Oleh: Nurdiansyah Lakawa
AKHIRNYA lewat pertemuan bersama sang Kepala Sekolah SMAN Denpasar Bali, Anita Whardani, yang hampir tiga tahun memperjuangkan hak menutup aurat di sekolahnya diperbolehkan berjilbab pihak SMA Negeri 2 Denpasar.
Diperbolahkannya Anita berjilbab, boleh jadi karanya banyaknya kritikan dan desakan dari berbagai pihak, termasuk teguran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhammad Nuh.
Perjuangan panjang Anita akhirnya berbuah manis, meskipun di penghujung waktu statusya sebagai siswi sekolah menengah.
Namun dari remaja ini kita dapat banyak mendapat pelajaran. Di usianya yang masih belia sekali, Anita tidak menyerah dengan prinsipnya. Andai ini terjadi dengan adik-adik atau anak-anak kita mungkin belum dapat setangguh dia.
Gadis yang cukup berani ini, menantang kondisi di hadapannya. Di tengah desakan kekuatan: aturan dan struktur tertinggi sekolah yang mengusirnya secara halus. Tapi siapa sangka, dia menantang pakem yang sudah turun temurun di sekolah ini.
Darinya kita belajar tentang bagaimana semestinya, mempertahankan idealisme. Dia tidak bertahan atas identitas semata, atau soal Hak Asasi Manusia (HAM) saja. Kalau hanya soal itu, maka ini soal polesan belaka. Akan tetapi dia berjuang atas dasar idealisme, atas dasar nilai kepercayaan yang dia anut dan pegang kuat, yaitu Islam.
Pelajaran Penting
Yang sering kurang disadari –bahkan—sering menjadi alasan klasik pihak sekolah, alasan pelarangan jilbab hanya masalah sepele saja. Pertama, hanya karena dengan menggunakan jilbab, logo sekolah tidak nampak. Atau biar semua seragam.
Kedua, sedikit pihak sekolah –khusus pengelola sekolah yang bergama non-Muslim—memaksakan kehendak tanpa punya keinginan mencari tahu, tanya sebab-musabab, apalagi menyangkut urusan keyakinan agama seseorang.
Kasus yang menimpa Anita Whardani dari Bali ini cukup nampak, bahwa pihak pengelola sekolah kurang mengerti dan tidak memahami, bahwa menggunakan jilbab oleh Muslimah adalah sesuatu yang wajib.Ssebagaimana termaktub dalam al Qur’an, An Nur ayat 33, ”… Hendaklah mereka menutupkan khumur (kerudung-nya) ke dadanya…”. Inilah keyakinan.
Sayangnya sedikit sekali pengelola sekolah (bahkan terkadang pemilik/pengelola perusahaan) menyadari, atau setidaknya bertanya atau mencari tahu. Padahal dengan pergi ke tokoh buku atau buka internet atau bertanya pada tetangganya yang beragama Islam, pasti akan menemukan jawabannya dan tidak harus memegang peraturan sekolah, seolah-olah peraturan ini tidak bisa diganti. Padahal konstitusi Negara kita saja sudah diamandemen bebebapa kali.
Semua warga beragama juga percaya, yang tidak bisa dirubah hanya Kitab Suci. Bahkan sebagian kitab suci agama-agama tertentu saja berubah-ubah, apalagi peraturan sekolah/perusahaan.
Keyakinan Anita untuk menutup aurat adalah hak dia, ini tidak bisa disama dengan minimnya pengetahuan teman-teman dia yang tidak menggunakan jilbab meski dia Muslim. Anita mungkin jauh lebih paham dan lebih dalam memahami keyakinannya, sedang yang lain tidak.
Ini sama halnya keyakinan orang beragama lain, seperti Kristen atau Hindu yang melakukan kebaktian di Gereja atau pergi ke Pura. Hak mereka ke Masjid, Gereja dan ke Pura harus dihormati. Persoalan dia menjadi pemeluk Islam tidak rajin ke Masjid atau mengaku sebagai pemeluk Kristen tapi jarang ke Gereja, itu urusan dia. dan diberikan, tidak bisa dihalang-halangi.
Itulah yang ada dalam keyakinan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) Bali, yang memilih jilbabnya. Inilah idealisme dalam mempertahankan keyakinan.
Ketiga, dari kasu ini, bisa kita saksikan, betapa masih banyak diskriminasi di Indonesia tercinta ini.
Diskriminasi seperti ini bisa dilakukan di sekolah umum, bukan sekolah agama. Sekolah yang sejatinya mengajarkan arti toleransi, justru mencederai diri dengan anti-toleransi. Sekarang, ada berapa jumlah sekolah umum di Indonesia? Dan berapa orang jadi korban sebagaimana Anita? Tapi mereka tidak memiliki keberanian.
Sungguh aneh saja, Bali bisa menerima berbagai suku, ras, kulit dan penduduk dunia. Bahkan orang-orang yang berpakaian minim saja diterima masuk pulau itu dan dilayani secara baik. Mengapa ketika ada orang baik-baik (menutup aurat, red) justru dihalang-halangi?
Ada pula diskriminasi tersruktur, sebagaimana kasus pelarangan jilbab di jajaran Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Apa sesungguhnya yang ditakutkan pengelola kepolisian dengan selembar kain? Hingga begitu takut jika ini diterapkan di jajarannya?
Keempat, kisah Anita, menunjukkan bahwa jilbab yang tidak bisa dibatasi oleh teritorial/wilayah. Jilbab juga bukan identitas kedaerahan. Tidak hanya karena persoalan berada di lingkungan mayoritas agama lain lalu membatasi diri untuk berjilbab.
Pun juga jilbab tidak hanya di kawasan wilayah religius. Logika itu mesti dihujam dalam-dalam pada setiap Muslimah yang menginginkan kebebasan.
Maka dari itu alasan, Wakapolri Oegroseno, saat isu Polwan berjilbab mengemuka, “Kalau mau berjilbab silakan ke Aceh” (karena wilayah Syariah/mayoritas Muslim), merupakan sikap anti keyakinan beragama dan pembatasan secara teritorial. Logika itu tak boleh lagi ada! Sungguh naïf jika orang-orang seperti ini masih mengelola Negara yang penuh ragam ini, menakutkan!
Bagaimanapun, kini, Anita telah mendapat dukungan dari berbagai pihak dan keinginannya tercapai. Perjuangan Anita mestinya mesti dijadikan motif untuk membangun kesadaran perempuan dalam berjilbab.
Jika hari ini kita masih melihat ada sisa-sisa tekanan kepada Muslimah, maka bergeraklah wahai wanita untuk menunjukkan jati dirimu sebagai Muslimah sejati!
Penulis adalah jurnalis dan Ketua Forum Lingkar Pena Sulawesi Tengah