Oleh: Teuku Zulkhairi
TIDAK bisa dipungkiri bahwa banyak umat Islam atau kelompok umat Islam yang berjuang untuk kebangkitan Islam. Di antara mereka ada yang berjuang lewat jalur politik, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.
Sebenarnya aneka perjuangan itu adalah semacam tauzi’ul amal, yakni saling mengisi dan berbagi peran, seperti susunan batu bata yang mengokohkan sebuah bangunan. Maka sejatinya tidak sepatutnya kita pertentangkan amal mereka, karena yang mesti terus kita pertanyakan adalah peran dan kontribusi kita.
Adanya sejumlah umat Islam yang berjuang lewat politik sebenarnya membuktikan universalitas ajaran Islam. Seperti kata Tgk.H. Muhammad Yusuf A.Wahab (Tusop), “Jika agama tidak diperkuat oleh politik, maka politik akan menjadi fitnah besar bagi agama”.
Di hadapan realitas tauzi’ul amal seperti ini, yang disedihkan adalah saat sebuah musibah menimpa sekelompok umat Islam yang sedang berjuang lewat politik, misalnya di Mesir, lalu kemudian saat mereka berkuasa segera dikudeta oleh kelompok didukung Israel dan Barat.
Dan kita, lalu berdiri pada posisi mendukung kudeta tersebut dengan jubah agama dan khutbah-khutbah moral. Padahal kita tahu harga darah umat Islam di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Padahal, kita paham untuk siapa agenda kudeta di Mesir itu dijalankan. Kita paham bahwa setelah kudeta di Mesir terjadi, segera Israel memberi gelar “pahlawan” untuk Al-Sisi.
Tapi kita bukan saja gagal menunjukkan simpati dan empati terhadap umat Islam di sana, kita justru lebih fokus pada upaya kita meyakinkan siapa saja bahwa kudeta itu tidak masalah, bahwa seolah kezaliman yang dirasakan umat Islam disana hanyalah Hoax.
Dan lagi-lagi kita hanya fokus pada upaya membangun kebencian terhadap mereka yang anti kudeta. Ya, meskipun jumlah orang-orang semacam ini sejatinya bisa dihitung jari, dan yang terlihat sejauh ini yang punya pemikiran semacam itu adalah orang-orang yang itu saja. Mereka nampak banyak karena giat bersuara.
Kasus Turki, misalnya. Kita paham bahwa saat kudeta Turki terbaru, Barat berharap-harap cemas agar kudeta itu berhasil yang bukti tentang ini bisa disimak dari manuver dan lisan tokoh-tokoh mereka.
Tapi sekali lagi, kita justru terus mencari alasan untuk tidak memahami persolan yang menimpa umat semacam ini, sembari terus melukai hati saudara-saudara kita yang tersakiti oleh kudeta tersebut dengan kalimat-kalimat sindiran dan ejekan. Seolah saudara-saudara kita yang kita sakiti tersebut adalah musuh besar Islam.
Kita pura-pura tidak paham mengapa mereka bersikap menentang kudeta, padahal kita tahu kudeta tersebut adalah upaya untuk memberangus cikal-bakal kebangkitan Islam. Demikianlah, tanpa kita sadari memang politik “devide et ampera” modern telah begitu kuat menancap dan mempengaruhi sebagian umat Islam, padahal kita tahu apa tujuan politik devide et ampera itu dijalankan di tengah umat Islam.
Kita paham bahwa sejak satu dekade silam, umat Islam di Turki telah bisa merasakan hak-haknya sebagai warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya, sesuatu yang diberangus di era sebelumnya. Dan kita, tidak mau paham soal ini, kita hanya berfikir bagaimana meyakinkan diri kita dan orang lain, bahwa para pelaku kudeta itu adalah orang-orang benar.
Kita juga tahu bahwa di tengah kondisi Turki yang terkepung dari segala penjuru, oleh Iran, PKK, ISIS, Israel, Barat dll, adalah hal sulit bagi Turki menghadapi cengkeraman Barat-Israel atas Palestina. Turki lalu jalankan politik pragmatis dengan membuka kembali hubungan dengan Israel, dimana sebenarnya tujuan Turki tidak lain adalah untuk membantu Gaza yang sudah begitu menderita di blokade Israel dengan bantuan Mesir.
