Oleh: Alwi Alatas
Umat Islam baru saja merayakan hari raya mereka (Ied al-Fitri). Mereka mengisinya dengan berbagai aktivitas yang positif seperti bersilaturahim dan bermaaf-maafan, walaupun masih ada juga sebagian umat yang melakukan hal yang kurang baik dan merugikan. Setiap umat memiliki hari raya mereka sendiri-sendiri, dan terkadang kita menemukan hal-hal yang unik dalam cara manusia menyambut hari rayanya. Bukan hanya pada masa sekarang ini, tapi juga pada masa-masa yang lalu.
Pada masa-masa Perang Salib, Usamah ibn Munqidz (488H/1095M – 584H/1188M) pernah menjalin hubungan baik dengan orang-orang Kristen Eropa (afranj) yang menduduki beberapa wilayah Muslim di Timur Tengah. Pada suatu hari raya di antara hari-hari raya mereka (f? ’?d min a’y?dihim), Usamah tengah berada di kota Tiberias dan merasa heran dengan apa yang dilakukan orang-orang Kristen di kota tersebut. Sebagaimana dituturkan dalam Kit?b al-I’tib?r yang ditulisnya, ia menceritakan bagaimana tentara salib keluar ke lapangan dan mengadakan perlombaan.
Mereka membawa dua orang nenek-nenek yang sudah sangat tua dan memosisikan mereka di ujung lapangan, sementara di ujung lainnya digantungkan seekor babi di atas sebuah batu.
Lalu lomba dimulai. Kedua nenek tua itu bergerak secepat yang mereka mampu menuju tempat babi digantungkan. Sementara itu sekumpulan orang mengganggu jalan mereka, sehingga setiap kali mereka menjadi terhuyung-huyung, jatuh, dan berdiri kembali untuk meneruskan perlombaan. Semua yang menyaksikannya tertawa terbahak-bahak. Pada akhirnya, salah satu dari dua perempuan tua ini berhasil mencapai garis finis dan berhak mendapatkan babi sebagai hadiahnya.
Sulit bagi kita membayangkan bagaimana hal semacam itu bisa dilakukan oleh orang-orang yang maju dan terpelajar. Orang tua yang seharusnya dihormati dan dilayani, justru disuruh berlomba dan ditertawakan. Kenyataannya, masyarakat Kristen Eropa pada masa itu masih hidup dalam keterbelakangan. Banyak hal yang lebih aneh lagi akan kita lihat pada contoh-contoh di bawah nanti.
Usamah dan keluarganya yang menguasai wilayah Shayzar memang sempat berhubungan dekat dengan tentara Salib sebelum kemunculan Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi ke pentas sejarah. Begitu dekatnya sampai mereka biasa memanggilnya dengan sebutan ’saudaraku’ (akh?). Ketika salah satu dari mereka hendak kembali ke negerinya di Eropa, ia menawarkan anak Usamah yang berusia 14 tahun untuk ikut dengannya sehingga bisa dididik kekesatriaan di Eropa. Usamah menolaknya dengan halus. Kalau harus memilih, ia lebih suka anaknya masuk penjara daripada pergi ke Eropa.
Penolakan Usamah bukannya tanpa alasan. Ia menyaksikan berbagai bentuk keterbelakangan orang-orang Eropa pada masa itu, terutama yang baru saja tiba di Timur Tengah. Orang-orang Eropa memiliki sistem pengadilan yang sangat tidak masuk diakal dan ilmu kedokteran mereka sangat buruk, kalau tidak dikatakan biadab.
Dalam sistem peradilan, orang-orang Eropa ini menyerahkan keputusan hukum pada intervensi langit, melalui berbagai medium tes yang ganjil. Salah satu alat uji hukumnya adalah dengan menggunakan wadah besar berisi air. Orang yang dicurigai diikat sampai tidak bisa bergerak dan diturunkan ke wadah tersebut dengan menggunakan tali. Menurut ’sistem hukum’ ini, kalau si tertuduh tidak bersalah, maka ia akan tenggelam ke dalam air. Kalau ternyata ia bersalah, maka mustahil baginya tenggelam ke dalam air. Pada salah satu kasus yang disaksikannya, Usamah melihat seorang tertuduh dimasukkan ke dalam air dengan cara seperti ini, lalu ia berusaha dengan segala cara supaya tenggelam ke dasar wadah … dan gagal. Dengan begitu ia dinyatakan bersalah dan menerima hukumannya. Matanya ditusuk hingga buta dengan besi membara.
Pada kesempatan lain ia mendapat informasi tentang ilmu kedokteran Eropa yang sangat ajaib. Suatu kali seorang penguasa salib – istilah salib ini untuk membedakan antara kalangan Kristen yang berasal dari Eropa dengan orang-orang Kristen yang tumbuh besar di tengah peradaban Islam – di Libanon memohon pada paman Usamah agar dikirimkan seorang dokter. Maka dikirimlah seorang dokter Kristen bernama Thabit. Namun ternyata dokter ini pulang lagi setelah pergi selama sepuluh hari.
