Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Kholila Ulin Ni’ma
JIKA Indonesia mau mandiri, sektor inilah yang harus dibereskan terlebih dahulu. Itu pula yang menjadi salah satu sebab, siapapun yang akan menjadi presiden Indonesia kedepannya, tak akan pernah mampu untuk mengubah perjanjian ini dan keadaan ini.
Karena, jika presiden Indonesia siapapun dia, mulai berani mengutak-atik tambang-tambang para elite dunia, maka mereka akan menggunakan seluruh kekuatan politik dengan media dan militernya yang sangat kuatnya di dunia, dengan cara menggoyang kekuasaan presiden Indonesia. Kerusuhan, adu domba, agen rahasia, mata-mata, akan disebar diseluruh pelosok negeri agar rakyat Indonesia merasa tak aman, tak puas, lalu akan meruntuhkan kepemimpinan presidennya siapapun dia.
Inilah salah satu “warisan” era orde baru, era kepemimpinan rezim dan diktator Suharto selama lebih dari tiga dekade. Namun masih banyak yang ingin menjadikannya pahlawan nasional, karena telah sukses menjual kekayaan alam dari dasar laut hingga puncak gunung, dari Sabang hingga Merauke, ini bukan lagi teori kosnspirasi, tapi semua ini adalah fakta konspirasi.
Stop Freeport!
PT Freeport bisa dengan leluasa mengeruk kekayaan di Papua karena dilegalkan secara sistem, yakni ada payung undang-undang dan berbagai peraturan pemerintah. Hal ini sebagai konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme–demokrasi di negeri ini. Berdasarkan sistem ekonomi kapitalisme, pengelolaan dan pengusahaan tambang dapat diserahkan kepada swasta termasuk asing. Lalu semua itu dilegalkan melalui UU yang dibuat oleh DPR dan pemerintah dalam sistem demokrasi.
Pada proses pembuatan UU semacam itu sering terjadi praktik politik dagang sapi dengan para kapitalis pemilik modal. Karena itu selama ideologi kapitalisme dengan demokrasinya masih diterapkan, penjajahan itu akan terus terjadi. Negeri ini akan terus dieksploitasi. Kekayaannya dijadikan jarahan. Penduduknya dijadikan sebagai sapi perahan. Kasus Freeport di atas adalah salah satu contoh dampak buruk penerapan sistem kapitalisme dan demokrasi tersebut. Oleh karena itu, kasus Freeport ini hanya bisa dihentikan ketika sistem demokrasi kapitalis yang menaunginya juga dihentikan.
Bukan Cara Biasa
Mengakhiri kontrak karya dengan Freeport bukan masalah mengakhiri kontrak biasa, tetapi mengakiri kontrak karya dengan perusahaan negara penjajah. Di sinilah masalahnya. Karena itu, sangat susah dilakukan dengan cara biasa. Mereka juga akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan keberadaannya. Karena itu, dibutuhkan dukungan rakyat dan umat.
Dukungan ini penting, karena tanpa itu, siapapun yang berkuasa, termasuk Khilafah sekalipun akan mengalami kesulitan untuk mengakhiri masalah ini. Memang benar, bagi Khilafah sangat mudah mengambil langkah, jika negeri ini sudah dibersihkan dari agen, (maaf) kacung dan komprador negara penjajah. Karena, solusinya dalam pandangan Islam sudah sangat jelas.
Betapa tidak, dengan tegas Nabi Shallallhu ‘alaihi Wassallam menyebutkan, bahwa “Kaum muslim bersyarikat dalam tiga hal: air, padang dan api.” [HR Ahmad].
Karena itu, status tambang ini jelas merupakan milik umum, dan harus dikembalikan ke tangan umat [rakyat]. Dengan begitu, segala bentuk kesepakatan.
Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi Wassallam menyatakan, “Bagaimana mungkin suatu kaum membuat syarat, yang tidak ada dalam kitabullah. Tiap syarat yang tidak ada dalam kitabullah, maka batal, meski berisi seratus syarat. Keputusan Allah lebih haq, dan syarat Allah lebih kuat.” [Lihat, al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, hadits no. 29615].
Seharusnya, perusahaan ini tidak harus dibubarkan, tetapi cukup dibekukan sementara dan diubah akadnya. Dengan demikian, statusnya pun berubah, dari milik private menjadi milik publik dan negara.