Dan umat Islam di Gaza ternyata juga sambut positif kebijakan Turki ini, karena mereka tahu bahwa Turki dibawah Erdogan membantu Palestina.
Tapi, yang kita lakukan adalah mencari alasan lain untuk tetap memandang buruk dan berpersepsi negative terhadap perjuangan mereka, sembari membenarkan para pelaku kudeta yang mencoba merubah Turki menjadi zona konflik dan perang saudara. Begitulah kondisi dunia saat ini.
Tapi tidak sampai di sini, kita lalu membandingkan antara Gulen dan Erdogan, sembari meyakinkan diri kita dan beberapa orang lain bahwa Gulen adalah pengikut Said Nursi, yang arah dan tujuannya adalah bahwa kudeta itu layak. Padahal kita tahu bahwa jika dulu Said Nursi pindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mengajari tauhid bangsa Turki, dengan resiko dikejar rezim sekuler Turki saat itu sehingga beliau mengalami siksaan tak terperi, juga pernah ditahan dan Rusia, sementara Gulen sudah 20 tahun hidup nyaman di Amerika dan berada dalam pangkuannya.
Lucunya Kita
Lucunya, kita hanya bisa bertanya, kenapa Mursi tidak menyerbu Israel dalam satu tahun kepemimpinan sah mereka? Kita lupa bertanya, apakah setelah kudeta Mesir lalu nasib rakyat Palestina menjadi semakin baik? Realitasnya justru semakin menderita, dan bahkan bertambah-tambah penderitaan mereka.
Jika rezim-rezim Mesir yang lahir sebelum Arab Spring lahir berada di bawah dikte kolonialis, atau dengan kata lain adalah boneka mereka, maka rezim pasca kudeta, yaitu As-Sisi, adalah boneka Barat berikutnya dalam agenda mereka menguasai kawasan. Banyak fakta menunjukkan Israel dan Barat ikut andil dalam kudeta di Mesir. Setelah kudeta di Mesir, PM Israel Benyamin Netanyahu mengatakan, “Sikap Mursi jauh lebih berbahaya daripada nuklir Iran”.
Tapi sekarang kita kembali mengajukan pertanyaan lucu, kenapa Erdogan-Turki tidak menyerbu Israel? Kita tidak mau tahu apa saja yang sudah dilakukan Turki untuk Palestina. Dan kita juga pura-pura tidak tahu, bahwa setelah Mesir jatuh dalam “pelukan Israel”, Turki hampir sendiri dalam upaya membantu Palestina, plus Qatar.
Akan halnya Ikhwanul Muslimin dan perannya dalam perlawanan terhadap Israel di Palestina. Bagaimanapun kiprah mereka tidak boleh dianggap remeh, terbukti dalam sejarah saat perang Arab-Israel tahun 1948.
Keikutsertaan Ikhwan dalam perang tersebut menjadi salah satu contoh terbaik bagi bangsa Arab dan umat Islam saat itu yang mencoba menjaga ‘izzah umat Islam dan setiap jengkal tanah peradaban mereka, saat dimana negara-negara Arab berada dalam kondisi lemah. Para pengikut gerakan ini dari berbagai negara saat itu berbondong-bondong datang membela Palestina.
Inipun kita masih konsisten pada kebencian terhadap kelompok ikhwan. Kita seolah menolak fakta sejarah semacam ini, lebih asyik pada kebencian pada kelompok-kelompok Islam yang terus kita semai.
Mari bandingkan dengan rezim pasca kudeta. Beberapa waktu lalu, Sameh Syukri menginjakkan kaki di Israel untuk menonton Final Piala Eropa. Atraksi pelayanan sempurna rezim kudeta Mesir terhadap Israel.
Dan kita, seperti biasa, kita diam atas fakta ini. Kita juga terus menerus berkhutbah membela pelaku kudeta dengan mengenakan jubah kelompok kita. Kita bukan saja gagal menunjukkan secuil simpati, tapi justru mencari ayat-ayat untuk menegaskan kita layak untuk tidak bersimpati.
Tapi, itulah kita, semoga, kebencian terhadap sesama saudara Muslim seperti ini tidak kita bahwa sampai mati. Amiin.*
Penulis adalah pengelola blog www.teukuzulkhairi.com