Oleh: Ahmad Kholili Hasib
“Apa yang terjadi di penghujung di tahun 2016 dimaknai sebagai cambuk yang menginginkan kita terhadap pentingnya Pancasila untuk mendeteksi segala likus tameng proteksi terhadap tendensi hidupnya ideologi tertutup yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Ideologi tertutup tersebut bersifat dogmatis. Ia tidak berasal dari cita-citanya yang hidup di dalam masyarakat,” demikian kutipan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam perayaan PDI-P ke-44.
Kalimat tersebut diucapkan Megawati pada Selasa 10 Januari 2017 lalu di hadapan para kadernya. Pernyataan ini pasti ada yang sedang ia sasar. Meski tidak menyebut nama orang atau kelompok, sasaran pidato tersebut mudah dibaca. Yaitu umat Islam yang menuntut Ahok, penista agama, dipenjara.
Ada dua poin lagi dalam pidato Megawati yang melahirkan banyak keresahan, khususnya di kalangan umat Islam. Antara lain, pernyataan dia yang menyatakan “jadi orang Islam jangan jadi Arab”, dan “kehidupan setelah dunia fana (akhirat) adalah ramalan”.
Megawati mengatakan, ideologi tertutup memang cenderung bersifat dogmatis.
“Ideologi tertutup tersebut hanya muncul dari suatu kelompok tertentu yang dipaksakan diterima oleh seluruh masyarakat. Mereka memaksakan kehendaknya sendiri, tidak ada dialog, apalagi demokrasi,” kata Megawati dalam pidato politiknya di JCC Jakarta.
Ciri ideologi tertutup (dalam versi Megawati) adalah; anti keberagaman, memaksakan kehendaknya dan memicu konflik SARA (Suku Ras dan Agama).
Statemen-statemen tersebut tidak hanya bersifat sarkastik dan provokatif, tetapi ada problem pemikiran yang sangat serius di dalamnya. Lebih tegas lagi, pidatonya bernuansa bertentangan dengan Islam. Bahkan ada upaya mempertentangkan ideologi Islam dengan Pancasila.
IMM: Siapa Pemimpin Kita Saat Ini? Megawati atau Surya Paloh?
Yang tidak kalah serius, barangkali pernyataan bahwa berita kehidupan setelah mati itu ramalan. Pendapat ini mirip dengan bapak sosiologi sekular, August Comte. Alam ghaib (kehidupan yang tidak bisa dilihat kasat mata manusia) menurutnya adalah ilusi kaum beragama. Tidak nyata, atau angan-angan belaka. Memang, rata-rata ilmuan Barat sekular memiliki pendapat seperti itu. Dan para ilmuan ini yang dirujuk oleh kaum liberalisme.
“Para pemimpin yang menganut ideologi tertutup mempromosikan diri mereka sebagai peramal masa depan. Kerap meramal kehidupan setelah dunia fana, padahal mereka sendiri belum tentu melihatnya sendiri”, demikian satu potongan pidato Megawati yang menjelaskan ideologi tertutup versinya.
Klaim kebenaran
Apa yang dimaksud ideologi tertutup, atau ideologi terbuka sebetulnya dalam belantara sejarah pemikiran telah dikenal. Tetapi istilahnya adalah ekslusivisme dan inklusivisme.
Dr Anis Malik Thoha, pakar Pluralisme Agama Indonesia, menjelaskan semua agama memiliki klaim kebenaran (truth claim). Klaim kebenaran eksklusif (tertutup) ada dalam Yahudi, Kristen, Islam dan agama-agama lain.
Secara singkat klaim kebenaran eksklusif itu adalah keyakinan yang menyatakan bahwa agama yang dianutnya saja adalah agama yang benar.
Yahudi memiliki doktrin the chosen people (masyarakat terpilih). Bahwa kebenaran, keshahihan dan keselamatan hanya berdasar atas etnisitas yang sempit yaitu Yahudi.
Kristen Katolik memiliki doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan) yang muncul sejak abad ke-3 M. Dan Kristen Protestan memiliki doktrin outside Christianity, no salvation (di luar Kristen tidak ada keselamatan).
Sementara Islam dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala, Inna ad-dina ‘inda Allahi al-Islam (sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah Islam) (Anis Malik Thoha, Pluralisme Klaim Kebenaran yang Berbahaya dalam Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual, hal. 223).
Dulu sikap Kristen sangat eksklusive (tertutup) terhadap Yahudi. Bailey Smith, Presiden Southern Baptist Convention pada tahun 1978 mengatakan, “Tuhan Maha Besar tidak mendengar doa orang-orang Yahudi. Sikap ini berdasarkan ajaran Bible yang dalam Peter in Acts 4: 12 yang menyatakan tidak ada keselamatan bagi orang (pemeluk) lain (Khalif Muammar, Islam dan Pluralisme Agama,hal. 2).
Sepanjang 1917-1971, Ideologi Komunis Telah Membantai 120 Juta Orang
Klaim kebenaran secara tertutup itu diyakini agama-agama. Hampir semua agama dan keyakinan percaya bahwa yang dia yakini dan agama yang dianut adalah yang benar menurutnya.
Bahkan, jika kita jujur, tidak hanya agama, partai-partai politik pun memiliki kecenderungan klaim tertutup itu. Loyalis partai A pasti percaya bahwa partainya yang terbaik. Karena itu ia pilih partai A. Belum lagi loyalis yang fanatis, bisa muncul menjadi pembela partai yang siap mati pasang badan bila partainya dicela, dan dibully. Kita pun tidak pernah mempermasalahkan ini.