Selain bentuknya menggunakan perseroan saham (PT terbuka), yang jelas diharamkan, dan harus diubah, juga aspek kepemilikan sahamnya akan dikembalikan kepada masing-masing pemiliknya. Karena akad ini batil, maka mereka hanya berhak mendapatkan harta pokoknya saja. Sedangkan keuntungannya haram menjadi hak mereka.
Karena cara mereka memiliki harta tersebut adalah cara yang haram, maka status harta tersebut bukanlah hak milik mereka. Maka, harta tersebut tidak boleh diserahkan kepada mereka, ketika PT terbuka tersebut dibatalkan.
Demikian halnya, ketika perusahaan private tersebut dikembalikan kepada perusahaan publik dan negara, maka pemilik yang sebenarnya adalah publik dan negara, bukan private. Dengan begitu, individu-individu pemilik saham sebelumnya, tidak berhak mendapatkan keuntungan dari apa yang sebenarnya bukan haknya. Kecuali, harta pokok mereka.
Dengan dinormalisasikannya kembali perusahaan publik dan negara sesuai hukum Islam, negaralah yang menjadi satu-satunya pemegang hak pengelolanya. Dalam hal ini, negara bisa mengkaji, apakah bisa langsung running, atau tidak, bergantung tingkat kepentingan perusahaan tersebut. Jika sebelumnya perusahaan ini untung, maka keuntungannya bisa diparkir pada pos harta haram. Karena, ini merupakan keuntungan dari PT terbuka, yang statusnya haram. Selain itu, ini juga keuntungan yang didapatkan individu dari harta milik publik dan negara. Setelah itu, keuntungan yang haram ini pun menjadi halal di tangan Khilafah, dan boleh digunakan untuk membiayai proyek atau perusahaan milik negara atau publik yang lainnya.
Cara Mengeksekusi
Sudah menjadi rahasia umum, perusahaan publik dan negara ini juga menjadi sapi perah partai, penguasa dan antek-anteknya. Karena itu, melalui syriat Islam juga akan membersihkan mereka semua dari perusahaan publik dan negara tersebut.
Mereka saat ini banyak yang duduk sebagai komisaris dan direksi. Maka, dengan dinormalkannya perusahaan tersebut mengikuti hukum syara’, jabatan komisaris dan direksi seperti saat ini tidak lagi ada. Dengan begitu, mereka semua akan dibersihkan dari perusahaan-perusahaan publik dan negara tersebut.
Harta yang mereka dapatkan dengan cara yang haram itu juga akan disita sebagai harta haram, yang bukan menjadi hak mereka. Setelah itu, dikembalikan ke kas negara, dan dimasukkan dalam pos harta haram.
Melalui hukum Islam, aliran dana-dana yang dikuras dari perusahaan-perusahaan publik dan negara ini ke kantong-kantong pribadi, partai atau penguasa sebelumnya bisa ditelususi. Karena ini menyangkut harta, maka kebijakan yang salah di era mereka, terlebih menyangkut hak publik dan negara, bisa diusut dan dituntut.
Dalam hal ini, dengan tegas Nabi Shallahu ‘alaihi Wassallam telah menyatakan: “Siapa saja yang menanami tanah milik suatu kaum, tanpa kerelaannya, maka tidak berhak mendapatkan apapun dari tanaman tersebut. Dia hanya berhak mendapatkan biaya (yang telah dikeluarkannya).” (HR al-Bukhari dan Abu Dawud dari Rafi’ bin Khadij, hadits no. 3403).
Meski konteks hadits ini terkait dengan tanah, pemanfaatan tanah tanpa izin, atau tidak mendapatkan kerelaan pemiliknya, tetapi hadits yang sama bisa digunakan sebagai dalil bagi kasus lain. Termasuk kasus yang telah disebutkan di atas.
Maka, dengan cara seperti ini, para pemburu rente bisa dibersihkan, seluruh aset umat ini akan bisa dikembalikan kepada pemiliknya, baik kepada negara maupun publik. Dengan alasan yang sama, apa yang telah mereka ambil dari keuntungan perusahaan tersebut juga bisa diambil kembali, karena bukan merupakan hak mereka. Begitulah, cara Islam membersihkan perusahaan publik dan negara tersebut dari partai, pejabat dan orang-orang korup tadi. Wallahu a’lam.[]
Alumnus Pascasarjana IAIN Tulungagung