bila diajukan sebuah pertanyaan, siapa sih yang disebut santri itu? Mengenai istilah santri dalam analisis Cak Nur (Dr Nurcholis Madjid) bisa dilihat dari dua aspek.
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang artinya melek huruf. Pendapat ini menurut Nurcholish Madjid didasarkan atas kaum santri kelas literary bagi orang Jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan Bahasa Arab.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari Bahasa Jawa, dari kata “cantrik” berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap (Yasmadi, 2005).
Prof Clifford Geertz di bukunya yang terbit pada 1960-an mengartikan santri dengan dua definisi:
Pertama, dalam arti sempit: seorang pelajar sekolah agama yang bermukim pada suatu tempat yang disebut pondok. Kedua, dalam arti luas: identitas seseorang sebagai bagian dari varian komunitas penduduk Jawa yang menganut Islam secara konsekuen.
Di zaman sekarang “santri” sudah berevolusi menjadi Neo-Santri. Istilah Neo-Santri pertama kali dimunculkan oleh Dr Syafi’i Anwar. Bisa kita cek di dalam disertasinya Yon Machmudi P.hD yang berjudul “Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party”.
Istilah Neo Santri dinisbatkan pada Muslim kelas menengah yang muncul di era 1990-an, Muslim kelas menengah ini merupakan perpaduan antara tradisionalisme NU dan kemoderenan Muhammadiyah. Muslim kelas menengah tadi akhirnya mendirikan wadah bernama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Bila dilacak lebih jauh, Neo Santri muncul dari Gerakan Dakwah kampus yang dirintis oleh Dr. M. Natsir dan Bang Imad (Dr Imaduddin Abdurrahim dari ITB tahun 80-an).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kini Neo Santri itu sudah berkecimpung di parlemen, gerakan filantropi dan gerakan ‘islamisasi ilmu’. Mereka inilah garda terdepan dalam melindungi umat Islam dari rongrongan kaum sekular, liberal dan anti Tuhan.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutarakan satu hal. Saya tidak pernah mondok di pesantren berkultur NU tapi, bersekolah di lembaganya Muhammadiyah juga tidak. Hanya saja, saya dididik sedari kecil oleh sepasang suami istri, yang satu NU dan satunya Muhammadiyah.
Dalam hal mencari ilmu agama Islam, saya mengaji ke Kiai NU, Habaib, ustadz-ustadz Muhammadiyah di Malang, kemudian pernah ikut halaqah Hizbut Tahrir serta pengajian pekanan Jamaah Tarbiyah. Jadi tidak terpaku kepada satu organisasi.
Apakah saya termasuk “Neo-Santri”? Wallahu’allam.*
Seorang pengajar Sejarah Kebudayaan Islam, tinggal di Kota Malang