Memang, kalau loyalis partai yang terang-terang siap mati membela anggotanya tidak akan dicap ekstrimis oleh media. Tetapi, bila loyalis agama Islam yang melakukannya, serta merta meda kompak menuduk radikal, dan ektrimis.
Bersikap adil tidaklah mudah. Fanatisme bisa menyulap, kebenaran tampak menjadi kejahatan. Dan kejahatan dibalik menjadi kebenaran.
Doktrin sekularisme memang mencurigai agama. Hal apa saja yang mengangkat bendera agama, akan disorot dengan mata tajam. Seakan-akan, agama itu pembawa sial. Biang kerok kerusuhan, dan lain-lain. Sama saja dengan pikiran Karl Marx, agama adalah candu. Harus dibekukan. Sebuah pikiran yang jauh sekali dari nilai-nilai Pancasila.
Sedangkan ideologi inklusivisme (terbuka) sejarahnya berasal dari problematika teologi Kristen. Paham ini mengakomodasi konsep keselamatan untuk pengikut agama lain. Menurut pakar pemikiran Islam, Khalif Muammar, inklusivisme di Barat muncul akibat kegagalan eksklusivisme memberikan bukti dan alasan yang kokoh atas pendiriannya itu.
Khalif Muammar menulis tentang asal usul teologi terbuka itu:
“Tuhan dalam agama Kristen umumnya diartikan dengan cinta, apabila masyarakat Kristen kemudian menjelajah dan menemukan ‘Dunia Baru’ (new world) maka timbul persoalan bagaimana untuk memasukkan orang yang di luar gereja dalam keselamatan Tuhan? Bagaimana Tuhan yang Penyayang, yang memberi rizki kepada semua makhluk, menetapkan neraka bagi orang-orang yang mati diluar gereja dan tidak pernah mendengar tentang Jesus? Atas pertimbangan ini muncul pernyataan oleh Vatikan pada tahun 1854 bahwa mereka yang dinamakan invicible ignorance ini walaupun secara undang-undang mereka berada di luar (extra) gereja Katolik dan bukan pemeluknya secara formal, akan tetapi pada hakekatnya mereka berada di dalam dan merupakan ahli gereja Katolik yang tidak terlihat” (Khalif Muammar, Islam dan Pluralisme Agama, hal. 4).
Jadi, ideologi inklusivisme ini bermula dari Kristen dan dikembangkan oleh kebudayaan Barat yang sekular. Anis Malik Thoha mengkritik, klaim model ini tidak konsisten. Jika keselamatan dapat dicapai tanpa adanya koneksi apa pun dengan gereja dan doktrin Kristen, apa artinya bersikeras memberikan label Kristen, dan mengapa praktik kristenisasi masih terus dilakukan? Atau inklusivisme hanyalah slogan kosong dengan maksud tertentu?
Islam masuk kategori mana? Ideologi ekslusivisme atau inklusivisme?
Islam bisa ekslusiv bisa pula inklusive. Disebut eksklusif sebab selain jalan Islam tidak dianggap selamat.
Buktinya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: aslim taslam (masuklah Islam, maka kamu akan selamat). Maka, Islam tidak mentoleransi penyimpangan teologis. Islam juga bisa disebut inklusif. Karena dalam Islam, anak-anak dari orang tua yang beragama apapun, jika meninggal sebelum baligh akan masuk surga, alias selamat (Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat,hal. 195).
Jadi dalam Islam, eklusif dan inklusif di sini bukan ideolog atau teologi, tetapi sifat dari Islam itu sendiri. Sehingga kita sebut Islam itu ekslusif sekaligus inklusif, bukan Islam itu eksklusivisme atau inklusivisme.
Dengan pandangan itulah, maka sesungguhnya menjadi seorang Muslim yang baik bisa menjadi sekaligus seorang yang ber-Pancasila. Sudah tidak relevan lagi mempertentangkan antara Islam dan Pancasila. Sebab, sila pertama Pancasila itu bisa sesuai dengan tauhid dalam Islam. Justru dengan sila pertama itu, Komunisme tidak memiliki landasan konstitusional.
Mantan Rais Am PBNU, KH. Achmad Siddiq pernah menyatakan: “Kata ‘Yang Maha Esa’ pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata ‘Yang Maha Esa’ merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu mencerminkan pengertian tauhid menurut akidah Islamiyah. Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa” (Adian Husaini,Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hal. 138).
Pendapat tersebut bisa dimengerti, karena fakta menunjukkan bahwa penyusunan dan makna Pancasila itu tidak lepas dari aspirasi kaum Muslim. Mendiang Jendral A. H. Nasution dalam sebuah pidato peringatan 18 Tahun Piagam Jakarta 22 Juni 1963 di Jakarta mengatakan, bahwa rumusan dasar negara muncul di antaranya karena inisiatif para alim ulama yang mengirimkan surat berisi usulan tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi Indonesia merdeka. Surat yang dikirim dari berbagai alim ulama itu berjumlah 52 ribu surat yang terdaftar (Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, hal. 29-30).
Maka, penyelewengan makna Pancasila sama halnya melecehkan para penyusunnya. Ingat pesan KH. Muhammad Isa Anshori: “Pancasila harus hidup dengan teman-temannya sila yang lain, seribu satu sila yang tersebar dalam lembaran ajaran Islam. Bila Pancasila tidak dijaga dengan cara seperti itu, maka akan ditelan oleh imperialisme dan komunisme.”
Penulis adalah dosen Institut Agama Islam Darullughah Wadda’wah Bangil