Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | ADA ungkapan menyengat, sebuah kalimat menakutkan. Jika itu ada di benak seseorang, lalu diutarakan, dan apalagi dijalankan, maka semuanya akan tampak kecil.
Ungkapan itu entah siapa yang memulai menyampaikan. Tapi jika ditilik serius, ungkapan itu dahsyat, dan memang bisa menjadi kekuatan sebenarnya.
Bunyi ungkapan itu, “puncak dari ketakutan adalah ketidaktakutan”. Ya, saat takut itu ada di puncak dan menekan keras, maka rasa takut itu hilang, muncul sikap perlawanan yang keras pula.
Ungkapan itu mencekam, menakutkan. Sifatnya yang semula lembut, lalu menjadi keras dan kasar, seolah tanpa nalar. Bukan perubahan sikap yang tiba-tiba, tapi berproses.
Pada saatnya menemukan bentuk, dan bermetamorfosa karena sesuatu sebab. Dan itu lebih pada kondisi “terinjak” sekian lama, lalu “membengkak” menjadi kemarahan yang sulit diprediksi.
Pemicunya banyak sebab, lebih pada ketidakadilan yang diterima. Ketidakadilan itu pun bermacam, dan menggumpal. Pada saatnya memunculkan perlawanan.
Maka, fenomena “aku luwe (saya lapar)”, menemukan bentuk perlawanan atas kesewenang-wenangan: pertentangan antara wong cilik dan perangkat kekuasaan dalam semua stratanya.
Fenomena “Aku Luwe”
Anggit Suseno, namanya. Penjual sate kambing di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Ia bukan siapa-siapa pada mulanya. Tiba-tiba namanya jadi viral. Video perdebatan dirinya dengan Bupati Sukoharjo, dan petugas Satpol PP beredar luas.
Kabupaten Sukoharjo, dalam menangkal meluasnya pandemi Covid-19, menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sejak tanggal 11-25 Januari 2021. Semua kegiatan usaha tutup pada jam 19.00.
Saat itu, (14/01/2021), beberapa petugas Satpol PP, bersama Bupati Sukoharjo, Wardoyo, menyatroni warungnya yang masih buka pada sekitar jam 19.30.
Anggit berdalih bahwa ia sudah akan tutup, tapi datang ojek online mendapat orderan. Kasihan jika tidak dilayani, karena ia datang dari jarak yang cukup jauh.
Ditemukan pula, piring bekas seseorang yang makan di tempat. Padahal dalam PPKM itu tidak diperkenankan. Hanya melayani pembeli tidak makan di tempat.
Anggit mengatakan, bahwa yang makan tadi itu adalah langganan, ia sungkan jika harus menolak makan di warungnya.
Terjadilah perdebatan orang nomor satu di Sukoharjo itu dengan Anggit. Yang diawali dengan perdebatan keras dengan Satpol PP.
Muncul dari mulut wong cilik yang terjepit itu, kalimat perlawanan yang keras dan getir, menggetarkan:
“Aku ora wedi karo wong. Aku luwe, sopo sing tanggung jawab, ora ono. Aku luwe.” (“Saya tidak takut dengan manusia. Saya lapar, siapa yang tanggung jawab, tidak ada. Saya lapar”).
Itulah sepenggal kalimat satire mengenaskan, yang seolah pertaruhan diri dan kehormatan. Sepenggal kalimat perlawanan, bahwa ia tidak takut dengan manusia.
Pernyataan tidak takut dengan manusia, itu ungkapan hati dan perasaan yang dililit kesulitan hidup dalam waktu panjang. Tidak sekonyong-konyong.
Maka yang tersisa yang dipunya hanya diri, dan sedikit pekerjaan halal dengan hasil tidak seberapa. Itu yang ia ingin pertahankan. Muncul perasaan tidak takut pada risiko yang dihadapi.
Anggit yang nekat melawan “ketidakadilan” itu bukan cuma seorang, tapi banyak anggit-anggit lainnya, yang punya nasib lebih kurang sama. Banyak yang serupa dengannya, mengalami hal sama.
Anggit-anggit itu bisa kita lihat pada pedagang kaki lima, yang atas dalih penertiban, barang dagangannya diangkut ke truk Satpol PP. Pemiliknya melawan dan tidak berdaya. Menangis meraung, tanpa mampu bisa pertahankan sedikit harta yang dipunya.
Penjual bakso atau sejenisnya, yang tiba-tiba dijungkirkan rombongnya, makanan itu jadi tumpah di jalanan. Serasa tidak sedikit pun punya belas kasihan. Seolah manusia yang digerakkan mesin. Sesak dada melihatnya.
Fenomena Anggit itu terbentuk oleh nasib serupa. Pada saat menemukan momen, maka seolah tampak disatukan dalam kelompok. Jadi kekuatan dahsyat. Itulah amuk massa.
Kecenderungan manusia siapa pun ia, akan terus mencari keadilan, betapa pun debatable nya konsep itu (Ernst Bloch, 1885-1977).
Maka kecenderungan menggapai keadilan pada strata apa pun, akan terus diikhtiarkan. Tidak menjadi masalah jika tank baja, dan mortir yang digerakkan kekuasaan harus menggerusnya. Satu ungkapan yang keluar, Aku ora wedi karo wong…*
Kolumnis, tinggal di Surabaya