”Bagaimana kamu bisa cepat kembali dari menyembuhkan orang-orang sakit?” orang-orang yang mengirimnya bertanya dengan heran. Lalu dokter ini bercerita bahwa seorang prajurit didatangkan kepadanya. Pada kakinya ada barah (bisul bernanah). Maka Thabit memberi obat pada bagian yang bengkak, lalu lukanya terbuka dan mulai sembuh. Selain itu ada seorang perempuan yang sakit karena ketidakseimbangan pola makan. Perempuan ini diobati dengan cara diet.
Lalu tiba-tiba datang seorang dokter Eropa dan mengambil alih pengobatan. ”Orang ini (Thabit) tidak tahu cara mengobati mereka,” ujarnya. Lalu dokter Eropa ini bertanya pada prajurit yang kakinya sakit, ”Kamu mau hidup dengan satu kaki atau mati dengan dua kaki?” Tentu saja prajurit itu memilih hidup walaupun hanya dengan satu kaki. Maka dokter tadi memerintahkan agar dihadirkan seorang prajurit yang kuat dan sebilah kapak yang tajam. Lalu betis prajurit tadi diletakkan di atas sebuah alas kayu. Kemudian prajurit yang memegang kapak diperintahkan untuk menghantam kaki si sakit dengan sekali hantaman kapak. Thabit menyaksikan sendiri metode pengobatan tersebut. Kaki itu tidak putus pada hantaman yang pertama, lalu dihantam untuk yang kedua kalinya sampai putus. Prajurit yang kakinya sakit itu pun mati seketika itu juga.
Adapun setelah memeriksa si perempuan yang sakit, dokter Eropa tersebut mendiagnosa bahwa di kepalanya ada setan yang jatuh cinta padanya. Maka rambut perempuan itu dicukur habis sebagai pengobatannya. Kemudian perempuan itu kembali pada pola makan lamanya dan tidak melakukan diet, yang menyebabkan penyakitnya semakin menjadi. Lalu si dokter Eropa yakin kalau setan sudah benar-benar merasuki kepala perempuan itu. Maka diambillah sebuah pisau cukur dan ditorehlah kepala si perempuan dengan torehan berbentuk salib. Lalu bagian tengah torehan itu dikupas hingga tengkoraknya kelihatan dan bagian itu digosok dengan garam. Perempuan tadi meninggal seketika itu juga.
Lalu Thabit bertanya apakah mereka masih memerlukan keberadaan dirinya di tempat itu. Mereka menjawab tidak. ”Maka aku pun pulang dengan membawa ilmu kedokteran Eropa yang belum pernah aku pelajari sebelumnya,” ujar Thabit menutup ceritanya.
Sikap sinis Thabit terhadap dokter-dokter Eropa, walaupun seagama dengannya, begitu juga dengan sikap Usamah, sangat bisa dimaklumi jika melihat peradaban kaum Muslimin yang sudah jauh lebih maju ketika itu. Namun ironisnya, tujuh hingga delapan abad kemudian keadaannya menjadi terbalik. Kini kitalah yang berada dalam keterbelakangan. Potret keterbelakangan ini tampak jelas dalam berbagai sikap dan karakteristik umat Islam pada hari ini. Kini sebagian dari kitalah yang mengisi hari raya dengan cara yang tidak pantas, seperti arak-arakan di malam takbiran yang menimbulkan kemacetan dan sering berakhir dengan kematian. Kita juga yang menjadi umat yang miskin, bodoh, dan tertinggal dalam banyak hal.
Barangkali keterbelakangan kita tidak separah contoh-contoh di atas, seperti pada kasus dokter Eropa yang membacok kaki pasiennya sampai mati. Kita juga masih bisa berdebat ketika pemimpin Barat menuduh kita barbaric, apakah perilaku Barat sendiri di jaman modern ini sama sekali bebas dari ciri-ciri barbarianisme. Namun, kita toh tidak bisa selamanya mengelak jika pada hari ini umat lain menggelari kita dengan istilah barbaric (barbar) atau uncivilized (tidak beradab). Entah secara terbuka atau diam-diam, sedikit banyak kita terpaksa mengakui bahwa sifat-sifat itu memang ada pada kita. Mungkin itu lebih baik daripada kita menolaknya sama sekali. Karena dari situ kita bisa mulai memperbaiki diri untuk bisa kembali menjadi yang terbaik di masa depan. Karena dari situ kita akan bisa belajar untuk menghapuskan kekurangan dan meninggalkan keterbelakangan.
Orang-orang Eropa dulu terbelakang, tapi mereka mau belajar dan menyempurnakan diri, dengan tetap memelihara identitas mereka. Sehingga pada akhirnya mereka bisa maju dan memimpin peradaban. Akankah kita juga mau belajar dan memperbaiki diri, sambil tetap memupuk iman dan nilai-nilai Islam? Jawabannya kembali pada diri kita masing-masing. [Jakarta, 25 September 2009/hidayatullah.com]
Penulis adalah kandidat PhD di Universiti Islam Antarabangsa Malaysia pada bidang sejarah